TANGGAL 31 Desember 2010, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) genap berusia 29 tahun. Namun dalam penerapannya belakangan ini, regulasi yang pada 31 Desember 1981 disebut-sebut sebagai karya agung bangsa Indonesia, tidak mampu lagi mengakomodasi berbagai tuntutan penegakan hukum yang berkeadilan, berbasis hak asasi manusia (HAM) ,dan progresif.
Hal ini terbukti dari adanya permohonan uji materi KUHAP oleh tersangka ataupun oleh advokat dalam kasus korupsi Pasal-pasal dalam KUHAP yang seringkali ditafsirkan secara berbeda oleh aparat penegak hukum adalah ketentuan Pasal 65 dan Pasal 116 Ayat 3 dan 4 KUHAP. Kejaksaan misalnya menolak memeriksa saksi meringankan (a de charge), padahal ekistensi KUHAP dimaksudkan untuk menjamin penegakan hukum agar tidak bertentangan dengan HAM. Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra beberapa waktu lalu mendaftarkan permohonan uji materi ketentuan Pasal 65 dan Pasal 116 Ayat 3 dan 4 KUHAP, dalam kasus dugaan korupsi sistem administrasi badan hukum (sisminbakum).
Dua pasal tersebut diujikan terhadap prinsip yang diatur dalam UUD 1945, antara lain, prinsip negara hukum (Pasal 1 Ayat 3), prinsip jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil (Pasal 28D Ayat 1), kesempatan memperoleh keadilan (Pasal 28H Ayat 2), dan perlindungan HAM (Pasal 28J) UUD 1945.
Pasal 65 KUHAP memberikan hak kepada setiap tersangka untuk mendatangkan saksi atau ahli yang dianggapnya menguntungkan dirinya. Pasal 116 Ayat 3 dan 4 memberikan hak kepada setiap tersangka untuk menghendaki didengarkan saksi yang dapat menguntungkan dirinya. Pasal ini sangat jelas, maka tidak perlu ditafsirkan lagi. Setiap tersangka/terdakwa berhak meminta agar ada saksi yang menguntungkan dan penyidik kejaksaan wajib memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan itu.
Dalam rangka terjaminnya hak asasi tersangka/terdakwa, maka UU telah mengakomodasinya dengan adanya Pasal 54 KUHAP. Namun, dalam praktik hak tersangka/terdakwa untuk didampingi penasihat hukum justru dianulir Pasal 115 Ayat 1 KUHAP.
Lamanya Pemeriksaan
Keikutsertaan penasihat hukum dalam pemeriksaan terhadap tersangka dibatasi kata ‘’dapat’’ sehingga penyidik tidak wajib memperbolehkan penasihat hukum untuk mengikuti jalannya pemeriksaan. Hak tersangka/terdakwa yang dijamin Pasal 54 menjadi hambar dan kabur. Mencermati ketentuan Pasal 54 dan Pasal 115 tersebut terlihatnya adanya ketidaksinkronan (tumpang tindih) ketentuan Pasal 54 dengan Pasal 115. Bahwasanya, sifat pendampingan penasihat hukum hanya bersifat fakultatif (kualitasnya baru bersifat hak mendapatkan dan didampingi, bukan bersifat wajib mendapat bantuan hukum) dan pasif (hanya melihat dan mendengar sehingga bisa dikatakan penasihat hukum hanya berkedudukan sebagai penonton/pendengar saja (within sight and within hearing).
Ketika dalam proses penyidikan, saksi seharusnya berhak untuk mendapatkan pendampingan oleh penasihat hukum. Ketentuan ini dalam KUHAP tidak diatur sama sekali sehingga di antara para penegak hukum terjadi pro-kontra. Inilah yang merupakan salah satu alasan agar KUHAP urgen direvisi.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa tumpang tindih Pasal 54 dan 115 KUHAP ini menyebabkan berkurangnya akses setiap warga negara untuk mendapatkan keadilan, ketika tersangka/terdakwa tidak didampingi penasihat hukum. Di samping itu, posisi penasihat hukum hanya melihat dan mendengar jalannya pemeriksaan merupakan perlakuan diskriminatif terhadap penasihat hukum sebagai aparatur penegak hukum.
Pemeriksaan tersangka dan/atau terdakwa yang memakan waktu berjam-jam bahkan sampai belasan jam secara maraton hingga dini hari adalah salah bentuk pelanggaran HAM yang justru bertolak belakang dengan semangat KUHAP. Anggodo Wijodjo, Senin, 27 Desember 2010 diperiksa selama 7 jam oleh KPK sebagai saksi terkait kasus Ari Muladi, kemudian Refly Harun (Ketua Tim Investigasi Mahkamah Konstitusi) diperiksa selama 9 jam oleh KPK.
Pemeriksaan tersangka/saksi dalam waktu yang begitu lama akan menghambat tewujudnya keadilan dalam penegakan hukum. Dalam kondisi lelah, maka sulit bagi tersangka/saksi untuk memberikan keterangan yang runtut dan akurat berdasarkan apa yang dilihat dan dirasakannya sendiri. Dikhawatirkan tersangka/terdakwa memberikan keterangan yang tumpang tindih, apalagi kalau penyidik melakukan intimidasi terhadap tersangka/terdakwa. Eksesnya, tersangka/terdakwa dalam persidangan mencabut berita acara pemeriksaan (BAP).
Berdasarkan pengalaman dalam praktik penegakan hukum selama ini, maka yang perlu direvisi adalah ketentuan 54 dan 115 KUHAP agar tidak tumpang tindih. Selain itu, mempertegas ketentuan Pasal 65 dan Pasal 116 KUHAP yang kurang jelas mengatur tentang pemeriksaan saksi, agar tidak terjadi multitafsir soal pemeriksaan saksi. (10)
— Agus Nurudin, advokat, kandidat doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Wacana Suara Merdeka 31 Desember 2010