PEMILIHAN umum (pemilu) 2014 memang masih sekitar empat tahun lagi. 
Tetapi, sejumlah tokoh sudah mulai aktif tampil di muka  publik menggalang dukungan untuk maju sebagai calon presiden (capres).  Salah satu tokoh yang kini mulai aktif melakukan safari politik dan  menggalang dukungan adalah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. 
Meskipun  Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I Partai Golkar beberapa waktu lalu  tidak secara resmi mendeklarasikan Aburizal Bakrie sebagai capres,  tetapi hampir mustahil bagi kita untuk mengatakan bahwa Ical – sapaan  akrab Aburizal Bakrie – tidak akan turut ambil bagian dalam perebutan  kursi RI-1 pada pilpres 2014. Ini mengingat status dia sebagai ketua  umum salah satu partai besar di Indonesia. Dalam kaitan itu menarik  untuk mengkaji lebih jauh peluang Ical dalam kontestasi pilpres 2014.
Popularitas 
Dengan  segala kontroversi yang melekat pada diri Ical, popularitas pemilik   kelompok usaha Bakrie ini memang terasa cukup sulit untuk dikerek  dengan cepat dalam jangka waktu kurang dari empat tahun. Ical memang  memiliki modal politik yang sangat mumpuni berupa kendaraan politik  sekelas Partai Golkar. 
Namun, patut diingat bahwa di era pemilihan  presiden secara langsung seperti saat  ini modal dukungan partai politik  saja tidaklah cukup. Dewasa ini tingkat  popularitas seorang kandidat  memainkan peran penting dalam menentukan hasil  akhir dari sebuah  kontestasi pemilihan presiden secara langsung. Jika seorang  kandidat  memiliki tingkat popularitas yang tinggi di mata publik, maka hampir   dapat dipastikan bahwa ia memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi  pula. Fenomena kemunculan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono  (SBY) menjadi bukti konkret dari hal itu. 
Pada pemilu 2004, Partai  Demokrat selaku pendukung utama SBY hanya memperoleh suara sebesar  8.455.225 (7,45 persen) sehingga secara  matematis peluang SBY untuk  menduduki kursi kepresidenan pun kecil. Namun,  realitas politik  berbicara lain pada pilpres putaran kedua SBY berhasil meraup  suara  sebesar 69.266.350 (60,62 persen). Sebelumnya, pada pilpres putaran   pertama SBY juga unggul dengan perolehan suara sebesar 36.070.622 (33,58  persen). Hal serupa kembali terjadi pada pemilu 2009, SBY berhasil  tampil sebagai pemenang dalam kontestasi pilpres hanya dalam satu  putaran dengan perolehan suara sebesar 73.874.562 (60,80 persen) jauh  melampaui perolehan suara Partai  Demokrat sebesar 21.703.137 (20,85  persen).
 Lalu bagaimana dengan tingkat popularitas Ical saat ini?  Merujuk pada hasil  survei Indo Barometer bulan Agustus 2010, tingkat  popularitas Ketua Umum Partai Golkar ini terbilang masih sangat rendah  jika dibandingkan tokoh-tokoh lain. SBY masih berada di posisi teratas  dengan tingkat popularitas sebesar 35,1 persen. Disusul secara  berturut-turut oleh Megawati Soekarnoputri (13,6 persen), Prabowo  Subianto (4,5 persen), dan Aburizal Bakrie (2,7 persen). 
Selain soal  popularitas, seorang calon presiden mutlak juga harus disukai oleh   para calon pemilih. Mungkin saja sebagian besar masyarakat mengenal  nama  Aburizal Bakrie, tetapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah  apakah  pengenalan publik terhadap Ical berada dalam konteks citra  positif atau citra  negatif? 
Di tingkat ini Ical akan kembali  menemukan hambatan serius. Nama Ical sering kali dikaitkan dengan  sejumlah kasus besar, seperti kasus Lumpur Lapindo yang tidak  kunjung  usai dan skandal tunggakan pajak kelompok usaha Bakrie (PT Kaltim Prima   Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin) sebagaimana terungkap dalam  proses persidangan Gayus Tambunan. Gayus Tambunan mengungkapkan bahwa  kelompok usaha Bakrie merupakan penyumbang besar rekening dirinya  senilai Rp 100 miliar. 
Selain soal kontroversi pribadi, publik  tentu juga akan menilai track record  Ical tatkala ia menjabat sebagai  menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)  jilid I. Reposisi yang  dialami Ical ketika itu dari pos menteri koordinator  perekonomian ke  pos menteri koordinator kesejahteraan rakyat tentu akan menjadi catatan  tersendiri bagi publik. 
Bukan tidak mungkin publik akan melihat hal  itu sebagai sebuah kegagalan Ical  dalam menjalankan fungsi koordinasi  di bidang perekonomian. Boleh jadi kemudian publik lantas melakukan  perbandingan kinerja antara Ical selaku  menko perekonomian saat itu  dengan kinerja menko perekonomian saat ini Hatta  Rajasa. Dalam masa  satu tahun sebagai menko perekonomian pada KIB jilid I Ical belum mampu  menghasilkan kebijakan-kebijakan strategis. Sementara itu, dalam masa  satu tahun menjabat sebagai menko perekonomian di jajaran KIB jilid II  Hatta Rajasa telah menelurkan sejumlah kebijakan strategis, seperti  pengoperasian national single window sebagai bagian dari upaya  percepatan program (quick wins). 
  
Elektabilitas
Satu  pelajaran penting yang patut menjadi catatan bagi para tokoh yang ingin  ambil bagian dalam kontestasi pilpres 2014 adalah pentingnya  memperhatikan penilaian publik terhadap diri mereka. Tingkat  popularitas dan ketersukaan inilah yang kelak akan mempengaruhi tingkat  elektabilitas seorang kandidat. 
Logikanya, jika seorang kandidat  pada tingkat popularitasnya saja sudah anjlok, tentu sangat sulit pula  untuk mendongkrak tingkat elektabilitasnya. 
Dukungan politik yang  mumpuni dari partai politik tidak lagi menjadi faktor penentu bagi  kemenangan seorang kandidat dalam era pemilihan secara langsung seperti  saat ini. 
 Saudagar dan Politik
Berdasarkan hasil rilis data  terbaru majalah Forbes, Ical masuk ke dalam 10 besar jajaran orang  terkaya di Indonesia pada tahun 2010 dengan jumlah total kekayaan  sebesar US$ 2,1 miliar. Status sebagai pengusaha sukses itu sesungguhnya  dapat dijadikan pintu masuk strategis untuk menumbuhkan optimisme dan  menggalang dukungan masyarakat di tingkat grass root.
Bentuk nyata  dari hal itu, antara lain, dapat diwujudkan dengan memberi berbagai  pelatihan kewirausahaan saat melakukan kunjungan politik. Dewasa ini  salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah tingkat  pengangguran. 
Mengingat kian terbatasnya daya serap tenaga kerja  yang dapat ditampung instansi pemerintah, banyak pihak meyakini cara  terbaik untuk menurunkan tingkat pengangguran adalah dengan  menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan. 
Untuk menumbuhkembangkan jiwa  kewirausahaan diperlukan peran nyata para pengusaha untuk ”menularkan”  jiwa wirausaha yang ia miliki kepada masyarakat luas. Karena itu, selaku  ketua umum sebuah partai politik besar dan pengusaha papan atas  idealnya Ical dapat memaksimalkan jiwa kewirausahaan yang ia miliki. 
Sayangnya,  hal itu belum terlihat jelas di mata publik dalam kurun waktu masa satu  tahun kepemimpinan Ical di Partai Golkar. Sejatinya, kegagahan status  sebagai seorang pengusaha tidak boleh berhenti setelah ia berhasil  merebut sebuah jabatan politik, tetapi justru harus fungsional selama  masa kepemimpinannya.
Opini Sinar Harapan 22 Desember 2010
21 Desember 2010
Aburizal Bakrie dan Kontestasi Menuju 2014
Thank You!