Hari Ibu di negeri ini yang diperingati setiap 22 Desember selama ini telah mengalami bias makna dan pendangkalan relevansi. Pentingnya reinventing Hari Ibu dalam arti menemukan kembali nilai strategis yang melatarbelakanginya. Tantangan dan rintangan kaum ibu di masa depan semakin berat dan kompleks. Untuk itulah, pemaknaan secara esensial terhadap Hari Ibu perlu dilakukan.
Sejarah Hari Ibu di negeri ini dimulai saat Kongres Perempuan Indonesia yang pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Di dalam kongres tersebut tumbuh kesadaran, perjuangan perempuan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Untuk itu, dibentuklah federasi di antara oganisasi-organsiasi perempuan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang kemudian pada 1929 menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Berbagai tujuan perjuangan masih berfokus pada perkawinan, keluarga, dan anak-anak. Meskipun demikian, persoalan perburuhan juga menjadi perhatian serius.
Pada 1935 dibentuk badan penyelidikan perburuhan kaum perempuan. Sejak itu federasi berkiprah memerangi perdagangan perempuan dan pemberantasan buta huruf. Selain itu, juga gencar mewujudkan perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa. Istilah Ibu Bangsa mengandung arti, perempuan bukan hanya punya peran domestik (rumah tangga) dan sosial, tetapi harus punya peran profesi hingga politik.
Pada era sekarang, kaum ibu juga tak henti-hentinya menggenjot produktivitas bangsa dengan membanting tulang sebagai pekerja otot hingga ke mancanegara. Usaha itu justru kurang mendapat perlindungan dan insentif konkret dari penyelenggara negara yang notabene didominasi kaum pria. Ironisnya, segelintir eksekutif wanita yang ikut serta mengatur negara ini justru masih mengidap glass ceiling syndrome (sindrom langit-langit kaca) dalam menjalankan fungsi sosial, ekonomi, dan politiknya.
Pemaknaan secara konkret terhadap Hari Ibu pada saat kondisi sosial dan ekonomi belum menggembirakan sangatlah penting. Pemaknaan yang konkret itu antara lain terkait dengan kesempatan dan perbaikan kesehatan kerja bagi kaum perempuan. Selain ancaman PHK massal yang selalu mengintip, pekerja perempuan juga masih didera persoalan kesehatan dan keselamatan kerja, transportasi kerja, dan hak-hak normatif seperti cuti hamil dan waktu untuk menyusui anak.
Aspek ergonomi kerja di industri selama ini juga sering terabaikan. Para pekerja perempuan terpaksa melakukan pekerjaan yang berulang-ulang itu hanya pada satu jenis otot saja sehingga sangat ber-potensi menimbulkan kasus cumulative trauma disorder (CTD) dan repetitive strain injuries (RSI). Kasus itu akan menimbulkan gangguan interabdominal, tekanan inersia pada pinggang, tulang punggung, dan tengkuk.
Masih rendahnya tingkat keselamatan kerja di industri juga terlihat dengan kondisi ventilasi udara dan penerangan yang kurang baik di pabrik-pabrik. Untuk memangkas biaya produksi terpaksa menempatkan mesin-mesin produksi dengan jarak yang terlalu rapat sehingga mengakibatkan peningkatan temperatur dan kebisingan di tempat kerja. Jika kita menengok kondisi buruh di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sering dijumpai buruh perempuan di bagian tertentu mengalami alergi kulit dan gangguan pernapasan akibat debu. Berbagai persoalan kesehatan dan keselamatan kerja di industri yang menimpa buruh perempuan mestinya menjadi perhatian serius bagi pengusaha dan pemerintah.
Belajar dari sejarah dan latar belakang kelahiran Hari Ibu, saat ini perlu revitalisasi peran organisasi perempuan guna kembali kepada semangat juang kaum perempuan. Perempuan Indonesia terutama mereka yang pada menduduki posisi eksekutif hendaknya tidak mengidap sindrom langit-langit kaca dalam menangani sederet persoalan perempuan. Karena sindrom tersebut biasanya membuat eksekutif perempuan tidak mampu menyelesaikan suatu masalah atau pekerjaan, padahal dirinya mempunyai kesempatan, wewenang, dan sederet solusinya.
Akhir-akhir ini, terlihat kiprah Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan fungsinya sekadar aksesori pemerintahan dan menjadi stempel untuk membuat undang-undang terkait perempuan. Padahal, perempuan di negeri ini tengah dikepung dengan berbagai persoalan akibat gejolak ekonomi serta derasnya bujuk rayu konsumerisme global. Mes-tinya, Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan berjuang keras dan proaktif dalam memantau bergesernya nilai-nilai perempuan agar tidak semakin menimbulkan sosial patologis yang sangat serius di kemudian hari.
Terkait dengan reinventing Hari Ibu alangkah baiknya kita menengok data yang disajikan United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Dalam laporan "Education for All (EFA) Global Monitoring Report", Indonesia menduduki peringkat 71 dari 129 negara yang disurvei. Laporan itu, pada intinya menyoroti masih buruknya kesempatan bagi anak perempuan untuk menikmati pendidikan.
Mestinya kita prihatin melihat kenyataan selama lima tahun terakhir ini tingkat partisipasi pendidikan kaum perempuan secara gradasi terus menurun dari tahun ke tahun. Tingkat partisipasi itu masih dikurangi dengan angka putus sekolah yang cukup tinggi. Kondisinya semakin menyakitkan jika dimasukkan angka buta huruf yang mencapai sekitar 15 juta penduduk berusia di atas 15 tahun dan di antaranya kebanyakan adalah perempuan. Sajian data dari UNESCO tersebut bisa dijadikan indikator betapa menyedihkan kualitas kaum ibu di negeri ini hingga puluhan tahun ke depan.***
Penulis, dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember dan tenaga medis di RSGM.
Opini Pikiran Rakyat 22 Desember 2010