Mustahil dimungkiri, Komisi Yudisial adalah lembaga yang punya posisi penting dalam sistem ketatanegaraan saat ini.
Selain merupakan organ konstitusional yang mendapat kewenangan langsung dari UUD 1945, KY juga punya posisi penting menguatkan ciri negara hukum, yakni adanya peradilan yang mandiri dan independen. KY menjadi pemegang erat kuasa untuk mengawasi peradilan agar tetap bersih dan bebas dari pengaruh apa pun.
KY bukan lahir dari kelatahan karena begitu banyak negara sudah mengadopsi KY dalam struktur ketatanegaraan mereka, tetapi memang ia mengemban tugas ”suci” untuk menjaga serta mengupayakan perbaikan kekuasaan kehakiman yang sangat dipertanyakan integritasnya.
Kesialan KY
Akan tetapi, kerja lembaga ini tak pernah mulus. Di awal berdirinya KY malah mendapat perlawanan sengit dari Mahkamah Agung (MA) yang ketika itu dipimpin Bagir Manan. Bahkan, sejarah KY berlanjut penuh ”kesialan”. Perlawanan 34 hakim agung yang enggan diawasi KY berujung pada judicial review di Mahkamah Konstitusi. Ini yang kemudian kita kenal dengan putusan ”ajaib” MK, karena selain meneguhkan bahwa MK tidak boleh diawasi KY, juga membatalkan pasal-pasal terkait dengan mekanisme pengawasan hakim oleh KY.
Pasal-pasal yang roboh tersebut hingga kini tak kunjung terbangun. Meski salah satu amanat putusan MK adalah pembahasan menyeluruh perundang-undangan terkait kekuasaan kehakiman (MK, MA, dan KY), DPR lebih mendahulukan UU MA yang ketika itu juga kental aroma tidak sedap di kitaran pembahasan, pengesahan, dan pengundangannya. Maka, UU KY pun terbengkalai hingga kini.
Kesialan juga terjadi akibat korupsi salah seorang komisionernya. Irawadi Yunus akhirnya terdepak dari KY dan komisioner KY tinggal enam orang. Kesialan itu bisa jadi dipicu penyebab personal, tetapi berpengaruh secara institusional. Pemeriksaan hakim di daerah-daerah mensyaratkan kehadiran komisioner. Karena tinggal enam orang dan banyak laporan yang membutuhkan pemeriksaan, kemampuan kerja KY pun terpengaruh.
Perhatian pemerintah yang kurang melengkapi atensi yang lemah dari DPR. KY harus mengalami perpanjangan masa jabatan ”sementara” karena terlambat dibentuknya panitia seleksi komisioner baru. Seharusnya berhenti Agustus, tetapi baru dilantik Desember.
KY ”baru”
Tanggal 20 Desember lalu semua komisioner dilantik. Tim kembali lengkap tujuh orang dengan komisioner baru, tetapi dengan kewenangan yang belum terbangun. Saat itulah ada satu tugas utama mahapenting bagi KY, yaitu menyelesaikan persoalan simalakama internal.
Dari komisioner terpilih, ada komisioner yang sangat rentan konflik kepentingan, bahkan bisa menjadi batu sandungan bagi kerja KY. Dalam laporan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), misalnya, jelas disebutkan bahwa ada komisioner terpilih yang menjadi bagian dari para pendorong judicial review untuk melumpuhkan KY. Ini bukan persoalan sepele karena bisa berimplikasi dengan cara berpikir tentang KY yang memang terbangun dengan cara ”tidak suka” kepada KY. Bagaimana bisa komisioner KY adalah ”pembenci” KY?
Bukan hanya itu, orang yang sama pun sudah dilaporkan berkali-kali ke KY. Bukan hanya dengan tuduhan dugaan pelanggaran etik, melainkan juga tercatat sebagai penunggak perkara terbanyak di MA ketika masih menjadi hakim. Lagi-lagi, sulit untuk mengatakan ini hal sepele. Konflik kepentingan akan jadi penyakit yang berpotensi menghambat kinerja KY.
Bukan hanya itu, ketiadaan komisioner KY lama juga berpotensi menjadi penghalang. Kesinambungan kerja berpeluang terganggu. Maka, secara teoretis, lembaga-lembaga negara independen sering memilih model pergantian staggered demi menjaga kesinambungan kerja dan tidak bekerja dari nol lagi.
Meredam simalakama
Apa pun itu, ketujuh komisioner telah terpilih melalui proses panjang dengan perintah aturan UU yang terbatas. Maka, siapa pun komisionernya sudah menjadi bagian dari proses sesuai aturan, meski berdampak makan buah simalakama.
Hanya saja, harus ada upaya untuk mencegah simalakama bersalin rupa menjadi virus mematikan yang akan membunuh KY. Paling tidak, komisioner terpilih harus berakselerasi dan menyesuaikan dengan cita dan fondasi dasar yang telah dibangun komisioner sebelumnya. Masa penyesuaian ini jangan sampai terlalu lama, karena pada saat yang sama KY masih memiliki ”utang” kerja, terutama menangani berbagai laporan yang belum terverifikasi hingga saat ini.
Lain hal, KY penting untuk terus mempertahankan jaringan yang sudah terjalin baik dengan publik selama ini. Hal yang juga menjadi penting adalah untuk mengawal KY tetap di lintasan yang benar dan menyelesaikan pertanyaan besar soal siapa yang berwenang mengawasi lembaga pengawas.
KY juga harus menghindari potensi konflik kepentingan. Salah satu caranya adalah menghindari kemungkinan mendorong sosok-sosok yang berpotensi mengalami konflik kepentingan menjadi pemegang jabatan ketua yang punya kuasa administrasi kuat. KY harus paham yang dimaksud dengan melakukan akselerasi yang membutuhkan jalan lapang agar tidak ditinggalkan. Pada saat yang sama, KY membutuhkan kepemimpinan yang mampu dan punya kemauan kuat untuk menghindari semua proses miring, paling tidak kasus Irawadi Yunus tidak terulang.
Semua komisioner harus mampu dan mau untuk ini. Demi KY yang benar-benar pengawas komisi yudisial, tanpa harus terus mengalami nasib sial.
Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum FH UGM; Direktur PuKAT Korupsi, FH UGM Yogyakarta
Opini Kompas 22 Desember 2010
21 Desember 2010
Simalakama Komisi (Yudi)-sialSimalakama Komisi (Yudi)-sial
Thank You!