PAKAR ekonomi sering mengatakan, pemerintah tidur pun ekonomi tetap akan berjalan. Rupanya itu tidak keliru. Relatif tanpa beleid ekonomi yang jitu dan ampuh Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II toh perekonomian kita tahun ini masih mempunyai kinerja jempolan.
Beberapa indikator penting di antaranya adalah laju pertumbuhan yang bisa mendekati atau bahkan menyentuh 6 persen, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia sudah bertengger di atas level 3.700, dan kurs rupiah menguat hingga mencapai posisi Rp 8.900 per dolar AS. Laju inflasi terkendali di kisaran yang sama dengan angka pertumbuhan serta cadangan devisa yang sudah mencapai sekitar 94 miliar dolar AS. Pendek kata ekonomi kita sepanjang tahun ini baik-baik saja.
Padahal tim ekonomi kabinet, terutama setelah ditinggal Menkeu Sri Mulyani, seperti tak kelihatan sosoknya. Jangankan paket-paket regulasi yang banyak dikeluarkan pada masa Orde Baru, yang ada bahkan kebimbangan peraturan seperti rencana pengurangan subsidi BBM yang masih maju mundur. Business as usual itulah yang terjadi di dalam negeri tetapi untunglah faktor eksternal atau global banyak membantu. Inilah yang sering disebut sebagai ekonomi berwajah ganda karena yang membantu justru kekuatan dari luar.
Di dalam negeri selain faktor gangguan akibat bencana alam di berbagai tempat seperti Jateng dan DIY, relatif kondisi usaha dan daya saing masih menjadi faktor krusial yang banyak dikeluhkan pengusaha, namun belum mampu diselesaikan secara efektif.
Bunga kredit masih relatif tinggi kendati suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) sudah ditekan menjadi 6,5 persen. Insentif khusus bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tak kunjung datang, sementara yang besar-besar pun tetap dihadapkan pada kendala klasik di lapangan seperti mahalnya perizinan dan birokrasi serta peraturan ketenagakerjaan yang kurang kondusif dan cenderung menyulitkan.
Global Membaik
Ekonomi global memang cenderung membaik sepanjang tahun ini setelah didera krisis keuangan tahun 2007-2008 yang dipicu krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Dari pertumbuhan minus sekarang sudah positif dan bahkan mulai merangkak naik. Inilah yang disebut dengan masa-masa rebound dan itu tidak lain sangat dipengaruhi oleh geliat ekonomi di negaranya Obama yang masih menjadi kekuatan terbesar di dunia, kendati sekarang mulai dibayangi oleh China.
Amerika Serikat yang pada tahun-tahun lalu terpuruk tahun 2010 ini diperkirakan bisa tumbuh 2,4 persen. Jepang pun sudah tidak negatif kendati baru mencapai 1,6 persen. Yang spektakuler adalah kebangkitan ekonomi Singapura dari minus menjadi positif, bahkan dua digit. Tahun ini negara tetangga kita yang banyak mengandalkan sektor jasa dan keuangan itu akan membakukan laju pertumbuhan 14,6 persen. Sedangkan China yang memang tak terpengaruh dampak krisis global masih tetap bertahan di kisaran 9-10 persen.
Di belahan dunia lain, negara-negara Eropa juga menunjukkan kestabilannya. Hal itu tidak hanya terlihat dari laju pertumbuhan namun sekarang ada indikator yang lebih jeli melihat kondisi perekonomian yakni apa yang disebut leading economic index (LEI) yang juga menunjukkan tren meningkat dengan didukung oleh terkendalinya inflasi serta suku bunga. Secara keseluruhan ekonomi dunia sekarang memasuki tahap ekspansi dan itu akan berlanjut pada tahun 2011.
Dampaknya bagi Indonesia tentu sangat besar karena laju perkembangan ekspor migas dan nonmigas kita pun berada pada tingkatan yang cukup tinggi yakni mencapai 14,2 persen. Walaupun pada saat yang sama, akibat ketergantungan pada impor yang masih besar, kita masih harus banyak memasukkan barang dan jasa dari luar dengan laju pertumbuhan 12,1 persen.
Kepercayaan global terhadap Indonesia pun tercermin dari arus modal yang masuk ke sini. Sayang masih lebih banyak investasi jangka pendek dalam bentuk portofolio di pasar modal sehingga sangat rentan. Meskipun demikian perbaikan bursa saham dunia dan pergerakan mata uang negara-negara maju sangat mendukung perbaikan ekonomi domestik.
Wajah 2011
Dengan modal itulah maka kita memasuki tahun 2011 dengan sebuah optimisme yang tinggi. Apalagi kalau kelak pemerintah bisa lebih aktif membenahi kendala-kendala perekonomian dalam negeri seperti infrastruktur, keterbatasan listrik, pengendalian harga pangan dan energi serta pembenahan regulasi yang memangkas ekonomi biaya tinggi.
Tanpa itu saja ekonom yang tergabung dalam Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) berani mematok laju pertumbuhan ekonomi di kisaran 6-6,4 persen. Angka itu tidak jauh berbeda dari prediksi yang dikeluarkan Bank Indonesia ataupun pemerintah. Sementara itu, laju inflasi masih akan bisa ditekan pada angka 6,2-6,7 persen tentu dengan kebijakan pengendalian ketat di bidang moneter karena tekanan inflasi akan muncul seiring dengan kebijakan pengurangan subsidi, harga pangan, ataupun energi lainnya.
Melihat gejala dan tren global maka semua indicator ekonomi masih akan membaik di tahun depan. Jika tidak ada shock yang datang tiba-tiba akibat fluktuasi harga minyak, guncangan nilai tukar mata uang maupun krisis keuangan seperti di Amerika Serikat beberapa tahun lalu maka kita tak perlu merasa cemas. Kalau pun performance menteri-menteri ekonomi masih datar-datar saja seperti sekarang, asalkan otoritas moneter berhasil menjaga stabilitas maka semua masih akan oke oke saja, dan bahkan akan mengalami ekspansi.
Kita akan cukup aman dengan harga minyak dunia antara 75 dan 90 dolar AS per barel, suku bunga SBI antara 6,2 dan 6,5 persen dan kurs rupiah antara Rp 9.100 dan Rp 9.400 per dolar AS. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah terus berupaya menggenjot sector riil yang agak melesu seperti garmen dan sektor UMKM secara keseluruhan mengingat dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja sangat besar. Jangan hanya mengandalkan sektor-sektor yang nilai investasinya besar seperti pertambangan dan perkebunan namun kurang banyak membutuhkan tenaga kerja.
Harus diakui sepanjang tahun 2010 keberhasilan pengendalian dari sisi moneter membuahkan hasil efektif. Namun apa artinya tanpa didukung pergerakan sektor riil yang cepat karena di situlah perekonomian tumbuh secara riil dan kita tidak akan lagi terjebak pada penggelembungan ekonomi (bubble economy) pada masa lalu karena hanya silau pada kemajuan di sektor keuangan.
— Sasongko Tedjo, wartawan Suara Merdeka, Penasihat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Semarang
Wacana Suara Merdeka 22 Desember 2010