21 Desember 2010

» Home » Okezone » Opini » Subsidi di antara Kapitalisme Korporasi dan Negara

Subsidi di antara Kapitalisme Korporasi dan Negara

Pada 4 September 2008, saya diundang menjadi narasumber di Panitia Angket DPR tentang BBM menyusul kebijakan pemerintah menaikkan BBM sekira 29 persen.

Presentasi saya pada hari itu menyangkut kebijakan kepemilikan, penguasaan, pengelolaan, pendayagunaan sumber daya migas, produksi dan distribusinya. Ini merupakan masalah besar karena ketahanan energi Indonesia rata-rata 21 hari.

Menurut data BP Migas, kebutuhan minyak mentah Indonesia mencapai 1,2 juta barel per hari dan karenanya Indonesia harus mengimpor sekira 300.000 barel per hari. Pada minyak olahan, kita mengonsumsi minyak sekitar 1,15 juta barel (65 juta kilo liter) per hari, produksi kilang sekira 691 ribu barel (39,5 juta KL) per hari, dan karenanya Indonesia mengimpor dalam kisaran 450.000 barel (25,5 juta KL) per hari.

Badan yang dipercaya mengurus masalah hulu migas ini juga menerbitkan data bahwa Pertamina hanya memproduksi minyak sekira 14-16 persen dari 970.000 barel per hari. Sisanya diproduksi oleh perusahaan minyak asing, yang notabene membangun sistem kartel perminyakan. Artinya, jika mereka menguasai hulu, mereka pun menjadi produsen dan penjual eceran seperti stasiun pompa bensin umum (SPBU). Data ini menunjukkan, Indonesia sudah menjadi net importer, tapi pada saat yang sama kita membiarkan sumber daya energi kita dieksploitasi asing. Yang menarik, sejumlah pejabat, akademisi, dan politisi berteriak penuh semangat pentingnya meningkatkan daya saing.

Mungkin mereka lupa, saat produksi dan harga energi (primer dan sekunder/ PLN) tidak bisa dikendalikan pemerintah, harga-harga akan terus meroket. Peningkatan harga-harga ini akan membuat daya saing menurun karena energi merupakan unsur biaya produksi sekira 15-60 persen.

Intervensi Asing

Ketika itu saya juga menyampaikan beberapa data yang menyangkut program reformasi sektor energi yang “digagas dan dianjurkan” IMF, USAID, dan Bank Dunia kepada Pemerintah Indonesia. Data ini pun saya serahkan bukan cuma kepada panitia angket, juga kepada instansi pemerintah lain yang berkompeten. Karena itu Kompas pada 5 September menjadikannya berita dengan judul, Intervensi Asing Terkuak. Tidak cukup dengan hal itu, di beberapa televisi swasta saya mengemukakan hal yang sama.

Bahkan dalam suatu debat dengan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro di Soegeng Sarjadi Forum, saya mengemukakannya apa adanya. Salah satu dokumen yang saya kemukakan adalah pinjaman Pemerintah RI kepada Bank Dunia dengan nomor pinjaman 4712-IND yang disetujui pada Juni 2003. Pada perjanjian pinjaman ini, Bank Dunia meminjamkan dana kepada Pemerintah RI untuk mengurangi beban fiskal (menghilangkan subsidi secara bertahap) dan menyesuaikan harga BBM sehingga sesuai mekanisme pasar. Dana pinjaman ini ditujukan untuk meningkatkan kesediaan publik menerima perlunya kenaikan harga BBM dan mengembangkan mekanisme efektif dalam menyubsidi masyarakat miskin.

Dengan program reformasi sektor energi ini dan dalam keterikatan perjanjian dengan Bank Dunia dan ADB, Sekjen OECD pada 01 November 2010 dengan vulgar meminta Indonesia memenuhi komitmen meliberalkan sektor ini. Adakah ini intervensi berwujud permintaan? Merujuk data ini, saya mengerti kenapa Bank Dunia sebelumnya melakukan riset dan menyampaikan data bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang kaya. Menurut mereka, subsidi energi adalah salah sasaran. Sebabnya adalah mobil pribadi mencapai 99 persen sementara kendaraan umum di bawah 1 persen. Saya juga mengerti kenapa 30 tokoh menyetujui pencabutan subsidi tanpa lebih dulu mendudukan masalah secara proporsional. Subsidi menurut pemerintah telah mendistorsi harga.

Amanat Konstitusi

Menurut saya, soal energi harus dilihat dalam perspektif konstitusi hingga ke masalah hitung-hitungan, termasuk dalam kaitan penggunaannya. Dalam rujukan Pasal 33 (ayat 1, 2, dan 3) UUD 45, soal energi adalah soal hajat hidup orang banyak. Dalam peringatan 50 Tahun OPEC kemarin, negara-negara OECD bahkan menganalisis bagaimana perebutan energi antara negara-negara G-7 dan BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China), antara penguasaan energi di bawah kendali OPEC dan non-OPEC. AS— yang menyadari betul bahwa soal energi merupakan soal kedaulatan ekonomi— risau dengan tingginya konsumsi energi dalam negeri dan menurunnya produksi dari Teluk Meksiko serta menurunnya pasokan dari Venezuela.

Sadar bahwa G-7 mendominasi sumber daya dan produksi minyak, kebijakan moneter di dunia harus diikuti dengan memainkan kembali harga minyak. Dalam acara halal bilal dengan LSM se-Jakarta pada November 2008, saya menyampaikan bahwa krisis kapitalisme AS akan pulih melalui perang regional dan lokal, kebijakan energi, keuangan, dan media massa. Perang pengendalian produksi dan harga energi serta keuangan akan membaik sepanjang media massa Barat berhasil menciptakan persepsi publik dunia yang positif atas kebijakan Barat.

Karena itu, Barat tidak akan berhenti melanjutkan kebijakan dominasi energi dan keuangannya terhadap negara-negara yang sudah berhasil dipenetrasi. Presiden AS Obama pada 22 September kemarin di UN Summit menyatakan, “Foreign aid is ‘core pillar of American power.” Yang menarik, saat para pemimpin Barat termasuk pemimpin Jepang, RRC, dan India konsisten dengan strategi perjuangan mencapai kepentingan nasionalnya, Indonesia seakan abai dengan amanah konstitusinya. Hal ini pernah saya sampaikan berkali-kali di Mahkamah Konstitusi saat menggugat UU Kelistrikan.

Penanaman Modal

Dari aspek pemahaman subsidi, pemerintah menetapkan subsidi sama dengan harga pasar (yang mereka sebut dengan harga keekonomian) dikurangi harga yang ditetapkan pemerintah. Jika pemahamannya demikian, pemerintah sudah menggeser lingkup energi sebagai public goods(barang publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak) menjadi commercial goods (barang yang diperdagangkan menurut harga pasar atau hukum penawaran dan permintaan). Pergeseran arti ini memberi dampak sangat mendalam bagi kehidupan sosial politik dan ekonomi.

Dari aspek harga, saya sulit mengerti berapa sesungguhnya biaya pokok produksi (BPP) minyak mentah per barel. Saya menjumpai berbagai kalangan yang ahli dan sangat berpengalaman dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak.Saya pun mempelajari kajian produk suatu konsultan di Prancis (grup Total) bagaimana sistem dan mekanisme produksi kilang hingga harga akhirnya. Kata kuncinya pada BPP minyak mentah dan minyak olahan (harga beli pada jaminan pasokan minyak mentah dan harga jual pada jaminan pembelian minyak olahan) sekaligus bagaimana perusahaan minyak menghargai risiko yang dihadapinya. Dari diskusi dengan berbagai kalangan ini, saya membangun asumsi, jika BPP minyak mentah adalah USD8 per barel, sama dengan Rp500 per liter, setara dengan harga USD88 per barel di pasar.

Kalau diproses menjadi minyak olahan dengan nilai tambah 10 kali lipat, harga akhir di pemakai adalah sekitar Rp5.000-5.500 per liter untuk premium dengan RON 88. Bila BPP-nya mencapai USD12 per barel, sama dengan Rp700 per liter, setara dengan harga USD122 per barel di pasar. Melalui pengolahan, penyimpanan, dan pendistribusian, harga akhirnya premium RON 88 di pemakai menjadi Rp7.000- 7.500 per liter. Lalu, berapa sesungguhnya BPP untuk premium yang kita konsumsi? BPK pernah mengaudit hal ini. Tapi, buat saya belum ada kejelasan karena BPP tersebut sangat bergantung pada letak sumur dan harga risiko yang ditetapkan perusahaan minyak.

Penetapan risiko ini sangat subjektif karena mencakup pula soal reputasi dan kredibilitas yang tidak ada patokan harganya. Pencabutan subsidi BBM yang sama dengan kenaikan harga sesuai mekanisme pasar sebenarnya membutuhkan bukan saja penyelesaian kebijakan strategis teknis. Perpres 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan UU 30/2007 tentang Energi juga sudah tegas menyebut berlakunya harga keekonomian. RUU Migas yang dalam pembahasan di DPR pun akan mengikuti jejak tunduknya energi pada harga pasar. Simpulannya menjadi, kita sedang menapak je-jak kapitalisme korporasi. Padahal krisis kapitalisme AS 2007/2008 membuktikan kapitalisme korporasi kalah melawan kapitalisme negara.

Saat masuk ke ruang moneter, saya pun menyampaikan hal itu sebagai perang nilai tukar saat menjadi saksi ahli di Panitia Angket DPR untuk Bank Century, 21 Januari 2010. Dalam rujukan uraian di atas, saya kira berlakunya mekanisme pasar pada BBM di Maret 2001 akan diikuti dengan berlakunya harga pasar pada tarif dasar listrik. Apakah ini perubahan yang diharapkan rakyat karena harga-harga akan terus merangkak naik bersamaan dengan industri otomotif pun tak mau menurunkan kapasitas produksinya? Biarlah waktu yang menjawabnya karena perang kapitalisme itu masih berlangsung.(*)

Ichsanuddin Noorsy
Pendiri dan Deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)



Opini Okezone 22 Desember 2010