Revitalisasi industri gula dicanangkan sejak era Presiden Abdurrahman Wahid. Namun, hingga masa jabatan kedua SBY dan setahun pemerintahan SBY-Boediono, revitalisasi tak kunjung tuntas.
Seperti tari poco-poco, implementasi revitalisasi maju-mundur. Industri gula tetap dengan wajahnya dulu: tak efisien, kebijakannya tak terintegrasi dan struktur pasar gula oligopolistik. Akibatnya, harga gula naik-turun, seperti saat ini harganya tinggi.
Gula komoditas manis. Karena itu, sering jadi ajang rebutan dan sarat intervensi. Intervensi terbaru bakal dilakukan Menteri Perdagangan Mari Pangestu, yaitu memberikan izin penjualan gula kristal rafinasi (GKR) ke pasar umum secara terbatas dengan merevisi Kepmenperindag No 527/2004 tentang Ketentuan Niaga Impor Gula. Menperdag beralasan, beleid ini untuk menjaga keseimbangan antara melindungi kesejahteraan petani tebu, menjaga kecukupan stok domestik, dan kestabilan harga untuk konsumen. Menurut Mari, revisi itu jadi kunci pencapaian swasembada gula (Kompas, 9/12/2010).
Menperdag sepertinya mendapat masukan salah. Sebelum telanjur, revisi harus dikaji ulang. Jika tidak, tak hanya akan ada perlawanan dari petani tebu (Kompas, 10/12/2010), tetapi cita-cita swasembada—yang terus-menerus direvisi—juga bakal menguap. Munculnya Kepmenperindag No 527/2004—hasil revisi keputusan serupa No 643/ 2002—didasari ambruknya industri gula nasional. Karena kepastian investasi tak terjamin, produksi terus menurun. Impor tak terkendali. Tahun 2000 produksi hanya 1,4 juta ton. Ini imbas liberalisasi atas desakan IMF. Kepmenperindag diterbitkan untuk mencegah penyelundupan, membatasi impor, dan memberi kepastian harga pada petani lewat harga talangan. Ada tiga tujuan yang diusung: mencapai swasembada gula, meningkatkan daya saing, dan mendongkrak pendapatan petani.
Hasil enam tahun (2002- 2008) beleid ini, pertama, kenaikan produksi gula 1,2 juta ton (dari 1,6 juta ton tahun 2002 jadi 2,8 ton pada 2008), sehingga kita kembali swasembada gula konsumsi; kedua, harga gula kita kian kompetitif; ketiga, meningkatnya pendapatan petani sehingga mereka lebih bergairah menanam tebu. Ini ditandai penambahan areal (43.000 ha) dan penggantian ratoon dengan bibit baru. Penambahan produksi 1,2 juta ton setara investasi enam pabrik gula (PG) baru berkapasitas 150.000-200.000 ton tebu per tahun senilai Rp 1,2 triliun. Satu PG menyerap 900 tenaga kerja langsung dan 15.000 tenaga kerja tidak langsung.
Kepmenperindag juga mengatur pasar gula: GKR hanya untuk industri makanan-minuman, sedangkan gula kristal putih (GKP) produksi petani dan PG mengisi pasar gula konsumsi langsung. Ini dilakukan karena medan persaingan tak imbang. Investasi industri GKP tiga kali lipat dari industri GKR. Pabrik GKR hanya mencuci gula mentah impor, lalu menjualnya. Pabrik GKP harus membuka kebun, menyiapkan petani, dan membangun pabrik. Industri GKP melibatkan 450.000 rumah tangga di on-farm. Jika diperhitungkan di sektor off-farm, serapan tenaga kerja mencapai 10 juta. Jika pasar GKR bisa masuk pasar GKP, bukan hanya tak adil, tapi industri GKP nasional bakal habis.
Kepentingan sempit
Saya menduga, penyatuan pasar GKR dan GKP didasari ketakmampuan aparat mengawasi perembesan GKR ke pasar GKP. Berulang kali distribusi dan pengawasan dibenahi, tak berhasil. Jika dugaan ini benar, untuk kesekian kali pemerintah terjebak kepentingan jangka pendek, solusi tambal sulam dan penuh kompromi. Cara-cara reaktif ini tak mampu menyentuh jantung masalah industri gula.
Selain penataan ulang pasar GKR dan GKP, industri gula harus disembuhkan dari penyakit inefisiensi dan salah manajemen, termasuk penataan insentif yang tak seimbang di petani, pabrik dan pasar. Inefisiensi dan salah manajemen terjadi pada tingkat usaha tani, panen, tebang angkut dan pengolahan. Lima tahun terakhir, efisiensi dan manajemen di usaha tani, panen dan tebang angkut mulai membaik.
Tetapi tidak demikian efisiensi di tingkat pengolahan (PG). Persoalan ada pada banyaknya PG yang usang dan tua. Jumlah PG 59 buah, 68 persen berumur di atas 80 tahun dan 80 persen di Jawa. Akibat mesin tua, kinerja tak maksimal. Mesin bocor, nira tebu banyak yang tak jadi gula. Secara teoretis kita mampu mencapai rendemen 14-15 persen jika ada efisiensi, tapi karena PG sudah tua, rendemen hanya 6-7 persen, jauh di bawah pencapaian di era 1930-an (11-13 persen).
Dari 59 PG, beberapa swasta. Sebagian besar ada di Lampung, dan didirikan 1970-an. Dari sisi teknologi, PG PTPN jauh ketinggalan zaman ketimbang PG swasta. Ini berpengaruh pada efisiensi, yang salah satunya bisa dilihat dari angka rendemen. PG Gula Putih Mataram di Lampung rendemen 2007 rata-rata 9,47 persen dengan produktivitas 7,17 ton gula/ha. PG Gunung Madu Plantations: rendemen 9,44 persen dan produktivitas 7,48 ton/ha. Bandingkan dengan rata-rata PG PTPN di Jawa: rendemen 6,91 persen dan produktivitas 5,66 ton/ha. Karena itu, pemerintah harus membuat kebijakan mendasar dan komprehensif untuk melakukan revitalisasi dengan jadwal jelas, ketat, langkah konkret dan konsisten.
Guna mengoreksi pasar internasional yang distortif, pemerintah harus menciptakan proteksi memadai. Saat ini sudah ada kebijakan koreksi, seperti subsidi input (bibit, pupuk, irigasi dan kredit), pengaturan impor (tarif, waktu dan pelaku impor), dan harga talangan. Namun, pemerintah masih punya pekerjaan rumah mendesak: harmonisasi ulang tarif impor, baik untuk raw sugar (Rp 550/kg), white sugar (Rp 790/kg), maupun makanan-minuman (5 persen). Tanpa ini kemelut GKR merembes ke pasar GKP akan berulang dan kita terus terjebak kebijakan jangka pendek, maju-mundur seperti poco-poco.
Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Opini Kompas 22 Desember 2010
21 Desember 2010
Poco-poco Industri Gula
Thank You!