21 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Minyak dan Problem Sistem

Minyak dan Problem Sistem

Target produksi siap jual (lifting) minyak mentah dalam APBN Perubahan 2010 sebesar 965.000 barrel per hari hampir pasti gagal lagi dicapai.
Realisasi lifting hingga November baru 957.000 bph. Kelihatannya—dalam satu bulan terakhir 2010 ini— produksi akan sangat sulit dinaikkan untuk mengejar target. Alasan pejabat terkait kegagalan ini, sebagaimana juga alasan tahun-tahun sebelumnya, adalah gangguan alam berupa angin dan ombak besar, selain peralatan dan pipa bocor.
Sebenarnya fenomena alam itu rutin terjadi sehingga seyogianya bisa diantisipasi. Sebagaimana diketahui, instansi yang mengurus produksi minyak ini, baik langsung maupun tidak langsung, sangat banyak.
Selain BP Migas dan Ditjen Migas berikut Kementerian ESDM, ada Kementerian Keuangan karena produksi minyak terkait langsung dengan pemasukan APBN. Di lapangan ada Pertamina berikut puluhan kontraktor/perusahaan minyak. Juga ada Dewan Energi Nasional karena produksi minyak terkait langsung dengan perencanaan dan kebijakan energi.
Faktanya, justru produksi minyak nasional menuju arah yang sangat memprihatinkan, terutama 10 tahun terakhir ini. Tahun 1999 produksi masih 1,5 juta bph, kini hanya 965.000 bph! Tidak hanya sasaran lifting APBN tidak tercapai, Indonesia menjadi importir neto (net-oil importer) dan harus keluar dari OPEC.
Salah kelola
Maka anjloknya produksi minyak nasional sejatinya bukan karena faktor cuaca atau pipa bocor. Bukan juga karena habisnya potensi sumber daya dan cadangan migas di perut bumi. Anjloknya produksi minyak adalah gara-gara salah kelola!
Produksi minyak Indonesia hanya mengandalkan lapangan- lapangan tua dengan kemampuan produksi yang sudah sangat menurun. Mungkin ada satu atau dua lapangan tua yang produksinya bisa dioptimalkan, misalnya dengan teknik enhanced oil recovery (EOR), tapi hasilnya tidak signifikan. Dalam 10 tahun terakhir, jumlah pengeboran eksplorasi jauh menurun sehingga penemuan cadangan/blok baru nyaris tidak ada.
Fakta menunjukkan, sebelum RUU Migas diajukan ke DPR tahun 1999, jumlah sumur eksplorasi (pengeboran untuk mencari cadangan baru) sekitar 200-an sumur per tahun. Namun, setelah pemerintah berencana mengganti peraturan perundang-undangan dengan mengajukan RUU Migas ke DPR, investor pilih menunggu sehingga pengeboran eksplorasi anjlok ke level 90 sumur per tahun.
Setelah RUU Migas disahkan menjadi UU Migas No 22/2001, jumlah pengeboran eksplorasi justru semakin turun, menjadi hanya 50-an sumur per tahun. Pengeboran ini pun terjadi di blok lama. Akibatnya, dalam 10 tahun terakhir nyaris tidak ditemukan cadangan/blok minyak baru. Produksi yang hanya bergantung pada lapangan-lapangan tua berujung pada penurunan produksi secara sistemik.
Anjloknya kegiatan eksplorasi adalah dampak sistem yang salah, mengacu UU Migas No 22/2001. Paling tidak ada dua kesalahan utama yang kontraproduktif dan dijauhi investor.
Pertama, sistem perminyakan nasional menjadi sangat tidak efisien dan sangat birokratis. Saat ini investor harus menemui begitu banyak pejabat/instansi pemerintah. Diubahnya pola kemitraan dengan pihak investor dari pola business to business (B to B) menjadi pola B to G (government) yang dibarengi dengan lembaga baru bernama BP Migas, membuat proses investasi migas menjadi sangat panjang, sangat birokratis, dan sangat lama.
Sewaktu masih B to B, investor migas hanya diurus oleh sekitar 40 orang di Pertamina. Kini jumlah karyawan BP Migas yang mengurus investasi migas menjadi sekitar 500 orang.
Kedua, kebijakan fiskal migas yang diciptakan berdasarkan Pasal 31 UU Migas No 22/2001 bertentangan dengan praktik yang umum di industri perminyakan. Berdasarkan UU ini, investor diwajibkan membayar berbagai macam pajak dan pungutan meskipun belum menemukan minyak. Umumnya kewajiban membayar pajak baru diterapkan jika sudah menemukan cadangan dan berproduksi karena sifat industri migas yang sangat berisiko. Sebelum UU Migas No 22/2001, Indonesia menganut prinsip lex-specialist ini.
Bentuk kerja sama dengan investor yang menerapkan prinsip lex-specialist adalah kontrak kerja sama (production sharing) yang sudah diterapkan sejak 1960-an. Namun, sekarang dengan Pasal 31 UU Migas, timbul situasi yang tidak menentu. Di satu sisi, prinsip ini diakui dalam kontrak kerja sama, di sisi lain dihapus berdasarkan Pasal 31 UU Migas.
Sayang sekali, kesalahan fatal ini diselesaikan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan dan dengan UU APBN yang hanya berlaku satu tahun, tanpa menyentuh substansi masalah yang bersumber pada Pasal 31 UU Migas.
Tak ayal lagi, saat ini iklim investasi migas di Indonesia menjadi salah satu yang terjelek di dunia, bahkan paling jelek di kawasan Oceania (hanya lebih bagus dari Timor Leste). Dari sekitar 133 negara/wilayah yang disurvei oleh Fraser Institute Canada, Indonesia berada di urutan 111. Investasi migas di Indonesia lebih jelek dari Malaysia, Vietnam, Australia, PNG, Filipina, Thailand, Kamboja, Brunei, India, Pakistan, China, Angola, Aljazair, Brasil, dan seterusnya.
Rugikan negara
Selain UU Migas berdampak negatif terhadap investasi dan penemuan cadangan baru, UU ini juga terbukti merugikan negara. BP Migas yang diserahi sebagai pengelola tidak layak berbisnis perminyakan tidak dilengkapi Dewan Komisaris. Padahal, lembaga ini mengontrol pengadaan barang dan jasa senilai lebih dari Rp 100 triliun setiap tahun yang akan diklaim sebagai biaya pemulihan oleh para kontraktor.
Karena BP Migas bukan entitas bisnis, maka migas bagian negara yang berasal dari kontraktor harus dijual/dikembangkan oleh pihak lain. BP Migas tidak bisa membangun fasilitas/pabrik LNG dan tidak bisa menjual hasil produksinya. Karena itu, LNG Tangguh dan LNG Donggi Senoro harus diserahkan kepada pihak lain yang berpotensi merugikan negara triliun rupiah.
Demikian juga dengan lapangan produksi migas yang akan selesai masa kontraknya, BP Migas pasti tidak bisa secara langsung melanjutkan operasinya sebagaimana BUMN Migas di negara-negara OPEC maupun non- OPEC, yang dapat melanjutkan operasi begitu lapangan selesai kontrak.
Meskipun Mahkamah Konstitusi sudah mencabut beberapa pasal pokok dari UU Migas dan Pansus Hak Angket DPR sudah merekomendasikan agar UU Migas diganti, ternyata pemerintah sama sekali tidak tergerak untuk berinisiatif memperbaiki sistem yang salah ini dengan mengganti UU Migas. Tidak mengherankan bila Global Petroleum Survey 2010 oleh Fraser Institute menyimpulkan, Presiden dan Menteri ESDM tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki investasi perminyakan Indonesia.
Justru yang berinisiatif memperbaiki UU Migas No 22/2001 adalah DPR. Padahal, yang mengajukan RUU Migas ke DPR tahun 1999 adalah pemerintah (Menteri ESDM), bukan DPR!
Kita mengimbau Presiden SBY untuk menjawab hasil survei tersebut, misalnya dengan segera mengeluarkan Perpu untuk Mengganti/Mencabut UU Migas No 22/2001. UU Migas memang sebaiknya dicabut, bukan sekadar tambal sulam.
Ini perlu agar citra SBY di kalangan industri perminyakan dunia sebagai presiden yang ”tidak peduli” terhadap perminyakan negaranya bisa dihapus.
Kurtubi Pengajar Pascasarjana FEUI dan Universitas Paramadina, Alumnus Colorado School of Mines (CSM) Denver dan Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs (ENSPM) Paris

Opini Kompas 22 Desember 2010