21 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » Ibu, Saka Guru Suami, Anak, dan Ekonomi

Ibu, Saka Guru Suami, Anak, dan Ekonomi

Pada menunggu delay-nya pesawat di ruang tunggu Soekarno-Hatta saya duduk bengong membunuh waktu, dengan menikmati hidangan gratis yang disediakan oleh maskapai penerbangan. Dari kejauhan tampak seorang ibu paruh baya memasuki ruangan dengan keringat bercucuran serta mengapit sejumlah tas, dan diikuti seorang anak usia belasan tahun. Tidak ada tempat duduk tersisa di ruangan itu. Dengan etika timur, saya persilakan sang ibu untuk duduk di tempat yang penulis duduki. Apa yang terjadi, justru beliau mendahulukan sang anak. Beliau sendiri tetap berdiri. Ini contoh keutamaan dari seorang ibu pada kita semua.
Sekalipun tampak lelah, wajah yang sudah tidak muda lagi itu tetap semringah, ikhlas berjuang dalam kehidupan ini. Pemandangan ini membuat hati terenyuh, ada pertanyaan tersisa apa gerangan yang terjadi sebenarnya. Dari percakapan antara ibu dan anak, tertangkap bahwa keluarga ini adalah pedagang antarpulau. Sementara sang suami sendiri pegawai pada satu perusahaan ekspedisi pengangkutan barang dengan pendapatan yang pas-pasan. Penulis sengaja tidak membuka ruang sosial dengan sang ibu karena takut mengganggu atau juga tidak etis di ruang publik serupa ini. Di samping itu penulis juga sedang aras-arasen.
Peristiwa ini memancing ingatan akan perjuangan para tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang pada umumnya wanita, berjuang untuk menghidupi tiga sudut yaitu, bakti kepada suami, memelihara/mengasuh anak, menghidupkan ekonomi keluarga. Sehingga kasus Sumiati yang terjadi beberapa lalu, membuat rasa keadilan terhadap wanita semua kita terusik. Wanita yang dalam bahasa klise “lembut manja” itu, ternyata menyimpan magma kekuatan yang begitu dahsyat. Mereka harus berperan ganda bahkan multi untuk dibaktikan kepada keluarga. Menggunakan istilah Soekarno, kita menyebutnya sebagai “saka guru” rumah tangga.
Hampir semua sektor kehidupan sekarang telah dijamah oleh kaum wanita. Tidak ada satu pun wilayah kehidupan tanpa campur tangan kaum perempuan. Mereka semua tangguh dalam melakoni perannya. Dari sopir bus penjelajah Jakarta, tukang ojek, sopir dump truck milik perusahaan asing di tengah jantung Jayapura. Bahkan penulis punya keluarga seorang ibu setengah baya tetapi masih mampu menjadi sopir keluarganya jika mudik dengan membawa kendaraan enam jam nonsetop. Semua itu didedikasikan buat satu, yaitu demi keluarga dan anak-anak.
Keluarga adalah ranah yang seolah menjadi tujuan akhir dari pergulatan panjang seorang perempuan, hanya bentuk manifestasinya saja yang berbeda. Mereka yang berada pada lapisan masyarakat biasa, upaya di sektor komoditas serta bidang jasa tenaga kasar menjadi pilihan. Mereka yang berada pada lapisan masyarakat menengah sektor yang digeluti lebih pada jasa. Sedangkan yang ada di lapisan atas pun tidak kalah gesitnya. Mereka berupaya dari satu arisan ke arisan lain, berkarya di sektor keuangan, property, dan lain sebagainya. Namun, jawaban mereka tetap satu jika ditanya kepada siapa semua itu didedikasikan, pada umumnya tetap satu yaitu demi keluarga.
Arena domestik pun tidak kalah serunya pergulatan seorang Ibu. Kita tidak pernah menghitung berapa kilometer panjang jalan ditempuh oleh seorang ibu dari pagi hingga petang. Begitu menjelang pagi hampir semua ibu bangun untuk mempersiapkan segala sesuatu keperluan anak-anak dan suaminya. Dari persoalan remeh temeh sampai dengan yang cukup memerlukan pemikiran dan tenaga, bahkan tidak jarang ibu pun harus mengendarai kendaraan pribadi dari sepeda motor sampai mobil untuk mengantarkan anak-anak ke sekolah. Bahkan ada yang juga mengantarkan suami ke kantor sambil menyuapi anak-anak, bahkan suami yang sedang mengendarai kendaraan. Semua ini memerlukan energi yang tidak sedikit. Tetapi jarang sekali kita menghitungnya, bahkan sering abai terhadap itu semua.
Ibu adalah simbol saka guru keluarga, sekaligus oasis kehidupan. Kepada beliau kita semua kembali jika punya persoalan. Seberat apa pun persoalan jika berbagi dengan ibu, persoalan itu seolah menjadi ringan. Sosok ibu yang dapat disubstitusi istri oleh suami, ternyata juga tidak kalah dahsyatnya. Banyak suami memerlukan oasis di rumah yang diperankan oleh istri. Kegagalan peran ini dapat berdampak yang luar biasa jika peran tadi tidak dapat diambil alih oleh istri. Sebaliknya dapat sukses yang besar jika peran itu dapat dilakonkan oleh istri dengan sempurna. Banyak tokoh-tokoh besar (laki-laki) di jagad ini yang kesuksesannya ditopang oleh istri yang teguh dan kuat, namun tidak menjadikan suaminya sebagai “budak”. Karena oasis sehingga dapat menumpahkan apa saja yang menjadi unek-unek, dari yang paling tidak enak, sampai yang paling enak. Dari yang menyenangkan sampai yang paling tidak menyenangkan. Di sini kita harus akui, peran sebagai oasis ini tidak mudah. Jika peran ini gagal, berakibat fatal bagi keluarga. Inilah peran saka guru yang tidak dapat digantikan oleh pihak lain.
Saka guru sebagai tiang penyangga utama memang memerlukan suatu figur yang kuat, dalam arti nonfisik. Ini disandang oleh sosok seorang ibu. Tidak jarang kita melihat bagaimana keuletan seorang ibu dengan mengorbankan segalanya apa yang ada demi masa depan keluarga dan anak-anaknya. Banyak contoh keluarga orang tua tunggal yang dilakoni ibu justru lebih berpeluang berhasil jika dibandingkan dengan dilakoni oleh seorang bapak. Hal ini bukan berarti mendeskriditkan atau mengecilkan peran bapak, melainkan sekadar meneguhkan bahwa bapak tidak akan berperan maksimal tanpa dukungan ibu.
Peran agung yang diperankan oleh ibu secara normatif pun telah ada sejak lampau. Pada kitab-kitab masa lalu kita pernah kenal istilah Ibu Pertiwi, Ibu Dewi Sri, Ibu Dewi Kuan Im. Semua itu melambangkan pengagungan terhadap peran ibu. Hingga masa modern sekarang merupakan pengejawantahan dari kepenerusan generasi akan pengagungan terhadap Ibu. Walaupun pada akhir-akhir ini ada warna bias yang coba diwarnakan kepada ibu, dengan memberi interpretasi lain atas nama emansipasi, hakikat maknawi dari ibu akan digeser. Atau juga mengatasnamakan rekonstruksi kembali, atau apa pun nama lainnya, tetap saja makna ibu adalah ibu.
Ibu sebagai lambang keberadaan sumber kehidupan pada agama samawi diberi bobot yang sangat lebih, dengan satu pernyataan peneguhan bahwa Sorga di bawah telapak kaki ibu. Ini merupakan suatu pengejawantahan ajaran mulia akan penghormatan terhadap ibu. Sekarang berpulang kepada ibu apakah surga atau berganti neraka yang ada di bawah telapak kakinya, karena pergeseran itu tidak dapat dimungkiri bisa saja terjadi karena akibat dari perilaku sang ibu.
Semoga peringatan Hari Ibu tahun ini dapat menjadikan momentum bagi kita semua untuk menyadari betapa besar dan pentingnya perannya dalam kehidupan. Ibu sebagai sumbernya hidup dan kehidupan bak mata air yang tidak pernah kering. Dia terus mengalir ke seluruh urat nadi keluarga tanpa batas waktu dan tempat. Ibu menjadi sumber inspirasi bagi keluarga karena ibulah pendidikan di dalam keluarga menjadi begitu sempurna. Karena ibulah keberlanjutan kehidupan menjadi ada, dan karena ibulah hidup ini menjadi bermakna. Selamat Hari Ibu.

Opini Lampung Pos 22 Desember 2010