Kita sering mendengar argumen, hak memilih dan dipilih dalam pemilu adalah bentuk hak politik (asasi) universal seseorang, termasuk anggota militer. Pertanyaannya bukan lagi benar atau salah, tetapi apa sesederhana itu?
Hak politik seseorang merupakan hak bersyarat yang standar universalitasnya ”tidak sempurna”. Hak politik dinyatakan Pasal 25 Kovenan Internasional Hak- hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol): ”Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk: a) ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; b) memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih.
Kalimat pertama di atas mengisyaratkan, hak dan kesempatan memilih dalam pemilu bisa dibatasi oleh suatu ”pembatasan yang layak (reasonable restriction)”. Misalnya, batasan usia (baik pemilih maupun kandidat terpilih), status kewarganegaraan, aspek teknis (sedang di luar negeri sehingga tidak terjangkau proses pemilu), kesehatan mental, atau bagi terpidana suatu kejahatan tertentu.
Ia tak boleh dibatasi atas dasar pertimbangan diskriminatif berdasarkan jenis kelamin, kelas ekonomi, status sosial, orientasi/afiliasi politik, ras, warna kulit atau etnisitas, latar belakang pendidikan dan kondisi fisik. Pembatasan bagi personel militer juga berlaku pada hak-hak politik lain, seperti menjadi anggota atau pengurus parpol, ikut dalam suatu demonstrasi politik (berseragam), bebas berpendapat di luar izin atasannya, atau membentuk suatu serikat buruh dan melakukan mogok. Pembatasan dibenarkan sejauh untuk menjaga profesionalisme, integritas, disiplin, dan mencegah insubordinasi.
Komite HAM, badan otoritatif Kovenan Hak Sipol, secara implisit mengakui pembatasan hak memilih dalam suatu pemilu bagi suatu kelompok tertentu, termasuk anggota militer, bisa diterima sejauh terkait kebutuhan mencegah terjadinya konflik kepentingan atau menjaga netralitas politik, juga mempertimbangkan konteks sejarah politik militer dalam masyarakat.
Pembatasan bisa dilakukan untuk memisahkan ”political sphere (ruang politik)” dari ”military sphere (ruang militer)”. Militer diharapkan independen, tak terlibat kontroversi politik nasional mengingat karakter natural parpol memperebutkan kompetisi dan kontestasi politik. Militer harus dipastikan tak terbelah secara internal karena dijadikan cantelan politik dari para parpol saat itu. Militer tak boleh terlibat jadi regulator politik di segala level institusi negara, apalagi mengintervensi parpol.
Pembatasan memiliki kondisi beragam di banyak negara, tergantung konteks domestik. Setidaknya ada tiga model kebijakan pemenuhan-pembatasan dalam mengompromikan prinsip pemenuhan HAM dengan prinsip netralitas:
Pertama, kebijakan pembatasan yang sangat tinggi (highly restrictive policies). Personel militer benar-benar dipisahkan dari ruang politik untuk menjamin integritas dan netralitas institusional. Kebijakan ini diambil untuk memastikan tidak adanya repetisi intervensi militer dalam dunia politik. Kebijakan ini umumnya diambil negeri-negeri transisional yang baru bangkit dari rezim otoriter berbasis militer. Memisahkan militer dari dunia politik praktis diharapkan menjadi jembatan untuk memuluskan dan menstabilkan demokratisasi.
Kedua, kebijakan pembatasan moderat (moderately restrictive policies). Diterapkan untuk menghindari keberadaan tampilan personel militer untuk proyek politik tertentu. Kebijakan ini membolehkan seorang anggota militer menjadi anggota parpol, tetapi melarangnya menjadi pengurus parpol, membolehkan seorang anggota militer berpartisipasi dalam suatu aktivitas politik tertentu sejauh mendapat izin dari institusinya dan dalam kapasitas tidak sedang berdinas (tidak berseragam).
Model ini bisa diterapkan pada konteks negeri yang sistem demokrasi dan penghargaan HAM nya sudah mapan, yakni personel militernya bisa memainkan secara baik pemisahan peran sosialnya sebagai militer dan anggota warga negara.
Ketiga, kebijakan pembatasan yang minim (least restrictive policies). Diterapkan untuk mendorong partisipasi politik personel militer sejauh tak mengompromikan tugas militernya. Model ini—seperti yang berlaku di Belanda—bahkan membolehkan, berdasarkan kondisi tertentu, partisipasi personel militer berseragam dalam suatu kegiatan politik atau bahkan melakukan demonstrasi di suatu instalasi militer. Di Jerman, ada pendekatan ”warga negara dalam seragam (citizen in uniform)”.
Model terakhir ini hanya diterapkan dalam sistem demokrasi sipil yang sangat mapan di mana prinsip HAM dan akuntabilitas telah diwujudkan dalam berbagai mekanisme yang terlembaga secara berlapis-lapis.
Bagaimana dengan negeri kita? Silakan anda menilainya.
Opini Kompas 25 Juni 2010