24 Juni 2010

» Home » Okezone » Lagi, Isu soal Hak Pilih TNI

Lagi, Isu soal Hak Pilih TNI

ISU soal hak pilih bagi individu anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) selalu bergulir dari pemilihan umum (pemilu) ke pemilu berikutnya sejak 1998.

Isu itu bagaikan bola panas yang selalu ditendang ke sana kemari oleh kalangan politisi (termasuk presiden), baik yang ada di lembaga eksekutif maupun legislatif. Anehnya, gagasan atau bola panas itu tidak pernah dapat dijebloskan ke gawang DPR melalui proses legislasi yang apik dan diterima semua pihak.

Menjelang Pemilu 1999, sebagian besar kalangan pengamat politik dan politisi sudah memikirkan agar para anggota TNI diberi hak untuk ikut Pemilu 1999. Pemikirannya, saat itu ialah awal era Reformasi sehingga TNI juga sedang hangat-hangatnya menerapkan reformasi internal di jajarannya. Ibarat besi yang masih panas, tentunya akan jauh lebih mudah mereformasi TNI ketimbang bila besi itu sudah dingin.

Seperti warga negara Indonesia lainnya pada pemilu pertama 1957, semua anggota TNI dan Polri diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam Pemilu 1999. Apalagi secara bertahap TNI juga harus menyerahkan hak-hak istimewanya dalam politik yang mulai dinikmatinya sejak dibentuknya Kabinet Djuanda pada 1957, disusul dengan dibentuknya DPR Gotong Royong, DPRD Gotong Royong atau MPR Sementara setelah Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, terlebih lagi pada era Presiden Soeharto (1967-1998).

Namun, kalangan TNI tampaknya belum siap untuk ikut pemilu. TNI bagaikan institusi yang masih limbung akibat tekanan politik dari luar dan dalam untuk melakukan reformasi. Belum lagi hujatan-hujatan yang dilakukan dari dalam maupun dari luar TNI. Menjelang Pemilu 2004, gagasan agar anggota TNI/Polri ikut pemilu kembali bergaung. Namun, isu tersebut lagi-lagi hanya sebentar.

Panglima TNI saat itu, Jenderal TNI Endriartono Sutarto menolak pemberian hak pilih bagi anggota TNI karena akan menimbulkan perpecahan di kalangan militer. Anehnya, menjelang pensiun, justru Endriartono yang mengajukan usul agar anggota TNI diberi hak pilih pada Pemilu 2009. Saat itu justru mantan petinggi TNI yang pernah aktif di komando teritorial seperti mantan Wakasad Letjen TNI Kiki Syahnakri menolak diberikannya hak pilih bagi anggota TNI.

Warisan Sejarah

TNI sudah aktif di politik sejak institusi kemiliteran itu lahir. Pada era revolusi kemerdekaan, aktivitas politik TNI juga semakin kuat ketika para anggotanya juga harus menangani soal-soal sosial, politik, dan ekonomi, selain memenangkan perang. Pada pemilu pertama 1955 di era Demokrasi Parlementer, para anggota TNI ikut pemilu. Walau mereka memilih beragam partai, institusi TNI tetap utuh.

Politisasi TNI bukan datang saat pemilu, melainkan ketika terjadi persoalan dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Saat itu masih banyak sekali komandan daerah yang bagaikan panglima perang tidak tunduk pada komando TNI di Jakarta. Politisasi makin keras pada era Demokrasi Terpimpin saat terjadi hubungan segitiga yang kurang mesra antara Presiden Soekarno, TNI AD, dan PKI.

Ketika Orde Lama digantikan Orde Baru politisasi TNI makin kental. Menjelang pemilu pertama era Orba, yang diundur terus dari 1968 ke 1971, terjadi Konsensus Nasional: pertama, pemilu sistem proporsional dan bukan sistem distrik seperti yang diusulkan tentara; kedua, anggota ABRI tidak ikut pemilu, tapi dapat jatah kursi di MPR, DPR, dan DPRD tingkat I dan II. Tidak ikut pemilu, tapi dapat jatah kursi itu bertahan sampai Pemilu 1999. Sejak 2004 TNI dan Polri tidak lagi memiliki fraksi dari MPR, DPR, sampai ke DPRD II.

Sejak itulah gagasan atau isu mengenai keikutsertaan anggota TNI/Polri dalam pemilu selalu diributkan. Para anggota TNI dan Polri sebenarnya warga negara Indonesia yang kebetulan berseragam militer/polisi. Laiknya warga negara, sepatutnya mereka diberi hak untuk memilih. Namun karena terlalu mendarah dagingnya keinginan untuk berpolitik seperti saat Dwifungsi ABRI masih berlaku pada era Orde Baru, isu itu selalu didiskusikan mengenai kapan waktu yang tepat bagi anggota TNI/Polri ikut pemilu.

Paling tidak ada dua salah kaprah: pertama, seolah-olah kita memberikan hak kepada anggota TNI, dan bukan kepada warga negara yang kebetulan menjadi anggota TNI, untuk ikut pemilu; kedua, sebagian anggota DPR menyerahkan kepada TNI kapan para anggotanya siap ikut pemilu. Penentuan ikut tidaknya anggota TNI dalam pemilu bukan ditetapkan oleh TNI, tapi justru oleh para anggota Dewan yang terhormat karena merekalah yang membuat undang-undang (UU), termasuk UU Pemilu pengganti UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif.

Pada UU itu TNI hanya dilarang ikut pemilu pada 2009. Lalu bagaimana dengan Pilkada 2010 dan seterusnya? Bagaimana pula dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014? Hingga kini isu itu tak masuk dalam pembahasan RUU Pemilu. Para anggota Dewan hanya mendiskusikannya di luar proses legislasi Dewan. Tampaknya, jika mau sempurna, berikan anggota TNI hak memilih pada 2019, atau 21 tahun sejak reformasi.

Saat itu mudah-mudahan para petinggi TNI tak ada lagi yang berbau tentara politik atau dwifungsi. Saat itu pula partai-partai juga siap untuk membahas soal keikutsertaan anggota TNI tersebut. Atau, jika kita ingin menjadikan TNI/Polri apolitik, menjadi penengah yang jujur dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, kita bisa meniru beberapa negara seperti Angola, Chad, Turki, Venezuela, atau Honduras yang militernya tidak ikut pemilu.

Terserah mana yang akan kita pilih, memberikan anggota TNI/Polri ikut pemilu pada 2014, 2019, atau tidak sama sekali, DPR dan pemerintahlah yang menentukan, bukan institusi TNI/Polri karena mereka yang diatur dalam politik kenegaraan, bukan yang mengatur negeri ini.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Opini Okezone 22 Juni 2010