24 Juni 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Menyoal Politik Beras

Menyoal Politik Beras

Akhir-akhir ini harga beras kembali meningkat meski tidak ternikmati para petani. Di beberapa tempat di Jawa Barat kenaikannya melebihi seribu rupiah per kilogram. Konon, kenaikan terjadi karena kelangkaan, fluktuasi pasokan, siklus tahunan, dan gagal panen. Pertanyaannya, benarkah kenaikan tersebut terjadi karena hal-hal tersebut? Logiskah dalam musim produktif kelangkaan beras terjadi di Jabar?
Banyak hal yang tidak rasional dengan kenaikan harga beras ini. Pertama, Jabar adalah lumbung padi nomor satu di Indonesia. Kedua, hampir semua daerah di Jabar menghasilkan (bahkan surplus) padi. Ketiga, stok beras di gudang-gudang Bulog di Jabar melimpah (bahkan surplus). Keempat, seperti diberitakan Pikiran Rakyat (22/6), kenaikan harga beras di pasar paradoks dengan harga gabah di tingkat petani yang justru turun.


Sangat aneh jika setiap terjadi kenaikan harga beras senantiasa mengambinghitamkan faktor keterlambatan musim panen, keterlambatan pasokan, atau kegagalan panen akibat bencana (banjir atau serangan hama penyakit tanaman). Lebih aneh lagi, fenomena kenaikan harga beras sekarang –kali kedua dalam 2010, justru terjadi pada saat musim produktif, bukan musim menunggu, apalagi paceklik.
Penulis melihat adanya faktor politis dan permainan spekulan dalam pasar beras di Jabar. Ada indikasi gejolak harga beras di Jabar terjadi karena diciptakan. Permainan para spekulan/preman beras. Tentu bukan yang ece-ece sebagaimana banyak diberitakan. Mereka adalah spekulan beras skala besar yang juga berstatus makelar politik yang kuasa men-setting sosial-ekonomi beras bagi kepentingan politik, baik politik nasional maupun daerah.Hipotesis ini tidak berlebihan karena Jabar merupakan barometer pasar beras Indonesia yang strategis bagi praktik dan simulasi berbagai kebijakan politik yang berpotensi meningkatkan harga kebutuhan pokok. Ada indikasi, kenaikan harga beras sekarang pun terkait dengan simulasi dan trigger (shock therapy) menghadapi kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL), skema politik pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), dan atau rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Melalui simulasi, seberapa besar magnitude dampak yang akan terjadi akibat kebijakan? Seberapa besar sentimen pasar, legislasi, partai, dan berbagai elemen masyarakat akan mengemuka? Seberapa besar gejolak sosial dan tekanan psikologis konsumen? Semuanya dapat terbaca dan dijadikan standar dalam menilai implikasi di daerah lain yang notabene lebih rendah kemampuan produksi pangannya.Secara tidak langsung, melalui skenario kenaikan harga beras, suasana panik dan imaji pasar terbangun lebih awal. Dengan demikian, ketika kebijakan kontroversial diberlakukan dan harga beras/kebutuhan pokok terpacu, masyarakat tidak terlalu panik dan pemerintah tidak akan disalahkan secara total. Modus seperti ini, jika tidak dikatakan politik lempar batu, inilah politik berbagi risiko politik.
Secara historis, politik beras sudah lama diterapkan, baik bagi menyukseskan kepentingan politik maupun kebijakan impor beras. Modus/intriknya relatif statis, harga beras dipacu melalui rekayasa pasokan dan distribusi beras. Bagi kepentingan impor, wilayah skenario bukan hanya Jabar, juga beberapa provinsi strategis. Asumsinya, agar kebutuhan beras terlihat sangat besar sehingga butuh banyak impor beras.Pola politik beras juga dilakukan melalui penggelembungan kasus dan isu kerawanan pangan yang menimpa beberapa daerah rentan pangan di Indonesia. Masyarakat digiring ke dalam opini untuk melegalisasi penting dan mendesaknya impor beras untuk memecahkan persoalan. Umumnya, pola ini dilakukan menjelang musim kemarau atau musim paceklik.Politik beras memang terbukti ampuh, baik positif maupun negatif. Secara eksplisit, politik beras juga terbukti mampu mendongkrak kekuasaan, meraih suara dan memengaruhi pemilih dalam pemilu maupun pemilukada, bahkan pemilihan kepala desa.
Pada lingkup yang lebih besar, politik beras juga diberlakukan dalam perjanjian perdagangan bebas/regional. Meski ketahanan pangan negara dalam keadaan aman, karena terikat kontrak politik/perjanjian perdagangan bebas, impor beras terpaksa dijejalkan. Impor beras (dengan mutu rendah) ini bukan hanya mengorbankan petani padi, melainkan juga membebani kaum miskin.
Politik beras memang masih dipandang mujarab. Faktanya, hingga sekarang masih digunakan, termasuk raskin (beras miskin) atau bantuan partai-partai. Kemungkinan besar akan terus digunakan, apalagi stok beras di pasar domestik maupun dunia terus menipis. Artinya, beras semakin potensial untuk dipermainkan secara sosioekonomi politik, termasuk untuk mengganjal atau menciptakan chaos politik.
Catatan akhir
Secara sosiologis, jika kelembagaan dan kebiasaan masyarakat dalam memperlakukan hasil panen (gabah), menyimpan dan menghemat beras tidak diperbaiki dan direkonstruksi, politisasi beras akan semakin menggejala. Oleh karena itu, masyarakat harus diadvokasi dan politik beras harus dikoreksi karena selain tidak memberi manfaat kepada para petani padi, juga membebani dan membuat ketergantungan masyarakat miskin.
Secara ekonomi-politik, hal ini menegaskan pula bahwa beras tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, juga kepada institusi bisnis pemerintah, apalagi swasta. Karena beras bernilai sosial, ekonomi, dan politik, masyarakat harus mandiri dan berdaulat dalam pangan, baik beras maupun nonberas. Jika tidak, besar kemungkinan dengan kuasa politik, kerentanan sosial dan ketergantungan akan mengakutkan kolonisasi beras.***
Penulis, Dosen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 25 Juni 2010