Agaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin melemah. Minimal itulah persepsi publik terhadap lembaga yang pernah dinilai sebagai superbody ini. Entah ada skenario pelemahan atau tidak, persepsi masyarakat atas lembaga ini semakin lunglai saja.
Dimulai dengan “keanehan” mantan Ketua KPK Antasari Azhar terkait dengan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain. Konon, pembunuhan itu terjadi karena adanya link dengan seorang wanita berstatus caddy golf. Itu saja belum cukup, lembaga ini juga dihadapkan pada masalah penarikan beberapa penyidik berkualitas yang di-BKO kan ke KPK. Parahnya lagi, terjadi penolakan terhadap banding SKPP Bibit dan Chandra oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang secara yuridis menjadikan mereka berdua berstatus tersangka. Semua itu melengkapi persepsi pelemahan terhadap KPK. Ada banyak hal yang dapat diperdebatkan soal KPK sekarang ini. Suatu perdebatan yang mesti ditafsirkan sebagai perhatian kepada lembaga yang sempat membanggakan negeri ini. Setidaknya ada tiga catatan yang ingin dibicarakan dalam tulisan ini. Pertama soal masa tugas calon ketua KPK.
Kedua, soal mekanisme pemilihan dan ketiga, siapa kira-kira pantas menduduki posisi sebagai ketua KPK. Memang luar biasa kejadian-kejadian yang menimpa KPK. Akibat lanjutan dari dipidananya Antasari Azhar, terjadi kekosongan pimpinan KPK. Hanya saja yang menjadi soal sisa masa jabatan ketua KPK hanya tinggal satu tahun lagi. Memang benar, mengutip media, panitia seleksi telah bersepakat bahwa masa jabatan ketua terpilih nantinya adalah empat tahun. Namun yang menjadi soal penentuan itu ada di DPR-RI sebagai penentu akhirnya, bukan ada pada panitia seleksi sisi pemerintah. Keadaan menjadi lebih buruk karena Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK tidak mengatur mengenai masa jabatan pimpinan KPK yang baru jika terjadi kekosongan. Memang masa jabatan pimpinan KPK diatur untuk waktu empat tahun, tapi masa jabatan pergantian sementara tidak diatur.
Jangan heran jika soal masa jabatan yang satu tahun atau empat tahun ini juga asyik diperdebatkan sekaligus cukup memusingkan. Malah terkesan menjauh dari inti persoalan tentang upaya mendapatkan kandidat ketua yang tepat. ***
Sebelum kita berdebat soal siapa yang pantas menduduki jabatan ketua KPK, suatu pertanyaan yang mendasar adalah ketua KPK itu ditunjuk atau dipilih? Secara sederhana apabila ditunjuk, maka dapat diartikan panitia dapat “main tunjuk” saja siapa yang akan diajukan kepada DPR-RI. Sedangkan apabila menggunakan dipilih, maka harus melalui proses seleksi yang ketat. Jika ditunjuk tentu panitia dapat secara subjektif menentukan siapa yang dinilai pantas diajukan ke DPR-RI guna dipilih menjadi ketua KPK. Artinya, hanya segelintir orang saja yang masuk kategori ini.
Jika mengacu kepada undang-undang yang ada, pemerintah hanya mengajukan dua kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan. Sebaliknya, jika seorang calon ketua KPK itu dipilih, maka panitia seleksi tidak bersikap subjektif dengan menunjuk pribadi-pribadi tertentu untuk mengikuti seleksi calon ketua KPK. Sebenarnya, apabila mengacu kepada Undang-Undang tentang KPK, penentuan calon ketua KPK itu jelas-jelas melalui proses pemilihan, bukan melalui proses penunjukan. Itu pula sebabnya pemerintah telah membentuk panitia seleksi gabungan unsur birokrasi dan masyarakat. Dana yang dikucurkan juga cukup besar, setidaknya Rp2,5 miliar. Jika kita kembali kepada konsep yang sebenarnya bahwa penentuan calon ketua KPK itu melalui proses seleksi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Di antara soal yang harus diperhatikan bahwa seleksi itu harus dilakukan secara objektif. Langkah pertama agar objektivitas itu menjelma adalah membuka peluang bagi “siapa saja” untuk mengikuti seleksi. Tentu saja ada pembatasan-pembatasan tertentu, misalnya dari sisi umur. Namun tidak untuk soal-soal lain, misalnya terkait latar belakang profesi mereka sebelumnya. Opini yang sempat berkembang bahwa mereka yang berprofesi pengacara sebaiknya tidak diberi kesempatan untuk menjadi Ketua KPK. Seakan-akan para advokat itu tidak bersih, tidak pantas menduduki jabatan ketua KPK. Bagaimana mungkin pembatasan serupa itu “pagi-pagi” sekali dikemukakan bahkan sebelum proses seleksi itu dimulai. Padahal jika term yang digunakan adalah “seleksi” maka konsekuensinya ia terbuka luas.
Konsekuensi lain dari kata seleksi, adalah perlakuan kepada para calon dengan prinsip equality kepada siapa saja yang mendaftarkan diri untuk mengikuti proses seleksi. Tidak ada penentuan awal soal siapa yang menjadi ketua KPK, sebelum dilaksanakannya proses seleksi. Apalagi jika melakukan pembatasan-pembatasan yang irrelevant dengan persyaratan yang digariskan oleh undang-undang.***
Siapakah yang pantas menduduki jabatan Ketua KPK Republik Indonesia? Inilah yang tidak mudah karena undang-undang memerintahkan dilakukannya seleksi. Sebaliknya, jika proses penentuannya melalui penunjukan langsung maka “agak mudah” melakukannya. Saya pribadi sangat mendukung nama-nama seperti Jimly Asshiddiqie, Busyro Muqoddas. Tentu saja memperhitungkan pula Hikmahanto Juwana, Saldi Isra. Sama halnya dengan tokoh sekaliber Mahfud MD yang masih menjabat sebagai Ketua MK-RI. Saya tegaskan lagi, tidak sulit jika judulnya “penunjukan ketua KPK,” bukan melalui seleksi dengan proses pendaftaran seperti sekarang ini.
Persoalan menjadi lain karena peraturan perundang-undangan mengamanatkan untuk menyeleksi para calon ketua KPK tersebut. Artinya, prinsip equality terhadap para calon harus dikedepankan. Adalah tidak relevan mempersoalkan latar belakang profesi seorang calon. Apakah ada jaminan bahwa seorang akademisi itu 100 persen bersih sebagaimana juga opini negatif yang melekat pada seorang advokat, jaksa, politisi dan polisi? Panitia seleksi membuka pendaftaran dan sampai dengan 11 Juni 2010 Jam 16:00 telah ada 166 orang yang mendaftar. Angka ini mungkin saja berubah. Macam-macam profesi pendaftar mulai dari akademisi, jaksa, advokat, polisi, politisi, aktivis LSM dan lain-lainnya. Konsekuensi dari perintah undang-undang untuk melakukan seleksi tadi, maka panitia harus menyeleksi semua nama yang telah memenuhi persyaratan tadi.
Dilemanya memang, di satu sisi publik terlanjur meyakini bahwa ada tokoh-tokoh nasional yang pantas menduduki jabatan ketua KPK. Kredibilitas dan kapabilitas mereka tidak diragukan lagi. Namun, biasanya orang-orang seperti ini sungkan mendaftarkan diri. Saya termasuk mendukung sosok sekaliber Jimly Asshiddiqie. Ketokohan dan kredibilitas beliau sudah terbukti. Feeling saya, jika beliau berkenan mengikuti proses seleksi, akan mendapatkan dukungan yang diperlukan. Namun, di sisi lain panitia, dibentuk untuk menyeleksi siapa saja yang mendaftarkan diri. Terasa lemah memang Undang-Undang tentang KPK.
Mestinya harus juga diatur langkah yang boleh diambil atas nama penyelamatan KPK.Artinya, dalam keadaan normal memang Ketua KPK itu diseleksi “secara normal”pula. Namun harus ada emergency exit, apabila dalam keadaan abnormal. Termasuk misalnya dengan cara penunjukan langsung.(*)
Prof Amzulian Rifai, PhD
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Opini Okezone 14 Juni 2010
24 Juni 2010
Ketua KPK, Ditunjuk atau Dipilih?
Thank You!