24 Juni 2010

» Home » Media Indonesia » Menjadi Partai Terbuka

Menjadi Partai Terbuka

Menjelang 2014, terkesan banyak strategi dan taktik mulai dijalankan partai-partai politik untuk memenangi Pemilu. Sama sekali tidak salah karena pemilu membuka ajang pertarungan ideologi antarpartai demi kemenangan visi dan misi masing-masing. Wajar kalau mereka berusaha menyempurnakan diri dan lebih menjelaskan apa sebenarnya visi dan misi serta tantangan masing-masing agar pemilih bisa menentukan dengan pasti, dan agar jangan sampai salah mengerti atau salah asumsi. Sikap demikian tentu kita sambut positif.


Khusus tentang Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ada kesan dia bergerak makin ke tengah, makin merapat ke negeri Obama dengan sengaja memilih hotel lambang Amerika (Ritz Carlton) sebagai tempat munas ke-2 yang berakhir hari Minggu lalu. Tentang itu, ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin menyatakan bahwa yang dilakukan PKS bukan suatu strategi atau taktik, melainkan sesuai ajaran Islam untuk menjadi umat di tengah. Produk-produk kebajikannya harus bisa dinikmati semua kalangan, bukan hanya orang muslim saja.

Apa pun, langkah PKS tersebut sama sekali tidak terduga dan seakan menafikan pendapat Profesor Harvard, Samuel Huntington, dalam buku Clash of Civilizations (1996), khususnya tentang Islam dan Barat.

Barat musuh bebuyutan Islam?

Bukan rahasia lagi, politik internasional sekarang diwarnai konflik-konflik yang, menurut Huntington, bukan lagi didasarkan pada perbedaan kepentingan dan/atau ideologi antarnegara, seperti antara negara-negara kapitalis dan komunis dulu, tetapi oleh perbedaan kultur antarnegara. Inilah yang menimbulkan benturan-benturan peradaban antara Islam dan Barat. Tentu ini mengganggu kalangan pimpinan Islam maupun Barat. Barack Obama, mungkin karena latar belakangnya, memang bersikap lebih hangat terhadap Islam. Dalam pidato di Universitas Al Azhar di Mesir, 4 Juni 2009, dia menyatakan komitmennya untuk menjembatani dialog antara Barat dan Islam.

Menurut Huntington, ada di kalangan orang-orang Barat yang menyatakan, Barat tidak ada persoalan dengan Islam. Yang mereka persoalkan adalah kalangan ekstremis Islam. Tetapi sejarah selama 1.400 tahun membuktikan lain. Ada sesekali kedua pihak berkoeksistensi secara damai, tetapi mereka lebih sering bersaing keras dan berperang sengit untuk berebut kekuasaan, wilayah, atau keunggulan spiritual.

Pada akhir abad ke-20, konflik tersebut meningkat karena penduduk muslim yang jumlahnya naik pesat menimbulkan pengangguran besar dan menekan negara-negara tetangganya. Kebangkitan kembali umat Islam telah menguatkan keyakinan mereka bahwa karakter dan nilai-nilai peradaban Islam lebih unggul daripada Barat. Selain itu, usaha Barat untuk membuat nilai-nilai dan institusi-institusinya universal, demi keunggulan ekonomi dan militernya, menimbulkan penolakan keras pihak Islam. Runtuhnya komunisme yang mengakibatkan mendekatnya hubungan Barat dan Islam semakin mempertegas perbedaan mereka. Dalam tiga dasawarsa terakhir, toleransi antarkeduanya turun tajam.

Konstelasi partai politik di Indonesia

PKS menjadi partai terbuka? Tentu timbul pro-kontra. Lalu apa beda PKS dengan tiga partai Islam lainnya? Tanya yang berkeberatan. Namun dalam masyarakat majemuk, sikap eksklusif acap kali memang menimbulkan prasangka. Bisa saja ada asumsi bahwa dia lebih peduli pada ideologi dari seberang daripada yang tumbuh di negeri sendiri, yang telah dirumuskan dalam Pancasila. Kata Bung Karno, internasionalisme harus berakar pada nasionalisme. Lagi pula telah terbukti, ideologi yang tidak bersahabat dengan akar budaya pada akhirnya akan ditolak mayoritas masyarakat kita. Sebut saja liberalisme, komunisme, ataupun Islam radikal.

Bila kita pelajari buku Sejarah Kebudayaan Indonesia karya Drs R Soekmono (1973), Islam yang mula-mula masuk ke Indonesia dari India di masa pramodern sebenarnya telah ikut membangun dan menjadi bagian dari akar-akar budaya Indonesia. Sejak kelahirannya pada abad ke-7 sampai kedewasaannya sebagai agama dunia, Islam mengalami perkembangan alam pikiran yang pada hakikatnya untuk mengimbangi perkembangan jiwa masyarakat-masyarakat pendukungnya, tentunya termasuk ketika melakukan proses pengislaman di Indonesia.

Dalam kerangka pikir tadi, maka dapat dimengerti bahwa jika kita banding-bandingkan visi dan misi empat partai Islam di Indonesia, mereka tidak seragam dalam pengawalan masing-masing terhadap agama Islam dalam kaitannya dengan politik. PAN, PPP, dan PKB bersikap terbuka dan tidak mengaitkan langsung kepentingan politik dan agama. Pendapat ini dibenarkan oleh seorang anggota senior PKB. Tetapi visi umum dan visi khusus PKS secara resmi menyatakan akan mengarahkan partai dakwah itu untuk memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; akan mengarahkannya menjadi kekuatan transformatif dari nilai dan ajaran Islam di dalam proses pembangunan kembali umat dan bangsa di berbagai bidang; akan mengarahkannya sebagai kekuatan yang menggalang dan memelopori kerja sama dengan berbagai kekuatan yang secita-cita dalam menegakkan nilai dan sistem Islam yang rahmatan lil 'alamin; akan mengarahkannya sebagai akselerator bagi perwujudan masyarakat madani di Indonesia. Apa artinya bagi awam umumnya?

Tentu kita menunggu langkah konkret PKS untuk membuktikan bahwa dia bukan eksklusif dari dan untuk umat Islam. Pemilu 2009 menghasilkan 57 kursi untuk fraksi PKS di DPR, 46 untuk PAN, 37 untuk PPP, dan 28 untuk PKB. Dengan tiga partai nasionalis besar --Demokrat 148 kursi, Golkar 107, dan PDIP 94-- PKS masuk empat besar. Dia mengangankan masuk dalam tiga besar pada 2014. Siapa yang akan digeser dari tiga partai nasionalis besar? Pemilu 2014 akan menjadi ajang seru untuk menguji kekuatan maupun berbagai janji partai-partai politik.

Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 25 Juni 2010