Menyaksikan video porno bukanlah hal yang luar biasa. Bisa dikatakan pada saat melampaui usia remaja, terutama anak laki-laki, mendapat tantangan untuk menonton video porno dari teman sebaya adalah hal yang lumrah karena seiring dengan perkembangan psikoseksual seorang anak yang beranjak ke usia remaja yang eksploratif atas dasar rasa, perkembangan fisiologis tubuh, serta perubahan anatomis yang baru. Namun, jika demam menonton seri video porno “tertentu” menjadi sebuah pergerakan kebangkitan rasa keingintahuan bangsa atas dasar sebuah preokupasi (pikiran berulang yang menyenangkan ego) atau fiksasi (tersangkutnya seseorang pada fase tertentu perkembangan psikoseksual), ini sungguhlah fenomena yang menarik dan jangan terabaikan dari introspeksi bersama.
Inilah yang terjadi seminggu terakhir di Indonesia saat 700.000 lebih orang mengunduh video porno mirip artis Indonesia baik dari internet, antre membeli DVD bajakan ataupun estafet USB, dan perlahan mendunia dengan pemberitaan yang merambah media cetak, internet, dan elektronik mancanegara seperti The New York Times, The Washington Post’s Express, E! News, Huffington Post, India Times, dan lain-lain. Dalam wabah demam Piala Dunia 2010 sembari merenungi kesebelasan sepak bola kita yang tidak kunjung pernah “go international” lagi, wajar jika kita termenung bahwa salah satu pencapaian “go international” yang terjadi sekarang wujudnya bisa dikata, tidak terduga, dan tidak perlu.
Tuduhan “Kondisi Kejiwaan”
Kalau kita mau terfiksasi dalam pemikiran “kenapa laris?”, permasalahan besar terkait isu ini tidak akan pernah kelar. Jelas laris dan menarik karena di dalamnya terdapat bintang-bintang terkenal yang diidolakan banyak remaja Indonesia yang bisa dibilang telah cukup lama mengalami “krisis teladan”. Menjadi lebih menarik lagi karena tidak sedikit masyarakat yang mempertanyakan indikasi “kondisi kejiwaan” apa yang melatarbelakangi siapa pun dari seorang manusia (atau persetujuan sepasang manusia) sehingga ingin membuat video hubungan seksnya tanpa menghiraukan risiko video tersebut bocor ke publik.
Atau “indikasi kejiwaan” apa sehingga seorang manusia bergonta-ganti pasangan dan ingin memamerkannya– yang mungkin pada awalnya– untuk kepuasan ego diri sendiri. Indikasi kejiwaan yang bisa dihipotesiskan tanpa melakukan wawancara dan pemeriksaan psikiatrik akan berkesan tidak etis. Apalagi tuduhan yang dilontarkan dapat beraneka ragam dari gangguan kepribadian narsisistik (gangguan kepribadian yang membutuhkan asupan narsisistik setiap saat dalam wujud berbeda dan unik pada setiap orang). Atau eksibisionisme (gangguan preferensi seksual berupa kecenderungan berulang atau menetap untuk memamerkan alat kelamin kepada lawan jenis, dan hampir sama sekali terbatas pada laki-laki heteroseksual), gangguan kepribadian emosional tak stabil (terdapat kecenderungan yang mencolok untuk bertindak secara impulsif tanpa mempertimbangkan konsekuensinya bersamaan dengan ketidakstabilan emosional), dan sebagainya.
Tetapi jika kita terjebak pada tatanan “kondisi kejiwaan” si pelaku, secara tidak sadar kita berada dalam kondisi “denial” atau penolakan atas fakta pedih kondisi bangsa yang tidak dapat diterima oleh diri kita sendiri. Karena toh ada unsur euforia, dan “penyambutan” atas peristiwa ini yang sifatnya ego sintonik (menyenangkan ego) sehingga hampir setiap hari isu ini menjadi pembicaraan yang menerbitkan semangat. Ibaratnya, menari-nari di atas problem bangsa yang sesungguhnya, baik terkait langsung dengan video porno maupun tidak langsung.Tetapi, tidak jarang setelah menikmati video tersebut juga terselip ambivalensi di mana terdapat kutukan dan cacian atas para pelaku dalam video porno.
Perilaku Seksual Remaja
Sekalipun bangsa ini sedang terpreokupasi dengan konten aksi banal dalam video ini, kita jangan terbawa arus penyesatan diri terlalu lama. Karena sesungguhnya kita dihadapkan pada dua dampak langsung sekaligus: pertama, dampak terhadap perilaku seksual remaja Indonesia sebagai generasi penerus bangsa. Kedua, dampak citra bangsa Indonesia–yang jika dikutip dari The New York Times– sebagai berikut “serangkaian video terputus-putus yang menampilkan bintang-bintang besar Indonesia sedang melakukan hubungan seks telah memicu perdebatan upaya pemerintah untuk menghukum dan menyensor ”immorality” di negara dengan populasi muslim terbesar.”
Namun sebaiknya kita jangan berhenti terlalu lama dalam perdebatan yang macet pada tatanan moral dan agama seperti provokasi media tersebut. Kita harus berbicara blak-blakan bahwa fokus kita adalah generasi penerus agar tidak membahayakan dirinya dan berpotensi pada kehancuran bangsa. Salah satu stasiun televisi swasta pernah merilis melalui berita via internet bahwa 32% remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks. Angka ini berdasarkan simpulan survei terbaru Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Fakta lainnya, 21,2% remaja putri di Indonesia pernah melakukan aborsi. Selebihnya, separuh remaja responden survei mengaku pernah bercumbu ataupun melakukan oral seks. Survei menunjukkan juga bahwa 97% perilaku remaja diilhami pornografi internet.
Berdasarkan data-data ini, KPAI menyimpulkan bahwa pengawasan orang tua tetap utama dan posisi tenaga pendidik sangatlah vital untuk menyelamatkan generasi muda. Berita di atas dirilis pada 17 Mei 2010, yaitu hampir sebulan sebelum kehebohan video porno mirip artis melanda Indonesia. KPAI telah mengkhawatirkan jika KPAI tak merilis hasil survei, fenomena “budak libido Freud” ini bisa menjadi bola salju (tanpa diperparah oleh video porno mirip artis).
Pengendalian HIV/AIDS
Selain dampak langsung, terdapat juga dampak tidak langsung dari perilaku seks tidak bertanggung jawab yaitu problema penanggulangan HIV/AIDS. Masalah ini sedang mati-matian ditangani terutama oleh Kementerian Kesehatan beserta segenap elemen bangsa (termasuk LSM). Tujuannya baik untuk kesejahteraan bangsa maupun untuk pencapaian tujuan keenam dari MDGs (Millennium Development Goals), di mana pada rapat koordinasi Tampak Siring menjadi salah satu tujuan MDGs yang diragukan dapat tercapai pada 2015.
Selama lima tahun terakhir kasus AIDS mengalami peningkatan yaitu pada 2004 sebanyak 2.684 kasus dan pada 2009 sebanyak 19.973 kasus. Sampai Maret 2010 jumlah kasus AIDS meningkat menjadi 20.564 kasus, dengan rasio antara lelaki dan perempuan adalah 2:1, proporsi kasus tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (48,7%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (30,3%), dan kelompok umur 40-49 tahun (8,9%). Kasus AIDS terbanyak per 31 Maret 2010 adalah di Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Papua, Bali, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Riau, dan Kepulauan Riau. Melihat data di atas, kita patut bergidik dengan perilaku seks bangsa ini sehingga terjadi penularan HIV/AIDS yang tidak melulu melalui jarum suntik (narkoba), tetapi juga melalui hubungan seks.
Sulit jika kita masih berbicara agama dan moral, sementara ceramah tidak lagi efektif untuk menghentikan hubungan seks. Kampanye “seks aman” yang dianggap tabu sesungguhnya salah satu pilihan cara yang walaupun jelas bukan pilihan terbaik dan jauh dari ideal, tetapi realistis dan sifatnya darurat. Terkait video porno mirip artis, proses hukum dan hukuman informal memang sedang berjalan, tapi pencerahan harus segera muncul.
Berhenti berlarut-larut berada dalam kondisi “denial” tentang kondisi kritis bangsa dapat menjadi titik awal bagi kita semua sebagai simbol peletakan batu pertama upaya penyelamatan remaja Indonesia sebagai generasi penerus bangsa dan salah satunya dengan memperbaiki secara komprehensif, integratif, dan holistik tentang pemahaman mereka atas kesakralan tubuh, pilihan perilaku seksual, dan konsekuensinya terhadap fisik, jiwa, nyawa, dan bangsa.(*)
dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ
Anggota Komisi IX DPR RI, Fraksi Partai Demokrat
Opini Okezone 16 Juni 2010
24 Juni 2010
Euforia Pornografi sebagai Wujud 'Denial'?
Thank You!