Masuknya anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Andi Nurpati, dalam Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat (DPP PD) periode 2010-2015 sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik, menuai kontroversi. Masuknya anggota KPU itu dalam kepengurusan Partai Demokrat memang penuh tanda atanya.
Tidak aneh jika muncul kesan hal itu sebagai bentuk pemberian “suaka” kepada anggota KPU yang telah berjasa kepada partai pemenang Pemilu 2010.
Apapun latar belakangnya, tindakan Andi Nurpati menerima “pinangan” tersebut akan memiliki komplikasi politis dan hukum. Secara politis, fenomena itu seolah mengemukakan kebenaran atau setidaknya menguatkan indikasi adanya intervensi dan tidak independennya KPU selama ini. Kecurigaan ini wajar mengingat sebelumnya sudah ada empat lembaga negara (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Badan Pengawas Pemilu, DPR dan Mahkamah Konstitusi) yang telah menyatakan KPU periode 2007-2012 cenderung tidak mandiri.
Langkah Andi Nurpati itu membuat kecurigaan terhadap KPU yang tak netral semakin nyata. Tentu yang akan menjadi korban dalam kasus ini adalah lembaga KPU itu sendiri. Sekalipun sah-sah saja anggota KPU kemudian bergabung sebagai anggota atau pengurus Parpol, tetapi secara etis dan moral sebaiknya keluar dulu dari status anggota KPU.
Walaupun yang bersangkutan juga membantah bahwa dirinya selama ini tidak netral, atau sudah dari dulu memiliki hubungan dengan Partai Demokrat, dan semua kebijakan yang diambil sebagai anggota KPU adalah sesuai dengan ketentuan, namun tidak begitu saja dapat dipercaya. Andi juga beralasan masuk Partai Demokrat karena keinginan untuk terlibat dalam proses revisi Undang-undang Pemilu. Ini sungguh suatu alasan yang terkesan mengada-ada dan absurd.
Penyelenggara Pemilu telah tegas diharamkan oleh konstitusi menjadi pengurus Parpol, maka ketika anggota KPU menjadi pengurus partai, otomatis secara konstitusional dia harus berhenti dari KPU. Bahkan dalam kasus ini Dewan Kehormatan KPU harus dibentuk untuk menyidangkan tindakan Andi Nurpati yang dapat dikategorikan melanggar kode etik.
Pada sisi lain, dalam kasus ini sebenarnya Partai Demokrat juga bersalah. Parpol seharusnya sadar dari awal tidak bisa seenaknya menarik anggota KPU ke dalam partainya. Diakui atau tidak, Partai Demokrat melanggar bunyi konstitusi dengan menarik penyelenggara Pemilu masuk ke partai. Tindakan semacam ini dikhawatirkan akan menjadi preseden bagi partai-partai lain melakukan yang sama. Sangat berbahaya ketika penyelenggara Pemilu nanti bisa diiming-imingi dengan posisi di partai. Tidak salah jika kemudian timbul pikiran agar KPU diisi wakil-wakil Parpol saja agar bisa saling mengawasi. Daripada diisi oleh orang nonpartai tetapi ternyata justru partisan.
Strategi pentingnya merekrut orang KPU untuk pemenangan pemilu tampaknya disadari betul oleh Partai Demokrat. Karena hal yang sama pernah dilakukan oleh Ketua Umum Partai Demokrat. Demikian juga dengan Andi Mallarangeng yang pernah menjadi anggota KPU. Masuknya orang KPU yang sudah tahu kondisi lapangan penting untuk penggalangan suara partai bersangkutan.
UU No 22/2007 secara jelas melarang anggota KPU untuk mundur apalagi berpindah ke Parpol, sekali pun kemudian Andi Nurpati sendiri mencari alasan bahwa dirinya tidak mundur dari KPU, melainkan berhenti karena tak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU. Menurutnya pemberhentiannya terjadi otomatis begitu memegang surat keputusan diangkat sebagai pengurus DPP Partai Demokrat.
Ketegasan aturan
Masuknya anggota KPU dalam kepengurusan partai dapat dimaknai sebagai bentuk pelecehan terhadap UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Sikap Andi Nurpati yang menerima pinangan Partai Demokrat menggambarkan rendahnya moralitas dan etika seorang negarawan sebagai penyelenggara Pemilu.
Hal itu sangat ironis, ketika yang bersangkutan diminta untuk mundur karena tak cakap mengelola Pemilu 2009, tetapi bersiteguh tidak mundur karena alasan bahwa UU memerintahkan mereka bekerja selama lima tahun. Anehnya, dia malah mundur karena masuk Partai Demokrat. Andi Nurpati telah lupa pada semangat Pasal 11 huruf (k) dan (l) UU No 22/2007 yang menyebutkan bahwa anggota KPU bersedia tidak duduk di jabatan struktural dan fungsional dalam negeri.
Tindakan Andi Nurpati juga menjelaskan bagaimana selera demokrasi KPU selama mengelola Pemilu yang memang berakhir dengan buruk. Tak heran jika Pemilu 2009 mendapat gelar sebagai Pemilu paling buruk. Para penyelenggaranya berjiwa dan menganut paham demokrasi minimalis, oportunis dan menjadikan KPU sebagai bargaining untuk mendapat jabatan di Parpol.
Munculnya kasus seperti ini juga disebabkan tidak adanya undang-undang yang mengatur. Hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur sanksi mengenai hal yang terjadi pada Andi Nurpati. Kasus ini harus menjadi bahan masukan bagi DPR dan pemerintah. Sudah saatnya UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu harus direvisi.
Ke depan harus ada penegasan, selama masa jabatan dalam waktu lima tahun, anggota KPU tidak boleh menjadi anggota Parpol. Atau agar lebih fair justru sebaliknya kembali pada sistem Pemilu 1999, dimana KPU diisi oleh wakil-wakil Parpol agar bisa saling mengawasi, walaupun kepentingan Parpol juga akan selalu mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan. Hal ini penting agar institusi KPU tidak disusupi oleh petualang-petualang politik atau pencari pekerjaan yang oportunis yang menjadikannya sebagai kedok untuk berselingkuh dengan partai politik. - Oleh : Moh Jamin Dosen Sosiologi Hukum Fakultas Hukum UNS Anggota Dewan Pakar Mapilu Surakarta
Opini SOlo Pos 23 Juni 2010
24 Juni 2010
KPU, netral atau partisan?
Thank You!