24 Juni 2010

» Home » Republika » Kemunafikan Politik

Kemunafikan Politik

Patrice Rio Capella
Wakil Sekjen DPP PAN

Saat ini, negeri kita seolah berada pada panggung politik dramaturgi kehidupan politik layaknya sandiwara. Kepura-puraan demokrasi terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai instrumennya. Sejak Orde Baru hingga kini, tatanan politik kita tidak banyak berubah.

Tetapi, politik dramaturgi masih bisa diraba melalui kacamata politik yang ada. Proses transaksional bahkan cenderung terjadi lebih terbuka. Salah satu sebabnya adalah karena persoalan kemunafikan masih menjerat hati kalangan elite kita di negeri ini. Kemunafikan tak lepas dari persoalan hati. Karena hati mempunyai karakter tidak konsisten, disebabkan ia bisa terkena konflik batin. Kadar kandungan hati dapat berubah-ubah, terkadang didominiasi oleh satu dua hal, di lain waktu dikuasai oleh dua hal yang lain, dan suatu saat bisa dipenuhi oleh berbagai hal yang tidak dominan atau bahkan kosong.

Hati manusia dapat berpindah dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem lainnya. Fenomena terbongkarnya berbagai kasus mafia penyuapan dan korupsi di negeri ini, mengingatkan pada sebuah petuah yang mengatakan bahwa ada suatu masa yang paling dikhawatirkan, yaitu masa ketika sifat munafik merasuki kalangan politisi dan intelektual yang sangat banyak ilmunya, pintar lidahnya, tetapi bodoh hati dan kosong amalnya.

Mengapa manusia bersikap munafik? Apa yang melatarbelakanginya? Hati manusia siapa yang tahu. Dalamnya laut dapat diduga dalam hati manusia siapa tahu. Kemunafikan itu berimplikasi kerugian pada dua dimensi, pada tingkat mikro (individual) dan tingkat makro (sosial). Pada tingkat mikro, seorang munafik merupakan jenis orang yang tercela menurut ukuran nilai manapun, terutama nilai-nilai agama. Orang yang mempunyai sifat itu, secara langsung maupun tidak, sama halnya telah mengingkari eksistensi Tuhan, zat yang serba mengetahui segala hal tentang kehendak dan perbuatan manusia. Sebab itulah, agama sangat melarang terhadap orang yang mempunyai sifat seperti itu.

Secara moral kemasyarakatan sifat munafik dapat merugikan si pelaku juga orang lain. Sikap tidak sportif yang diperlihatkan orang munafik tidak membawa manfaat apa pun bagi pelakunya maupun orang lain di sekitarnya. Parahnya, orang munafik bukan hanya bersikap tidak sportif, lebih dari itu, ia juga senang sekali mencari justifikasi atas suatu masalah yang muncul dan menganggapnya sebagai satu-satunya orang yang telah bertindak benar.

Padahal, justru dialah yang turut andil akan munculnya suatu permasalahan. Orang munafik sering memakai justifikasi mengenai tingkah laku yang mereka lakukan dengan maksud agar tingkah laku itu bisa diterima. Misalnya, apabila berbuat kerusakan di bumi, mereka menyatakan bahwa bermaksud memperbaiki keadaan.

Dengan demikian, potensi destruktif seorang munafik memang benar-benar nyata. Jika dalam suatu kelompok terdapat satu orang munafik, dapat dimungkinkan segala hal yang menjadi tujuan kelompok tersebut akan menemui kegagalan. Atau paling tidak, kerap menemui hambatan-hambatan serius. Sebab, orang jenis itu ibarat musuh dalam selimut. Sejatinya ia musuh, namun berwajah dan berlaku seperti seorang kawan.
   
Karakter orang-orang munafik ialah manusia yang suka memuja diri dan pada saat bersamaan mencemarkan nama baik orang lain. Orang munafik juga suka bertingkah seperti orang yang mulia dan berbudi luhur untuk mendapatkan pengaruh dan menarik perhatian orang lain. Tetapi, jika sudah berhasil mendapatkan perhatian dan bisa memengaruhi orang lain, mereka segera memangsa, persis seperti binatang buas yang melahap mangsanya.

Seorang munafik bukan hanya mengikis eksistensi diri mereka sendiri dalam ruang sosial, tetapi juga menghambat berkembangnya ruang sosial (publik) secara baik. Salah satu bentuk kemunafikan yang paling kentara dewasa ini ialah budaya korup, suap, dan menjilat, yang seolah sudah menjadi bagian dari masyarakat kita dalam kehidupan sosial sehari-hari. Padahal, korupsi membangun ruang publik menjadi rusak.

Dalam setiap pengambilan keputusan, masyarakat yang korup tidak lagi memikirkan apalagi mempertimbangkan yang halal dan haram maupun hal baik dan buruk. Yang ada hanyalah bagaimana cara yang dilakukan itu berhasil dan sesuai dengan keinginan pribadi. Meskipun, hal itu harus menabrak norma-norma luhur yang potensial berkembang dalam masyarakat.

Restorasi pemimpin

Hal yang paling mengkhawatirkan adalah bila kemunafikan merasuki orang-orang panutan atau pemimpin masyarakat. Kemunafikan seorang pemimpin dapat membawa dampak psikologis dalam bentuk sumpah serapah hingga kutukan yang amat dahsyat datang dari masyarakatnya. Pelanggaran terhadap etika dan prinsip moralitas oleh pemimpin yang berwenang menetapkan kebijakan publik, bukan hanya menghasilkan dampak kerugian dalam skala amat besar, melainkan bakal menimbulkan kehancuran.

Meskipun amat mengkhawatirkan, potensi kemunafikan dari orang yang mempunyai wewenang dan kekuasaan bukanlah hal yang mustahil terjadi. Ungkapan bahwa kebanyakan orang munafik banyak berasal dari kaum politisi, intelektual, para ilmuwan, atau para sarjana dan ulama, ungkapan itu lebih sebagai pemetaan betapa orang yang berilmu dan mempunyai kekuasaan amat potensial untuk berbuat kecurangan dengan segala instrumen keunggulan yang dimilikinya daripada orang lain.

Kemunafikan pada akhirnya akan mengarah kepada krisis yang bersifat kemanusiaan dalam berbagai aspeknya, seperti krisis moral, ekonomi, dan politik. Berbagai krisis yang bersifat kemanusiaan pada substansinya merupakan pengejawantahan matinya ruh iman dan akhlak. Begitulah hebatnya bahaya kemunafikan bagi kelangsungan hidup manusia.

Senjata ampuh dalam menghadapi kejahatan perilaku orang-orang munafik ialah kesempurnaan rohani, komitmen yang tinggi pada kebenaran, perilaku yang memiliki integritas psikologis, kejujuran, dan keikhlasan. Bukankah kesadaran yang sehat lebih memiliki kesaksian yang benar daripada lidah-lidah yang mengesankan?

Akhirnya, percayalah kita pada kebenaran dan berjuang untuknya, termasuk rakyat yang berpegang pada kebenaran. Sebab, di sana ada kualifikasi kepastian moral yang diterjemahkan ke dalam berbagai karakteristik dan standar moral dalam masyarakat. Tuhan tentu menjamin kemenangan dalam perjuangan melawan kebatilan, melawan orang-orang munafik yang penindas dan pemeras yang berusaha memanfaatkan kekuasaan dan pengaruhnya untuk menghancurkan kebenaran dan persaudaraan. Dan, Tuhan tentu berpihak kepada masyarakat yang menginginkan terwujudnya cita-cita keadilan sosial untuk restorasi dan perubahan yang nyata.

Opini Republika 23 Juni 2010