Selama ini, Pemerintah China dituduh telah sengaja menetapkan kurs mata uangnya secara tidak jujur, tidak mengikuti mekanisme pasar, sehingga yuan terlalu murah (undervalued). Akibatnya, harga produk-produk China yang sudah murah karena upah buruhnya rendah menjadi kian kompetitif di pasar dunia.
Sebelum krisis global 2008- 2009, China pernah mencatat surplus ekspor terbesar dunia hingga melampaui 300 miliar dollar AS. Sebaliknya, AS menderita defisit perdagangan terbesar di dunia—terutama terhadap China—hingga minus 550 miliar dollar AS (April 2010).
Karena itu, Pemerintah AS gencar melobi Beijing agar bersedia mengambangkan yuan, untuk mengurangi defisitnya. Tentu saja China menolak. Mereka sedang ”menikmati” lezatnya surplus perdagangan sehingga cadangan devisanya menumpuk jadi 2,5 triliun dollar AS. Inilah cadangan devisa terbesar di dunia, jauh di atas peringkat kedua Jepang dengan 1 triliun dollar AS.
Namun, benarkah China akan tulus membiarkan yuan menguat, karena itu akan mengganggu surplus perdagangannya? Saya yakin tidak semudah itu. Hari Minggu (20/6/10) siang, bank sentral China mengklarifikasi, dengan mengumumkan bahwa kurs yuan akan menguat secara perlahan-lahan. Ini untuk menghindari guncangan pelemahan ekspor, kenaikan impor, turunnya surplus perdagangan, yang kemudian berakibat naiknya pengangguran dan kemudian instabilitas sosial-politik (International Herald Tribune, 21/6/10).
Jadi, kita tidak boleh terlalu optimistis bahwa tiba-tiba yuan akan menguat sehingga perekonomian dunia diuntungkan. Saya yakin China masih akan berhitung secara cermat, sampai seberapa batas toleransi yang bisa mereka berikan untuk mengizinkan apresiasi yuan. Dalam waktu dekat ini, paling-paling yuan hanya akan direvaluasi beberapa persen saja secara bertahap. Yuan tidak akan dibiarkan terapresiasi terlalu cepat.
Mengapa Pemerintah China selama ini bisa mematok kurs yuan secara tetap (peg system)? Bukankah sejak sistem Bretton Woods tidak lagi efektif sejak pertengahan 1970-an, sistem kurs dunia cenderung menyerahkan fluktuasinya ke pasar? Jawabannya, China memanfaatkan dua momentum dan menikmati ”lingkaran surga” (virtuous circle).
Pertama, dengan jumlah penduduk lebih dari 1,3 miliar dan tingkat pengangguran 9,6 persen, tenaga kerja China amat melimpah. Ini merupakan modal besar untuk menekan biaya produksi. Akibatnya, barang-barang China menjadi murah, kompetitif, dan pelan-pelan mulai bisa menaikkan kualitasnya. Pada tahun 2009, ekspor China mencapai 1,2 triliun dollar AS, atau yang tertinggi di dunia. Tujuan ekspornya adalah AS (18 persen), Hongkong (13 persen), Jepang (8 persen), Korea Selatan (5 persen), dan Jerman (4 persen). Selanjutnya, China berhasil mengakumulasikan cadangan devisa yang terbesar di dunia.
Kedua, dengan cadangan devisanya, China pun leluasa mendukung yuan untuk berada pada level berapa pun yang mereka maui. Pilihannya adalah apakah yuan mau dibuat kuat, sesuai ekuilibirum, ataukah dibuat lemah? Semua pilihan bisa mereka pilih dan lakukan karena didukung cadangan devisa.
Analoginya, orang yang kaya tidak perlu mengantre tiket untuk menonton bioskop di mal. Sebuah film bisa disewa dan diputar di rumahnya sendiri sepanjang dia kuat untuk membayarnya. China juga begitu. Mau menentukan kurs yuan berapa pun, bisa diwujudkan. Sebagai ilustrasi, cadangan devisa China 2,5 triliun dollar AS, sedangkan Indonesia 74 miliar dollar AS.
Tentu saja China memilih kurs yuan yang lemah karena ini akan membantu meningkatkan daya saing produk-produknya di pasar dunia. Inilah ”lingkaran surga” itu: penduduk banyak, biaya produksi murah, harga murah, surplus perdagangan tinggi, cadangan devisa besar sekali, kurs yuan sengaja diperlemah, harga produk murah, surplus perdagangan tinggi, dan seterusnya. Sampai kapan lingkaran ini berakhir? Sampai ada koreksi. Siapa yang bisa mengoreksi? Ada tiga kemungkinan: (1) tekanan AS, (2) mekanisme pasar, dan (3) kemauan dan ketulusan China untuk tak membiarkan negara-negara mitra dagangnya menderita defisit besar dan berkelanjutan.
Soal tekanan AS, sudah gencar dilakukan, mulai dari lobi Menkeu Timothy Geithner, Menlu Hillary Clinton, hingga Presiden Barack Obama. Namun, posisi AS tak terlalu kuat. Soalnya, AS juga tidak bisa menekan China terlalu kuat karena AS berkepentingan agar Pemerintah China mau membeli surat berharga Pemerintah AS (T-bills dan T-bonds). Tahun ini saja, Pemerintah AS harus menderita defisit anggaran 1,6 triliun AS agar dapat menstimulasi perekonomiannya.
Kebijakan defisit fiskal AS besar-besaran ini terinspirasi oleh John Maynard Keynes (1936), sebagaimana dulu juga pernah dilakukan Presiden Franklin D Roosevelt saat depresi besar 1930-an. China pembeli terbesar obligasi tersebut. Jika Pemerintah AS terlalu kuat menekan China, bisa-bisa mereka mogok membeli obligasi AS. Ini berbahaya bagi kebijakan fiskal AS.
Sedangkan soal mekanisme pasar, sebenarnya yuan yang terlalu lemah juga berpotensi menyebabkan inflasi domestik. Logikanya, China adalah negara yang meski biaya produksinya murah, tetap saja harus mengimpor sejumlah barang lain untuk menggerakkan perekonomiannya. Impor China kini 1,1 triliun dollar AS. Karena yuan lemah, maka harga barang impor juga tinggi. Ini akan menjadi tekanan inflasi. Namun, sejauh ini, China masih bisa menekan inflasi menjadi 3,3 persen. Angka ini masih termasuk rendah. Karena itu, sulit juga berharap China mau merevaluasi yuan hanya karena tekanan inflasi.
Harapan terakhir terletak pada ketulusan hati China untuk mau berbagi beban. China harus ingat, membiarkan mitra-mitra dagangnya menderita defisit besar bisa menjadi bumerang. Jika AS bangkrut, misalnya, ke mana China mau mengekspor? Interdependensi antarnegara di seluruh dunia kini sudah semakin kuat. Dunia sudah tanpa sekat, saling terkait dan menyatu. Ketika Yunani krisis, kawasan euro harus membantu. Ketika AS krisis, China harus membantu. Kalau tidak dibantu, krisis di sebuah negara akan menjalar ke mana- mana (contagion effect).
Jika prinsip ini dipegang, adalah logis China merevaluasikan yuan. Pertumbuhan ekonomi China memang akan sedikit terkoreksi dari level sekarang 11,9 persen (triwulan I-2010). Namun, jika AS bangkrut, pencapaian ini akan punah dan sia-sia. Lebih baik China menikmati pertumbuhan 8-9 persen, tetapi stabil, aman, dan berkelanjutan. Caranya? Tentu dengan membuat kurs yuan menguat, sesuai kehendak mekanisme pasar. Hanya dengan sedikit pengorbanan ini China mempertahankan prestasi ekonominya, sambil ”beramal” menyelamatkan perekonomian dunia. China harus menyadari dan mau menempuhnya.
Opini Kompas 25 April 2010