Ade Utami Ibnu
Direktur Lampung Leadership Center
Rasulullah saw. bersabda: Kullukum ro'in wakullukum masulun 'an ro'iyyatihi." Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (Hadis).
Oleh karena itu, kita semua berkepentingan untuk menjadi pemimpin yang sukses baik, dalam skop pribadi, pemimpin domestik (sebagai kepala rumah tangga), maupun pemimpin publik.
Salah satu faktor penentu untuk sukses menjadi pemimpin adalah dengan memiliki kecerdasan emosi (emotional intelligence) yang baik. Menurut penelitian, kecerdasan intelektual (IQ) hanya memberikan andil tak lebih dari 25% bagi keberhasilan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya (Hunter & Hunter, 1984). Riset lain, hanya memberikan 10%, dan bahkan ada yang memberikan 4% pada IQ. Sisanya yang 75% lebih, salah satu faktor penentunya adalah kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi (EI) terbagi menjadi dua bagian besar, yakni pertama, EI untuk diri sendiri, antara lain: mengenali diri sendiri, mampu mengendalikan jiwa, bertanggung jawab, menghormati diri sendiri, dan lain-lain. Kedua EI untuk orang lain, di antaranya adalah empati pada orang lain dan mampu bekerja sama dengan orang lain.
Seorang pemimpin haruslah mempu mengelola dan mengendalikan emosinya. Dalam istilah Quran, pemimpin yang memiliki jiwa yang tenang (nafs muthmainnah). Seorang pemimpin haruslah menyikapi segala sesuatu dengan bijak dan tenang sehingga dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul. Seorang pemimpin tidak boleh cepat terbakar emosinya sehingga menyikapi segala sesuatu dalam keadaan marah. Dalam istilah Quran disebut nafs amarah.
"Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku." (Q.S: 12/53).
Pemimpin yang dirasuki nafs amarah, akan menjadi pendendam sehingga mengeluarkan kebijakan yang menzalimi orang lain. Karena nafsu amarah mendorong untuk melakukan kejahatan.
Dalam hadis di awal tulisan ini, disebutkan semua kita/pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan demikian berarti setiap kita, apa pun peranannya, pasti memiliki sumbangsih terhadap sebuah keberhasilan maupun kegagalan. Rasa tanggung jawab akan melahirkan sikap untuk mengerjakan apa pun yang diamanahkan kepadanya dengan sebaik mungkin. Juga siap memperbaiki jika ada kegagalan. Karena pertanggungjawaban bukan hanya di mata manusia tapi juga di hadapan Allah swt. Pemimpin yang baik adalah yang tidak lari dari tanggung jawab. Pemimpin yang baik adalah yang mau bertanggung jawab baik atas keberhasilan maupun sebuah kegagalan. Pemimpin sejati bukanlah yang suka mengklaim keberhasilan, tapi tak mau bertanggung jawab jika ada kegagalan.
Pemimpin yang memiliki empati tinggi akan melahirkan keberpihakan bagi kepentingan orang banyak, apalagi kaum yang papa. Dalam Alquran disebutkan bahwa pendusta agama adalah yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (Q.S.: 107, 1-3). Pemimpin yang tidak memiliki empati, cenderung egois, mementingkan diri sendiri, melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri.
Pemimpin yang memiliki empati akan bertindak sesuai dengan hati nurani. Hati nurani yang dibimbing oleh dorongan kebaikan. Setiap kebijakan yang diambil seorang pemimpin yang mengedepankan nuraninya akan selalu memperhatikan kemanfaatan yang banyak kepada semua orang.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menghimpun semua kekuatan yang ada di sekitarnya. Bukan pemimpin yang cuma bisa memamerkan bahwa dirinya hebat dan berkuasa. Kemampuan untuk bekerja sama hanya akan muncul jika seseorang memiliki kecerdasan emosional yang baik. Pemimpin yang menempatkan dirinya sebagai pelayanlah yang akan mampu bekerja sama dengan siapapun. Pemimpin yang mampu melihat setiap potensi positif orang lain dan bersinergi menjadi kekuatan besar.
Opini Lampung Post 24 Juni 2010