24 Juni 2010

» Home » Kompas » KPU dan Komisioner Oportunis

KPU dan Komisioner Oportunis

Sebagai warga negara, Andi Nurpati memang memiliki hak untuk bergabung dan menjadi pengurus partai politik. Akan tetapi, sebagai komisioner KPU, hak seperti itu dibatasi.
UU tentang penyelenggara pemilu terang-terang menyebutkan bahwa syarat menjadi anggota KPU itu adalah bukan anggota partai politik. Karena itu, manakala ada argumentasi bahwa pengurus partai tidak dilarang menjadi komisioner KPU jelas merupakan akal-akalan.


Ketika Andi Nurpati bersedia dan ditetapkan sebagai pengurus Partai Demokrat (PD), secara otomatis Andi telah kehilangan haknya sebagai komisioner KPU. Dia harus berhenti atau diberhentikan. Masalahnya, Andi sepertinya ”enggan” mengundurkan diri.
Ketika harus mengundurkan diri pun sebenarnya tidak mudah dilakukan. Komisioner KPU dituntut bekerja full-time dan tidak diperbolehkan mengundurkan diri di tengah jalan. Mengundurkan diri tanpa didasari alasan yang diperbolehkan aturan, seperti karena sakit, merupakan suatu pelanggaran.
Oportunis
Dalam pandangan penganut teori pilihan rasional, setiap individu itu merupakan ”pencari kesempatan” untuk memperoleh keuntungan dirinya sebanyak mungkin dan seminimal mungkin menghindari kerugian-kerugian. Namun, harus dibedakan ”pencari kesempatan” dengan seorang oportunis yang mumpung.
Menjadi pengurus partai besar seperti PD tentu merupakan kesempatan yang sangat menjanjikan di dalam politik. Kesempatan ini bukan semata-mata karena PD merupakan pemenang dalam Pemilu 2009. Berbagai survei menunjukkan bahwa elektabilitas PD sekarang pun masih cukup besar. Manakala hal demikian terus berlanjut sampai Pemilu 2014, berarti adanya kesempatan menduduki jabatan publik bagi para pengurusnya cukup besar.
Pemanfaatan kesempatan semacam itu memang mudah dilakukan pada penyelenggaraan Pemilu 1999 karena komisioner KPU berasal dari partai politik. Dalam taraf tertentu, penyelenggaraan Pemilu 2004 juga masih memberi kesempatan. Meskipun melarang komisioner menjadi aktivis partai, aturan masih memungkinkan komisioner mengundurkan diri (dan setelah itu masuk partai).
Aturan mengenai penyelenggara Pemilu 2009, tidak memberi kesempatan semacam itu. Komisioner tidak saja dilarang merangkap sebagai aktivis partai, mereka juga dilarang mengundurkan diri tanpa alasan yang diperbolehkan. Lalu, bolehkah mengundurkan diri karena adanya niat memanfaatkan kesempatan berkarier di dunia politik? Sepintas dapat diartikan tidak melanggar peraturan, tetapi melanggar etika dan kepantasan.
Munculnya aturan semacam itu tidak saja didasari oleh pengalaman adanya komisioner KPU yang mengundurkan diri dan kemudian menjadi aktivis partai pada periode sebelumnya. Lebih dari itu adalah agar penyelenggaraan pemilu bercorak lebih independen dan para komisionernya bisa bekerja lebih profesional dan memiliki integritas pribadi dan publik sekaligus (personal and public integrities).
Semi-independen
Menyikapi kasus Andi Nurpati, sejumlah politikus dari berbagai partai politik, termasuk Megawati, menyerukan kembali tentang pentingnya KPU tetap diisi oleh orang-orang yang independen. Andi langsung dipersilakan mengundurkan diri. Bahkan, ada yang menyerukan Andi ”diadili” terlebih dahulu.
Pandangan semacam itu berseberangan dengan usulan banyak partai yang memiliki kursi di DPR. Mayoritas partai itu justru mengusulkan sebaliknya. Partai- partai yang memiliki kursi di Senayan jus- tru mengusulkan agar KPU bercorak ”semi-independen”. Bahwa KPU tidak hanya diisi oleh orang-orang non-partisan. Anggota partai politik mereka usulkan diperbolehkan menjadi komisioner KPU/D.
Argumentasi yang mengemuka adalah, ketika KPU/D disisi oleh orang-orang non-partisan, kinerja KPU/D dianggap tidak lebih baik kalau dibandingkan dengan kinerja KPU/D yang diisi oleh para politikus. Hal ini dirujukkan pada perbandingan penyelenggaraan Pemilu 2009 dengan Pemilu 1999.
Argumentasi itu tidak hanya tidak tepat. Cara menarik kesimpulannya pun tidak didasari oleh silogisme yang bagus. Untuk menilai apakah penyelenggaraan pemilu itu berjalan secara baik, perlu dikaji apakah aturan main di dalam pemilu itu cukup baik atau tidak dan apakah penyelenggara pemilu itu memiliki kapasitas atau tidak.
Manakala aturan main cukup baik, tetapi komisioner tidak memiliki kapasitas, pelaksanaan pemilu bisa berjalan tidak baik. Lebih-lebih komisionernya sudah tidak memiliki kapasitas dan aturan main banyak yang bermasalah, pelaksanaan pemilu akan tambah amburadul.
Ketika menilai pelaksanaan Pemilu 2009 memiliki banyak masalah, hal itu terjadi karena aturan main yang tidak jelas atau karena komisionernya tidak memiliki kapasitas, ataukah karena kedua-duanya?
Manakala terdapat penilaian bahwa para komisioner KPU/D tidak memiliki kapasitas yang memadai mengenai penyelenggaraan pemilu, pertanyaannya adalah hal ini terjadi karena mereka independen ataukah karena proses seleksinya yang tidak cukup memadai?
Kasus yang menimpa Andi Nurpati hendaknya menyadarkan partai-partai politik yang memiliki kursi di Senayan tentang pentingnya para komisioner yang independen dan memiliki kapasitas yang memadai di dalam penyelengaraan pemilu, serta pentingnya aturan main yang jelas di dalam perundang-undangan mengenai pemilu.
Kacung Marijan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
Opini Kompas 25 Juni 2010