24 Juni 2010

» Home » Republika » Mewaspadai 'Siaran Kebatilan'

Mewaspadai 'Siaran Kebatilan'

Idy Muzayyad
(Komisioner KPI Pusat)

Bad news is good news. Berita buruk adalah berita yang baik. Benarkah demikian, sehingga kebatilan justeru lebih sering ditonjolkan? Ideologi dan kepentingan apakah yang melatari naluri jurnalistik yang semacam itu?

Hari-hari ini, kita secara nyata sedang disuguhi berita buruk yang dipaksa menjadi berita baik itu. Berita buruk soal peredaran video mesum yang mirip artis papan atas sedang booming. Berbagai macam media, baik cetak, elektronik maupun online menawarkan ragam perspektif sesuai dengan framing-nya sendiri-sendiri.

Karena menyangkut gambar bergerak atau video, maka media elektronik dijadikan rujukan oleh masyarakat tentang informasi itu. Rasa ingin tahu masyarakat begitu besar. Media massa elektronik berlomba menyiarkannya berdalih memenuhi rasa ingin tahu itu, melalui tayangan dengan gaya dan teknik pemberitaan seatraktif mungkin. Televisi saling berlomba dalam menyiarkan hal buruk yang masuk katogori kebatilan itu.

Sayangnya, dalam pemberitaan itu rata-rata stasiun televisi menampilkan potongan gambar adegan cabul. Sungguhpun itu disamarkankan, sebenarnya itu tidak bisa dibenarkan. Karena adegan yang samar-samar itu jelas merujuk pada adegan mesum yang memang tidak boleh disiarkan.

Media Cermin Budaya
Pada satu sisi, tayangan media massa bisa dianggap sebagai cerminan perilaku masyarakat. Apa yang ditampilkan media merupakan gambaran perilaku masyarakat secara umum. Media massa merupakan representasi dari realitas masyarakat yang sesungguhnya.

Dalam perspektif ini, apa yang ditampilkan media terkait dengan video mesum artis itu bisa dikatakan sebagai cerminan dari perilaku masyarakat. Di dalamnya mangandung fenomena maraknya kebatilan sebagai buah dari dekadensi moral, yakni nilai-nilai kepatutan dan kesopanan sudah mulai memudar.

Sebagai sebuah case study, pada saat stasiun televisi tertentu menayangkan gambar adegan mesum secara berulang-ulang, kira-kira ideologi dan kepentingan apakah yang melatarinya? Semoga bukan ideologi yang hanya menghamba kepada kepentingan ekonomis jangka pendek, atau lebih parah lagi ideologi yang berkepentingan dengan rusaknya moral masyarakat dan bangsa.

Pada sisi lain, perkembangan teknologi komunikasi memang menimbulkan ambivalensi, berupa pemanfaatannya untuk kepentingan yang destruktif. Teknologi memang banyak memberikan kemudahan kepada manusia untuk menyebarkan dan menyiarkan informasi. Tapi masalahnya, tidak selalu informasi yang baik dan konstruktiflah yang disiarkan.

Untuk kasus video mesum ini artis pun berlaku kecenderungan tersebut. Semakin massifnya penyebaran video tersebut karena didukung oleh adanya teknologi yang makin canggih. Mungkin kejadian ini bukan yang pertama, namun perkembangan teknologi yang makin pesat berimplikasi langsung pada pola terdifusikannya hal-hal baru secara lebih cepat dan menembus batas.

Media massa terbukti memiliki andil yang sangat signifikan dalam proses ini.  Bahkan media massa yang pada akhirnya akan membentuk budaya. Cultivation theory menyatakan media menanamkan nilai kepada masyarakat secara beruntun, sehingga proses penannam itu akan berpengaruh secara langsung kepada masyarakat selaku khalayak media massa.

Masalahnya, apa jadinya kalau yang ditanamkan oleh media massa itu adalah nilai bernuansa mesum seperti yang ditampilkan oleh beberapa stasiun televisi saat ini? Beruntung kalau masyarakat bisa aktif memilah dan memilih tayangan mana yang baik dan yang tidak.

I'tikad Baik

Di lihat dari berbagai perspektif, baik moral maupun formal, penayangan keburukan berupa video mesum itu tidak bisa dibenarkan. Berbagai peraturan, mulai dari kode etik jurnalistik sampai Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak membenarkan adanya tayangan bernuansa cabul tersebut di layar kaca kita.

Kalau itu tetap dilakukan, efek yang akan ditimbulkan sangatlah besar. Karena sesuatu yang sudah dianggkat oleh media massa akan memiliki pengaruh yang lebih dasyat dibanding ketika hanya ditayangkan oleh media lainnya. KPI sebagai regulator telah memberikan peringatan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.

Namun langkah itu tidaklah cukup bila tidak disertai dengan i'tikad baik dari para gatekeeper yang berada di belakang media. 

I’tikad baik itu berupa self regulation atau self censorship dalam bentuk seleksi secara internal sebelum sebuah tayangan disiarkan.

Memang media massa tidak harus selalu menyiarkan kebaikan, karena keburukan dalam hal yang spesifik dan demi kepentingan publik juga perlu diberitakan.
Opini Republika 23 Juni 2010