27 Januari 2010

» Home » Republika » Stabilisasi Kebutuhan

Stabilisasi Kebutuhan

Oleh Khudori (penulis buku)

Dalam beberapa pekan ini, media massa di Tanah Air intens melaporkan kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat golongan ekonomi kecil. Mereka tak hanya didera harga-harga pangan (beras, gula, terigu, dan minyak goreng) yang terus melangit, tapi juga digerus biaya kesehatan dan pendidikan yang tak terjangkau. Harga beras, gula, dan minyak goreng pekan ketiga Januari 2010 naik 10-15 persen ketimbang Oktober lalu. Warga antre beras, gula, dan minyak goreng dalam operasi pasar jadi sesuatu yang lumrah.

Mau tidak mau, mereka harus merealokasi keranjang pengeluaran. Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan. Ini terjadi karena 60-80 persen pengeluaran keluarga miskin tersedot untuk pangan. Atau, kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior (murah dengan kandungan energi-protein rendah) jadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita, akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok dan SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang kian ketat.

Pemerintah merancang strategi stabilisasi harga kebutuhan pokok. Minyak goreng dan gula disubsidi. Sedangkan subsidi terigu dan kedelai 'lewat pembebasan PPN' tidak lagi diberikan seperti rentang tahun 2008-2009. Bahkan, untuk menjamin keberhasilan stabilisasi harga pangan, pemerintah menambah subsidi sebesar Rp 8,2 triliun.

Tambahan anggaran ini dialokasikan untuk pengadaan beras untuk rakyat miskin (raskin), stabilisasi harga minyak goreng, gula, dan pupuk. Jadi, dalam APBN-P 2010 total subsidi nonenergi naik dari Rp 51,3 triliun menjadi Rp 59,5 triliun. Penyaluran raskin juga dipercepat.

Untuk meredam harga, pemerintah menggelar operasi pasar. Pertanyaannya, bisakah operasi pasar meredam harga? Operasi pasar adalah instrumen jangka pendek. Operasi pasar fungsinya tak lebih sebagai tukang pemadam kebakaran. Tujuannya, untuk memengaruhi harga. Namun, efektivitas operasi pasar dalam memengaruhi harga tergantung banyak faktor: stok pemerintah, besarnya pangan yang digerojok di pasar, stok yang dikuasai pedagang/spekulan, dan psikologi publik. Oleh karena itu, operasi pasar sebenarnya bukan instrumen ampuh guna mengatasi instabilitas harga domestik.

Berbeda dengan di era Orde Baru yang instrumen dan kelembagaannya komplet, sekarang kita tidak memiliki instrumen dan aransemen stabilisasi pangan domestik. Dulu, sejumlah komoditas strategis (beras, gula, kedelai, minyak goreng, dan terigu) distabilisasi melalui Bulog.

Kini, Bulog yang mengelola beras. Dalam kondisi demikian, raskin sebagai 'benteng pertahanan' akhir perut warga justru dipangkas, baik jumlah rumah tangga sasaran penerima raskin (dari 18,5 juta jadi 17,5 juta) maupun volume beras yang disalurkan (dari 15 kg jadi 13 kg per bulan). Ini terjadi karena pagu subsidi pangan menurun dari Rp 13 triliun pada APBN-P 2009 jadi Rp 11,84 triliun pada APBN 2010.

Agar kerugian berganda instabilitas tak terjadi, opsi stabilisasi harga kebutuhan pokok jadi relevan. Apa arti kebutuhan pokok bagi warga? Paper Edward Miguel, Shanker Satyanath, dan Ernest Sergenti, Economic Shocks and Civil Conflict: An Instrumental Variables Approach (Journal of Political Economy, 2004) bisa membantu. Paper itu menganalisis kaitan curah hujan dan perang sipil di 41 negara Afrika antara 1981-999. Hasilnya, penurunan curah hujan di negara--kebanyakan negara agraris dalam periode tanam tertentu signifikan menurunkan ekonomi dalam jangka pendek, dan pada gilirannya menimbulkan perang sipil. Tak ada perbedaan dalam hubungan sebab akibat itu di negara yang lebih kaya, lebih demokratis, atau negara beretnik beragam.

Ini revelan bagi kita: kemampuan sebuah rezim dalam menyediakan penghidupan yang layak bagi warga akan menentukan situasi sosial-politik. Reformasi telah mengubah peran pemerintah di satu sisi dan peran sektor swasta, warga sipil, dan dunia internasional di sisi lain.

Tapi, sistem ekonomi nyaris tak berubah. Di sisi lain, peran pemerintah kian menciut, diikuti naiknya peran swasta dan warga sipil. Menguatnya daya tawar rakyat vis a vis negara yang lemah mestinya mengubah struktur ekonomi dan pemerataan.

Logika itu tak terjadi. Kaum kapitalis kian sulit diatur. Sebaliknya, lembaga pengemban pelayanan publik (bulog, sekolah, rumah sakit, PLN, Pertamina) dipreteli tugasnya atau diprivatisasi.


Opini Republika 28 Januari 2010