27 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Menyiasati ACFTA

Menyiasati ACFTA

Oleh H. HERDIWAN

Asean China Free Trade Area (ACFTA) juga Australia New Zealand (AANZ FTA) mulai diberlakukan, termasuk di negara kita. Cukup masuk akal jika kemudian timbul penolakan perdagangan bebas terhadap Cina, Australia, dan New Zealand. Karena ternyata beberapa tahun setelah penandatanganan persetujuan perdagangan bebas tersebut, kita tidak melakukan persiapan memproduksi barang untuk bisa bersaing dengan produk negara lain dengan kemasan lebih menarik, lebih unggul, dan lebih murah pula, seperti produk-produk pertanian, perkebunan, makanan, buah-buahan, mainan, mesin, elektronika, tekstil, alas kaki, sampai garam.


Untuk Jawa Barat, mungkin bisa lebih ”mengerikan” lagi dampaknya, karena kita juga kalah bersaing dengan saudara-saudara kita dari luar Jawa Barat (Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi). Ketika saudara kita di luar Jawa Barat lima tahun lalu menanam sawit, karet, tebu, dan cokelat,  kita tidak menanam buah-buahan yang disukai saudara kita di luar Jawa Barat. Kini, saudara kita sedang panen hasil kebunnya dalam bentuk minyak goreng, gula, cokelat, plastik, karet yang pasti dibutuhkan penduduk Jawa Barat. Sayangnya, kita tidak punya produk yang bisa kita jual kepada mereka.

Sebenarnya, ada produk di Jawa Barat yang tidak perlu proses pabrik atau ditanam terlebih dahulu karena barangnya sudah ada. Barang tersebut bagaikan ”sepotong tanah surga” yang jatuh di tatar Jawa Barat. Itulah objek-objek wisata dan keragaman budaya masyarakatnya, yaitu seni, kuliner, kriya, dan fashion!

Ikon harga diri

Sektor pariwisata kebudayaan yang dikelola dengan segenap rasa, pikir, dan hati yang yakin, insya Allah mampu menjadi pemeran penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Hampir seluruh negara maju di dunia menjadikan sektor pariwisata sebagai pendapatan ekonomi utamanya. Mereka menyebutnya the next great industry. World Travel and Tourism juga meyakinkan, kegiatan kepariwisataan mampu menyerap tenaga kerja 7,5 persen dan uang yang dikeluarkan di suatu daerah wisata oleh pengunjungnya rata-rata 10 dolar AS. Kepariwisataan tidak mengenal oversupply karena memiliki karakter berbeda setiap objeknya yang pasti memiliki ”ciri sabumi cara sadesa” serta tidak pernah terpengaruh keadaan resesi/krisis ekonomi.

Ada sembilan objek yang bila fokus digarap dengan segenap dukungan sinergi dan koordinasi yang  berkualitas antarlembaga, kiranya bisa menjadi alternatif ketika warga Jabar ingin  punya harga diri ”lainnya”, yaitu kebanggaan atas apa yang dimiliki daerahnya serta tumbuhnya pencitraan positif bagi pemerintah provinsinya karena objek wisata menjadi penyumbang pendapatan daerah secara  signifikan.

Pertama, objek hutan seperti Taman Nasional Gede Pangrango Cianjur dengan paket penunjang Taman Bunga Nusantara Cipanas dan kuliner khas manisan serta sate maranggi, kemudian hutan Tangkubanparahu, Maribaya Tahura, dan Kawah Putih Bandung dengan paket penunjang kebun strawberi, tempat pentas seni  Taman Budaya Dago, Saung Udjo, Manglayang, Jelekong, Pasir Kunci, Museum Sribaduga, Gedung AA, Geologi,  kuliner khas, belanja pakaian, kerajinan, serta industri kreatif barudak Bandung.

Kedua, objek perkebunan seperti kebun teh puncak dengan paket penunjang Talaga Warna, Taman Safari dan penangkaran anggrek, atau di perkebunan teh yang dibelah ruas tol Purbaleunyi  bisa jadi pasar ketika kita membangun panggung seni, termasuk ikutannya, seperti kios cenderamata, kuliner, dan lain-lain ).

Ketiga, objek pantai seperti Pangandaran, Batu Karas, Green Canyon Kab. Ciamis, Santolo, Gunung Geder Kab. Garut, dan Cimaja Pelabuhan Ratu sebagai tempat surfing bertaraf internasional dengan paket gelar seni tradisi, kampung adat, dan sumber air panas Cisolok.

Keempat, objek unik (menjelajah ke dalam perut bumi di penambangan emas aneka tambang Jasinga, dengan paket penunjang Kebun Raya Bogor, kampung adat Sindangbarang, belanja khas tas Tajur, alam Taman Nasional Gunung Salak, atraksi seni tradisi dan kuliner, serta batik Pajajaran.

Kelima, objek kepurbakalaan seperti Gua Pawon dengan jejak dan peninggalan manusia purba, dipaket  dengan megalitik Gunung Padang menggunakan kereta api wisata ke Cianjur.

Keenam, objek tradisi/komunitas adat seperti Kampung Naga dipaket dengan Cipanas Garut, Golf Ngamplang, Candi Cangkuang dan atraksi seni, lalu Cigugur Kuningan dipaket dengan tempat wisata Cibulan dan Museum Cipari.

Ketujuh, objek heritage  seperti Keraton Sultan Cirebon dipaket dengan batik trusmi, seni tradisi topeng, tarling kemudian situs Candi Jiwa di Karawang yang konon lebih tua dari Borobudur dengan paket meninjau makam Syeh Quro dan mengunjungi  tempat Bung Karno di Rengasdengklok, menyaksikan seni tari maestro Suwanda dan seni pantura lainnya, serta ke Taman Buah Mekarsari.

Kedelapan, objek atraksi kesenian dan ragam festival. Sekitar 300 jenis kesenian tumbuh dan berkembang di Jabar, sebagian bisa disaksikan di Monumen Perjuangan depan Gedung Sate, Wayang Golek, Kampung Perupa Jelekong, Godi Suwarna Ciamis, Ronggeng Gunung Banjar, Tembang Cianjuran, Pentas Seni di gedung Negara Bakor PP empat wilayah, Festival Layang-layang, Festival Surfing Internasional, Kemilau Nusantara, Braga Festival, Tanding Permainan Tradisi Lembur ”Alimpaido”, gelar adat tiap komunitas.

Kesembilan, objek wisata belanja, makanan khas kreasi baru tiap daerah, pakaian kelas dunia, serta produk kreatif lainnya di Bandung, Tasikmalaya, dan Cirebon.

Promosi & dukungan

Wisatawan akan mendatangi  suatu destinasi jika objek wisata itu memiliki tiga hal. Pertama, atraksi (daya tarik wisata). Objek wisata yang akan fokus  didukung Pemprov Jabar harus bernilai khas, berpotensi memiliki perhatian menakjubkan, bisa dirangkai dengan objek lain sebagai penunjang yang bisa dijelajahi dalam hitungan jam atau satu hari kunjungan dan sedikitnya memberi tiga unsur tambahan,  yaitu hadirnya berbagai jenis makanan khas, kerajinan, dan pergelaran seni Jabar. Untuk itu, selama 2009 Pemprov Jabar membangun 15 padepokan bagi pelaku seni, melakukan pelatihan pengemasan produk, dan meminta pakar menentukan ikon cendera mata khas jabar.

Kedua, amenities (nyaman karena adanya kesopansantunan/penghargaan). Kenyataannya, banyak tempat wisata yang dikagumi, tetapi perasan tidak dihargai terhadap pengunjung, kasat mata terus terjadi. Misalnya sarana umum untuk hajat kecil/besar malah menjadi tempat ”penderitaan” bagi yang akan menggunakannya, tidak disediakannya bangunan umum untuk berteduh, ditambah perilaku pedagang dan tempat berdagangnya yang malah menjadi ”gangguan”. Peristiwa ”tersiksa”  itu sudah terjadi misalnya ketika datang di bandara, pengurusan dokumen berlangsung lama padahal ruang tunggu sempit. Jika berada di terminal bus, wisatawan dibuat bingung mau menggunakan kendaraan mana untuk menuju objek wisata karena hanya menyebut tempat tujuan bus  (padahal tinggal menambah tulisan ”melalui objek wisata tertentu”). Agen perjalanan menggunakan guide ”tukang senyum saja” dan ingkar janji dengan paket wisatanya.

Ketiga, aksesibilitas (keterjangkauan terhadap tempat tujuan). Sarana infrastruktur menuju objek wisata adalah wajib. Penulis sangat gembira karena gubernur berkomitmen untuk memuluskan akses menuju objek wisata potensial. 

Dengan uraian tadi, sangat jelas dukungan berbagai pihak harus ada, di antaranya pemerintah kabupaten/kota, kepolisian, lembaga perhubungan, lembaga POLPP, Angkasa Pura, Perhutani, PTPN VIII, Departemen Kehutanan, PHRI, dan ASITA. Setelah itu, tinggal digenjot dari sisi promosi besar-besaran, tetapi tepat tema dan tepat pasar. Bagi pasar Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, promosi berupa  iklan dan pameran wisatanya, temanya berupa ajakan belanja berdiskon besar, festival seni. Ke sejumlah negara ASEAN ditawarkan golf dan surfing berkelas, tetapi dengan harga lebih murah daripada di negara lain, belanja, makanan, musik, dan ekologi pariwisata/agrowisata. Sementara bagi Timur Tengah ditawarkan wisata alam pegunungan, perkebunan, dan keraton Islam. Untuk Cina dan Jepang, kita tawarkan situs Candi Jiwa di Karawang, juga musik berdawai dan tarian daerah Karawang Bekasi yang sarat mengandung akulturasi dari negeri Cina.

Sungguh jelas dan masuk akal bahwa dengan membangun, membina, dan mengunggulkan objek alam Jabar serta selalu hadirnya karya kebudayaan manusianya sebagai suatu industri kepariwisataan lalu dipungkas dengan bombardir promosi, sebagaimana penulis pernah beriklan ”West Java FFUN (Food, Fashion, Unique, and Nature) are truly fun!” itu, maka siapa takut dengan ACFTA?***

 Penulis, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat 28 Januari 2010