HARI-HARI ini tensi politik di republik ini kian memanas seiring dengan sepak terjang anggota Pansus DPR RI dalam pengucuran dana talangan (bail out) Bank Century Rp 6,7 triliun kian zigzag dan sulit diprediksi. Bahkan dalam beberapa hari terakhir ada sinyalemen mengarah pada pemakzulan (impeachment) kepada Presiden SBY.
Presiden pun cepat menyikapi dengan mengundang sejumlah pejabat tinggi negara (Ketua MA, MK, BPK, DPA, KY, DPR, dan DPD) di Istana Bogor dengan agenda pokok membahas sinergitas hubungan antarlembaga tinggi negara dalam menyikapi suhu politik nasional. Seusai pertemuan SBY mengimbau agar kasus Century tidak diarahkan pada impeachment atas dirinya.
Mudah diduga SBY dan timnya hari-hari ini tengah alergi mendengar impeachment, kosa kata keramat dan bermantera dalam politik hukum di negeri ini terutama sejak diintroduksi oleh UUD 1945 setelah diamandemen.
Impeachment adalah proses pemberhentian yang dilakukan oleh parlemen. Secara tekstual ia berarti dakwaan atau tuntutan yang telah dipraktikkan sejak zaman Mesir Kuno dengan istilah iesangelia, yang pada abad ke-17 diadopsi pemerintah Inggris dan dimasukkan dalam konstitusi Amerika Serikat akhir abad ke-18. Hingga awal 2000 diidentifikasi 93 negara yang konstitusinya secara eksplisit mengadopsi konsep ini. Sampai akhir 2002 tercatat baru 12 negara yang mencoba memakzulkan presidennya. (Denny Indrayana, 2008).
Presiden SBY alergi mendengar kata impeachment karena dalam sejarah perpolitikan kita, kendati dengan model dan tipe yang berbeda cara itu pernah dipergunakan untuk menggusur kursi presiden KH Abdurrahman Wachid pada tahun 2001. Siapapun yang menjadi presiden pastilah alergi bahkan takut mendengar kata ini karena pastilah berkonotasi buruk atas kinerjanya dan berpotensi menghabisi nyawa kekuasaan presiden.
Sebenarnya SBY tak perlu alergi dan takut atas munculnya sinyalemen impeachment dari Pansus DPR, bahkan tak perlu penuh melodramatik dengan mengimbau dan menghiba publik agar memahami Century secara jernih dan juga mempelajari sistem presidensial. Ini semua tak perlu terjadi sepanjang Presiden tidak bersalah dalam membuat kebijakan dalam pengucuran bantuan dana Rp.6,7 triliun yang cenderung irasional itu.
Gaya Presiden yang melodramatik dan penuh hiba ini justru menjadi blunder politik atas nasib kekuasaannya. Seharusnya ia justru bersikap penuh ksatria dengan mempersilakan Pansus DPR serius mengumpulkan fakta untuk menemukan titik terang atas salah urus dalam kasus ini. Bukan sebaliknya justru terkesan hendak cuci tangan dengan menggunakan dalih-dalih politis tanpa memperhatikan perasaan keadilan publik yang telah kian terkoyak.
Kalau pun hasil kerja Pansus akan diarahkan pada proses impeachment sekalipun sesungguhnya ia tidak perlu alergi karena memang dalam konstitusi diatur model dan sistem kontrol DPR pada presiden yang puncaknya adalah pada proses impeachment. Karena itu impeachment bukan merupakan proses politik melainkan proses hukum. Jika demikian maka pastilah proses hukum didahului dengan mematuhi hukum acara dalam menjatuhkan vonis impeachment.
Politik Seperti diatur dalam Pasal 7a UUD 1945 Pascaamandemen yang menyatakan bahwa presiden/wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR dengan alasan: (1) apabila terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, atau perbuatan tercela; (2) apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden.
Hukum acaranya pun sangat ketat dan seolah berbelit, sebagaimana diatur dalam Pasal 7b Ayat (3) misalnya, DPR perlu mendakwa, diperiksa Mahkamah Konstitusi (MK), bila MK menyatakan dakwaan terbukti sah dan meyakinkan secara hukum maka proses ini pun belum selesai. Putusan MK akan kembali lagi diperdebatkan di wilayah politik, yaitu DPR untuk diparipurnakan lagi barulah diusulkan ke MPR yang harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR dan 2/3 diantaranya harus menyetujui usul pemakzulan ini. Barulah presiden dapat benar-benar dimakzulkan.
Model ini memang belum ideal karena dalam hal MK tidak sependapat dengan DPR maka proses impeachment berhenti, dan presiden tidak dapat diberhentikan. Sebaliknya, jika MK sependapat dengan DPR, maka proses berlanjut ke MPR.
Di sini sebenarnya ada potensi putusan MK, yang secara yuridis telah menyatakan presiden layak diberhentkan, dimentahkan. Pengaruh MPR sebagai lembaga politik berpotensi tidak menjunjung tinggi putusan yuridis dari MK. Maka sebaiknya perlu dibangun konvensi bahwa MPR hanya merupakan proses konfirmasi atas putusan MK yang lebih bersifat yuridis ketimbang politis. (Denny Indrayana, 2008).
Melihat prosedur hukum acaranya yang cukup rumit ini mudah diduga sebenarnya sediktator macam apapun amat sulit rasanya menjatuhkan presiden. Sepanjang komposisi dukungan politik di DPR berupa koalisi antarpartai kuat solid dan tidak pecah kongsi. Komposisi dukungan SBY di DPR sesungguhnya sangat kuat.
Maka seharusnya justru SBY tidak perlu alergi malah mempersilahkannya, toh impeachment tidak otomatis mampu dengan mudah menjatuhkannya. Di sinilah fungsi impeachment akan terlihat sebagai sarana pendidikan politik dan uji coba sistem ketatanegaraan setelah terwujudnya lembaga MK sebagai penguji secara yuridis atas putusan DPR.
Justru ketika SBY dengan koalisi partainya mati-matian menolak arah Pansus ke impeachment, tampak jelas bahwa Pansus hanya diarahkan pada semacam penyidikan pembantu polisi atau KPK dalam menelusuri kasus korupsi. Dan kasus Century berarti menjadi tak ubahnya kasus kriminal biasa. Kalau ini terjadi, maka SBY, partai koalisi dan Pansus DPR akan berhadapan dengan parlemen jalanan (demostrasi mahasiswa dan kelompok kepentingan) yang berpotensi menjadi lokomotif instabilitas politik nasional. (10)
— Agus Riewanto, peserta program doktor ilmu hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Wacana Suara Merdeka 28 Januari 2010