27 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Peran Polisi Pascapatah Panah

Peran Polisi Pascapatah Panah

Upacara patah panah mengakhiri perang adat antarsuku antara suku Damal dan Dani yang berlangsung di Kelurahan Kwamki Lama, Kabupaten Mimika, Papua Barat, 2010. Pada perang 'kolosal tradisional' di arena terbuka tersebut tampak masing-masing kelompok suku berlari-lari kecil zig-zag maju dengan lengkingan teriakan menuju posisi lawan sembari membawa dan menghunus seperangkat alat perang busur lengkap dengan anak panah, tombak beragam ukuran panjang pendek, dan sejenisnya siap dilontarkan ke arah pihak lawan.


Kaum laki-laki warga suku dimaksud dengan telanjang dada bak satria berlaga di medan perang menantang musuh 'mana dadamu ini dadaku'. Lebih mengerikan lagi, dengan ketelanjangan itulah korban meninggal dunia dipenuhi tancapan anak panah di sekujur tubuhnya. Bagi masyarakat luar (outsider) tentu mengejutkan dan mengerikan, tetapi bagi mereka (insider) belum tentu demikian pemahamannya. Hanya pertanyaannya, mengapa perang kok tidak dilaporkan ke polisi setempat? Apa peran polisi di tengah perang adat dan pascapatah panah tersebut?

Polisi dan harga diri suku

Mereka bukan tidak mengerti, mengetahui, dan memahami peran polisi dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Mereka tidak jarang juga melaporkan ke polisi sejumlah kasus-kasus penganiayaan, pencurian, dan sejenisnya, tetapi persoalan perempuan dan tanah bagi mereka tidak bisa ditawar-tawar karena dua poin itu harga diri suku, sekalipun pelakunya orang yang dituakan dalam lingkungan sendiri.

Tanah direpresentasikan sebagai mama (ibu), jadi mama adalah simbol kehidupan manusia yang dalam bahasa Amungme te aro neweek lak-o (tanah adalah aku/mama). Demikian pula, perempuan dipahami bukan sebatas sebagai pemenuhan kebutuhan reproduksi biologis untuk menghasilkan keturunan genealogis semata, bukan pula sebatas sebagai tulang punggung dan penjaga berdirinya bangunan sebuah rumah tangga, melainkan juga mama.

Untuk itu, amat dipahami dalam masyarakat tradisional agraris yang mencakup lebih dari 270 suku di Papua Barat tersebut, perempuan dan tanah sebagai simbol harga diri suku. Tentu konsekuensinya, jika harga diri dirusak, lebih-lebih dengan cara-cara tidak senonoh, secara sontak mereka bukan melapor polisi, melainkan (sepakat) mengibarkan peperangan dengan beragam bentuk alat senjata tradisional yang dimiliki.

Memang ada instrumen lain yang oleh umum dipandang lebih beradab, misalnya dialog untuk mencapai musyawarah mufakat atau melaporkan ke polisi untuk ditindak menurut hukum positif terkait. Hukum positif (nasional) dan polisi formal merupakan produk masyarakat modern (kompleks), sementara mereka masih tergolong masyarakat sederhana yang kehidupannya menggerombol sehingga hukum yang efektif digunakan tentu hukum mereka.

Bukankah law is not separated from its culture and social? Memang dalam kehidupan sosial sehari-hari, baik dalam masyarakat sederhana maupun kompleks selalu saja ada persoalan konflik, sengketa, dengan beragam sebab, bobot, dan eskalasinya menyusul serangkaian interaksi sosial antaranggota masyarakat itu sendiri.

Namun, dalam setiap jenjang masyarakat itu sendiri sebenarnya juga telah memproduk mekanisme penyelesaian konflik sehingga model penyelesaiannya pada jenjang masyarakat satu belum tentu efektif diterapkan pada jenjang masyarakat yang lain. Artinya, polisi sebagai produk masyarakat modern tidak akan efektif dan paling banter dalam mengatasi perang adat sebatas menjaga, mengeliminasi, mereduksi eskalasi konflik agar tidak menjalar ke mana-mana.

Polisi pascapatah panah

Masyarakat sederhana seperti suku-suku di negeri Papua tersebut bukan tidak mengenal perdamaian. Mereka mengenal dan menjalankan. Biasanya, setelah peperangan melelahkan, meskipun sesekali gencatan senjata beberapa jam, dan ketika merasa daya tawar (bargaining position) sama-sama kuat atau seimbang, mereka bersedia berdamai, misalnya perdamaian yang pernah dilakukan ditandai dengan bakar batu dan makan bersama.

Dalam konteks perang suku Dani dan Damal perdamaian telah tercapai ditandai dengan upacara patah panah. Namun perlu dicatat, upacara bakar batu atau patah panah dimaksud bukan berarti menghilangkan tradisi perang kolosal tradisional. Sebagai masyarakat agraris tradisional, perang dimaksud sewaktu-waktu akan mewujud kembali jika harga diri suku sebagaimana diurai di atas terlukai lagi. Lantas, pertanyaannya bagaimana langkah-langkah otoritas keamanan bersama tokoh agama dan tua adat suku setempat menghadapinya agar perang kolosal tradisional tidak mewujud lagi, setidaknya tingkat ketegangan tereduksi?

Dalam konteks tugas dan kewenangan polisi sebagai pemegang otoritas keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, huruf: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, (b) menegakkan hukum, (c) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14 UU No 2/2002 huruf: (c) membina dan meningkatkan partisipasi, kesadaran, dan ketaatan masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, serta (5) turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

Tugas dan kewenangan dimaksud dapat diwujudkan dengan langkah awal, yaitu memetakan tipologi ketegangan konflik. Ada tiga tipologi ketegangan konflik dalam masyarakat sederhana seperti suku-suku di negeri Papua yang perlu diamati sekaligus dicari kearifan-kearifan lokal masyarakat suku bersangkutan sebagai alternatif solusi konflik, di antaranya sebagai berikut.

Pertama, potensi konflik. Potensi konflik biasa ditandai oleh suatu kondisi berupa keberadaan lebih dari satu kelompok berbeda identitas primordial (suku, agama, ras, golongan) yang berada dalam daerah sama, lebih-lebih mereka hidup mengelompok berjauhan berdasarkan identitas primordial. Pada titik ini, pola hidup mengelompok berdasar identitas primordial akan semakin menegas perbedaan sehingga hubungan sosial antarsuku dimaksud berada pada posisi potensi konflik.

Oleh sebab itu, jika merujuk pada kondisi Kabupaten Mimika atau Paniai memang daerah potensi (rawan) konflik. Kearifan lokal yang perlu dipertimbangkan, kalau perlu dilembagakan, adalah amat dianjurkan adanya kearifan perkawinan eksogami suku, mengingat dengan perkawinan lintas suku dapat mereduksi ketegangan konflik yang melibatkan warga suku masing-masing.

Kedua, prakonflik. Kondisi prakonflik biasa diindikasikan oleh adanya keluhan-keluhan (grievans) kelompok satu atas kelompok lain, warga suku satu atas suku lain. Keluhan dimaksud biasa berawal dari kerugian, kecurigaan, perasaan tidak senang, dan sejenisnya yang terjadi dalam interaksi sosial antarsuku. Pada titik ini, hubungan sosial antarsuku berada pada posisi prakonflik.

Kearifan lokal yang perlu dipertimbangkan ada adalah lembaga konsiliasi yang diisi oleh figur tepercaya terutama yang dituakan dan disegani tiap suku. Dengan kata lain, diangkat tua adat yang berfungsi sebagai tempat mencari berita, kebijakan, saran-saran, tempat menampung keluhan serta mampu menyambunglidahkan ke tua-tua adat suku lain. Dengan peran aktif mereka amat dibutuhkan karena lancarnya komunikasi diyakini dapat mereduksi setiap ketegangan dan mencegah tidak ada loncatan dari potensi konflik ke konflik.

Ketiga, konflik. Kondisi konflik biasa ditandai dengan tidak adanya fungsi figur adat sebagaimana disebut di atas sehingga semua keluhan tidak tertampung dengan baik atau keluhan telah disampaikan kepada pihak suku lain, tetapi tidak ditanggapi dengan baik atau ditanggapi, tetapi bernada provokatif. Pada titik ini, hubungan sosial antarsuku berada pada posisi berhadap-hadapan dan konflik terbuka tinggal menunggu pemicu, misalnya pekikan, teriakan, atau aba-aba dari salah pihak.

Kearifan lokal yang perlu dipertimbangkan ada adalah lembaga adat bentukan suku-suku itu sendiri, bukan bentukan siapa-siapa bahkan pemerintah sekalipun karena akan mengurangi legitimasi adat setempat. Lembaga ini diisi wakil-wakil tepercaya berfungsi mendialogkan dan mencari titik temu antara kebutuhan, keinginan, dan keluhan bersama. Jika lembaga itu tidak ada atau ada tetapi tidak berfungsi, pilihan perang terbuka menjadi kenyataan.

Perang antarsuku di negeri Papua menggambarkan pada kita bahwa perang adat adalah perang harga diri suku. Mekanisme penyelesaian perang hasil produksi masyarakat maju seperti polisi kurang efektif diterapkan pada masyarakat sederhana karena mereka lebih meyakini hukum bentukan mereka sendiri.

Upacara patah panah telah dilakukan sebagai tanda perdamaian, setelah itu, tentu, peran polisi bersama tokoh agama, tua adat memetakan tipologi ketegangan konflik dan kearifan-kearifan lokal sebagai hukum penyelesaian menurut budaya adatnya sendiri mendesak dilakukan. Hasil pemetaan ketegangan konflik dan kearifan lokal dimaksud akan mempermudah polisi menjalankan sebagian tugas dan wewenangnya sebagai pemelihara keamanan dan penjaga ketertiban masyarakat. Semoga.

Oleh Ade Saptomo Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Udayana, Bali
Opini Media Indonesia 28 Januari 2010