27 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Belajar dari Perang Maya AS-China

Belajar dari Perang Maya AS-China

Pelajaran berharga yang bisa dipetik Indonesia adalah ketegasan, kejelasan, konsistensi, dan kepercayaan diri China dalam perjuangan misinya menyaingi ke-superpower-an AS

PERANG dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat China (RRC) kini merambah dunia maya menyusul ketegangan antara Google (perusahaan mesin pencari di internet asal AS) dan pemerintah di Beijing. Ketegangan itu memuncak saat Google mengancam hengkang dari China setelah terjadi serangan yang mengarah kepada akun-akun gmail milik pegiat hak asasi manusia (HAM) China di Google.cn.



Corporate Development and Chief Legal Officer Google David Drummond menuturkan, pihaknya menemukan lusinan akun gmail di China, AS, dan Eropa milik aktivis HAM China secara rutin diakses pihak lain umumnya dari (pemerintah) China sehingga Google merasa dicuri hak intelektualitasnya.

Google sebenarnya sudah meminta kepada pemerintah China agar membiarkan Google.cn beroperasi secara independen tanpa harus disensor hasil pencariannya. Namun pemerintah China bersikeras, pihaknya berhak memblokir beberapa kata kunci maupun hasil pencarian yang dianggap bisa mengusik stabilitas negara.

Kata kunci dan hasil pencarian yang diblokir ataupun disensor itu umumnya terkait dengan gerakan politik, HAM, dan pornografi. Menteri Informasi China Wang Chen mengatakan, pihaknya akan tetap melakukan pemblokiran/penyensoran untuk melindungi 385 juta pengguna internet (netter) di China dari propaganda politik dan pornografi yang menyesatkan. Selain itu, juru bicara Kementerian Perdagangan China Yao Jian mengatakan, pemerintah mempunyai kewenangan besar untuk mengatur operasi perusahaan-perusahaan asing (termasuk perusahaan mesin pencari di internet semacam Google) agar tunduk pada hukum, kepentingan umum, tradisi maupun kultur yang berlaku.

Perang maya AS-China sekarang ini bukanlah untuk kali pertama tetapi sudah berlangsung sejak 2001. Saat itu hackers China sukses mengakses secara leluasa server milik lembaga mata-mata Federal Bureau Intelligence (FBI) maupun Central Intelligence Agency (CIA). Sejak itu hackers China terus bergerilya membobol dan memata-matai internet yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan AS seperti Yahoo, Youtube, Windows Live, Mocrosoft Network, Blogger, Wikipedia, dan My Space.

Pernyataan Wang Chen ataupun Yao Jian menyiratkan adanya self-confidence yang kuat di pihak pemerintah China dalam perang maya melawan AS. Pertanyaannya, mengapa kepercayaan diri pemerintah China begitu kuat?
Pertama, penguasa Negeri Tirai Bambu itu memandang ancaman Google mundur dari China hanyalah gertak sambal. Menurutnya, Google tak akan serius merealisasikan ancamannya tadi karena tak mau kehilangan pangsa pasar internet China yang notabene sebagai pangsa pasar internet terbesar di dunia. Pengguna internet di China sepanjang  2009 mencapai tak kurang dari 385 juta orang, naik hampir 30 persen dibanding tahun 2008.

Kedua, kalaupun Google sungguh-sungguh mundur dari China, hal itu dianggap bukan masalah. Justru bisa dianggap keberuntungan. Pasalnya, Google sejauh ini menjadi perusahaan internet terlaris di dunia. Hasil survei alexa.com akhir tahun 2009 menunjukkan, di antara 10 situs yang paling banyak diakses netter di seluruh dunia, sembilan berasal dari AS, yaitu Google, Yahoo, Facebook, Youtube, Windows Live, Microsoft Network, Blogger, Wikkipedia, dan My Space. Satu-satunya situs dari luar AS yang menembus 10 besar adalah Baidu. Situs pencari milik China ini menempati ranking ke-9.
Kutangi Pesaing Apabila Google benar-benar mundur dari China, hal itu bisa mengurangi jumlah pesaing Baidu untuk tampil menjadi situs paling laris di dalam negeri China khususnya dan dunia pada umumnya.

Ditinjau dari segi ekonomi, saham Baidu diperkirakan bisa meningkat tajam sehingga bisa kian memicu akselerasi pertumbuhan ekonomi China yang sejak dasawarsa 1980-an sudah menakjubkan (rata-rata mencapai angka dua digit per tahun). Lalu, dipandang dari aspek politik, penguasa di Beijing akan dapat lebih mudah mengontrol aktivitas gerakan-gerakan politik yang mengkritisi pemerintah. Dilihat dari segi sosial budaya, China memiliki kesempatan lebih luas dan leluasa untuk mengekspor nilai-nilai kulturalnya ke segenap penjuru dunia.

Kebijakan tegas dan penuh percaya diri pemerintah China terhadap Google khususnya dan situs-situs mesin pencari umumnya dapat dipandang sebagai salah satu langkah China  mengimbangi AS sebagai negara superpower di segala bidang pada tahun 2080. Ini selaras dengan roadmap yang dicanangkan penguasa di Beijing tahun 2005 yang menegaskan bahwa untuk menyaingi (mengalahkan) AS di semua bidang kehidupan tahun 2080 diperlukan rencana strategi dan aksi jelas, tegas, dan konsisten untuk memajukan teknologi di segenap bidang, termasuk teknologi informasi-komunikasi.

Tampaknya pemerintah China sangat sadar, pada era masyarakat informasi sekarang ini, jaringan internet menjadi instrumen terpenting untuk menguasai dunia. Masyarakat informasi merupakan jaringan masyarakat global di seluruh dunia yang terintegrasi dalam sebuah sistem yang digerakkan oleh jejaring internet.

Meski dipisahkan oleh garis-garis batas teritorial negara-bangsa, mereka terhubung satu sama lain untuk bertukar informasi dan bertransaksi dalam waktu singkat (Manuel Castells, The Rise of the Network Society, 1996). Karenanya, penguasa di Beijing kelihatan cermat memperhitungkan perangnya melawan AS di dunia maya terutama terkait kasus Google sekarang ini.

Kiranya, sangat tepat jika pemerintah Indonesia menyimak serius perang maya AS-China tersebut, sekaligus mau mengambil pelajaran berharga dari perang maya itu. Menurut hemat saya, pelajaran paling berharga yang bisa dipetik pemerintah bersama masyarakat kita adalah ketegasan (bukan keraguan), kejelasan, konsistensi, dan kepercayaan diri yang kuat pemerintah China dalam memperjuangkan misinya menyaingi kesuperpoweran AS tahun 2080.

Pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia perlu serius belajar bersikap tegas, jelas, konsisten, dan penuh percaya diri untuk membangun (memajukan) negara-bangsa ke depan. (10)

— Chusnan Maghribi, alumnus Jurusan Hubungan Internasional Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 
Wacana Suara Merdeka 28 Januari 2010