Fase 100 hari pertama kinerja pemerintahan SBY-Boediono berakhir pada 28 Januari ini. Meski tak ada kewajiban konstitusional untuk melaporkan pertanggungjawaban fase ini, SBY-Boediono terikat tradisi untuk mematut diri dengan mengevaluasi performa pemerintahannya kepada publik.
Inilah episode krusial bagi nakhoda Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II dalam hubungannya dengan pemberi mandat kekuasaan, yakni rakyat Indonesia. Rentang 100 hari adalah penanda bagi pilihan mana yang lebih dominan dalam pergulatan antara kesungguhan atau kelalaian, akselerasi atau stagnasi, kemajuan atau kemunduran.
Inilah situasi yang oleh Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam tulisannya di buku Relating Dialogues and Dialectics (1996) digambarkan dapat menghadirkan dialektika relasional. Situasi ini dicirikan oleh ketegangan-ketegangan yang berkelanjutan antara impuls-impuls yang kontradiktif. Berbagai isu bergulir dan menjadi dinamika sekaligus indikator untuk mengukur performa pemerintahan.
Iritasi Politik
Laju sebuah pemerintahan baru memang belum pas jika kita nilai dengan pendekatan dualistik (dualistic approach) antara gagal atau sukses, antara dilanjutkan atau diberhentikan. Banyak sudut pandang yang saling menandingi satu sama lain dalam setiap kontradiksi di antara kutub-kutub tersebut. Namun, dalam perspektif komunikasi politik, kita bisa menilai impresi dari proses yang berlangsung.
Dalam konteks inilah tampak jelas di mata publik bahwa 100 hari pemerintah SBY-Boediono nyaris tanpa impresi sama sekali. Impresi menjadi sangat penting dalam perjalanan awal sebuah pemerintahan karena hal ini akan menumbuhkan harapan, dukungan, sekaligus keterjagaan legitimasi yang telah dikantongi saat Pemilu 2009. Impresi memiliki kontribusi besar bagi bangunan persepsi khalayak atas orientasi pemerintahan SBY-Boediono di kemudian hari.
Lantas mengapa banyak pihak tak merasakan impresi meyakinkan dari performa 100 hari pemerintahan SBY-Boediono? Paling tidak kita bisa menemukan tiga alasan utama dalam konteks ini. Pertama, bingkai 100 hari yang dikemas dalam kinerja sejumlah kementerian telah gagal memalingkan perhatian khalayak. Meskipun pemerintah mengklaim program kerja 100 hari telah terpenuhi dengan sukses, kenyataannya program-program 100 hari tersebut telah tertutupi oleh hiruk-pikuk pemberitaan di ranah hukum dan politik.
Sejumlah isu seperti skandal kasus Century, misteri kasus Antasari Azhar, kriminalisasi Bibit-Chandra, penanganan Anggodo sangat lekat dalam perhatian publik. Hal ini sekaligus menempatkan program 100 hari pemerintahan hanya sebatas di wilayah pinggiran. Publik sulit menemukan program apa yang menonjol dari pemerintah sehingga menjadi kebanggaan atas performa kinerja SBY-Boediono.
Kedua, munculnya gejala disonansi kognitif yang kian menguat di tengah masyarakat. Publik semula mengharapkan SBY mampu menjadi pemimpin yang kuat dan transformasional. Namun, dalam praktiknya, berbagai kebijakan politik yang diambil SBY banyak yang tidak sesuai dengan harapan-harapan publik. Misalnya saat SBY menyusun kabinet, publik kecewa karena mereka yang dipilih sebagai pembantu presiden lebih mencerminkan dominannya politik transaksional dibandingkan pembentukan zaken kabinet.
Inkonsistensi logis pun terjadi di sejumlah isu lain. Misalnya, ketidaktegasan SBY terhadap pencatutan namanya oleh Anggodo dalam rekaman yang diungkap MK, pernyataan kontroversial soal kriminalisasi kebijakan, penetapan beberapa wakil menteri yang mengundang pertanyaan, serta sejumlah masalah lain.
Menurut Leon Festinger dalam Cognitive Dissonance Theory, disonansi kognitif dipahami sebagai ketidakcocokan hubungan antarelemen kognisi. Kondisi tidak nyaman yang dirasakan masyarakat ini pun merangsang berbagai elemen masyarakat untuk mengkritisi pemerintah dengan harapan munculnya hubungan konsonan.
Sayangnya, hal ini pun kerap dicurigai atau disikapi secara protektif oleh pemerintah sehingga mengesankan pemerintah mengalami fobia terhadap berbagai ekspresi kekecewaan publik tersebut. Hal ini tergambar misalnya dari kecurigaan SBY terhadap berbagai demonstrasi yang mulai merebak di Tanah Air.
Ketiga, manuver sumir yang dilakukan SBY di pengujung fase 100 hari kian menunjukkan langkah pemerintah yang tidak elegan.
SBY-Boediono telah mengadakan pertemuan dengan tujuh pimpinan lembaga tinggi negara, yakni MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY, Kamis (21/1/2010). Pertemuan tersebut membawa pesan kuat bahwa pemakzulan (impeachment) bukanlah sesuatu yang relevan bagi eksistensi SBY-Boediono. Langkah ini tidak elegan dalam konteks keterjagaan independensi lembaga tinggi negara di mata rakyat. Bagaimanapun institusi seperti MK dan MA misalnya tidaklah tepat berada dalam forum yang sangat politis seperti itu.
SBY-Boediono seharusnya lebih percaya diri, terlebih pemerintahannya kini telah membangun koalisi besar di parlemen. Jika kita kembali ke UUD 1945 (hasil amendemen), di Pasal 7B secara jelas disebutkan bahwa pemakzulan presiden/wakil presiden harus didukung 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri 2/3 dari jumlah anggota DPR.
Dengan demikian, pemakzulan ini sangat kecil kemungkinan terjadi pada SBY-Boediono jika dia mampu mengonsolidasikan mitra koalisinya di DPR. Ketiga aktor tadi telah mengakibatkan iritasi politik pada fase awal pemerintahan SBY-Boediono. Tentu, iritasi ini bisa mengundang virus atau merangsang timbulnya penyakit yang lebih parah jika tak diatasi dengan tepat dan segera.
Performa Komunikatif
Fase 100 hari yang miskin impresi ini berpengaruh pada performa komunikatif SBY-Boediono. Hal ini terlihat dari menurunnya tingkat kepuasan masyarakat atas kepemimpinan SBY sejak terpilih Agustus lalu. Meminjam data hasil Survei Indo Barometer pada 8–18 Januari 2010, tingkat kepuasan masyarakat terhadap SBY turun 15%, yakni menjadi 75% dari hasil survei Agustus 2009 sebesar 90%.
Hal ini tentu saja semestinya menjadi peringatan dini (early warning) bagi eksistensi pemerintahan SBY-Boediono. Dalam konteks inilah perbincangan mengenai performa menjadi penting. Menurut Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo dalam tulisannya Communication and Organizational Cultures(1982), performa merupakan metafora yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan prilaku manusia dalam sebuah organisasi.
Dalam menjaga performa, tentu saja terkait dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan, yakni citra dan agenda kerja. Citra terkait dengan cara pandang masyarakat atas eksistensi pemerintahan SBY dengan segala macam atributnya, sementara agenda terkait dengan program kerja nyata saat ini dan ke depan. Secara lebih terperinci ada beberapa performa yang seyogianya diperhatikan oleh SBY-Boediono.
Pertama, performa ritual menyangkut semua hal yang dilakukan SBY-Boediono dan mesin birokrasi yang dikendalikannya secara rutin. Ritual personal, tugas, sosial maupun organisasional harus mengacu pada perubahan yang nyata dan memberi kesan kuat kepada publik. Kedua, performa sosial, yakni menyangkut kesantunan dalam mendorong kerja sama di antara pemerintah dengan masyarakat.
Rakyat tak mungkin mau bekerja sama dengan pemerintah jika selalu dituduh, dicurigai, atau dipaksa untuk masuk ke dalam pengendalian kekuasaan atas nama stabilitas. Ketiga, performa politis, yakni menyangkut cara mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Pemerintahan SBY kini telah diberi mandat kekuasaan hingga 2014.
Berbagai praktik mempertahankan kekuasaan haruslah mengacu pada cara-cara yang komunikatif. Konsolidasi birokrasi yang memadai, sosialisasi kebijakan publik yang cukup, serta upaya meminimalkan cara-cara represif dan mengutamakan cara-cara persuasif. Keempat, performa enkulturasi, yakni pemerintahan SBY-Boediono mampu memfasilitasi warga negara untuk tumbuh kian kuat dan berdaya serta semakin sadar akan hak-hak sipil politik mereka.(*)
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Opini Okezone 27 Januari 2010
27 Januari 2010
100 Hari Tanpa Impresi
Thank You!