Oleh Agus Suman
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya)
Rasa syukur sejatinya tidak boleh alpa kita lantunkan menyadari karunia Tuhan terhadap bumi Indonesia. Sumber daya alam yang berada di dalamnya sangat melimpah. Salah satunya yang terpendam dalam perut bumi pertiwi. Berbagai mineral logam terkandung di dalamnya, seperti timah, nikel, bijih-bijih bauksit, dan tembaga.
Hingga, kekayaan mineral logam yang melimpah tersebut telah memosisikan Indonesia sebagai salah satu dari 10 produsen terbesar di dunia untuk pertambangan emas, tembaga, nikel, dan timah (Arif, 2007).
Pemerintah menyadari bahwa berkah ini diharapkan nantinya bisa menyejahterakan seluruh rakyat. Maka, keran liberalisasi sektor pertambangan umum, termasuk di dalamnya pertambangan mineral logam, pun dibuka sejak lebih dari 30 tahun yang lampau. Kebijakan ini tentu berharap menjadi langkah pemerintah untuk mewujudkan mimpi kesejahteraan tersebut.
Sehingga, saat itu diterbitkanlah Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun 1967 bersama dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang sekarang diganti oleh Undang-Undang No 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal. Kedua, undang-undang ini menjadi fondasi untuk penambangan komoditas mineral skala besar.
Namun, asa kemakmuran yang ingin dipersembahkan kepada rakyat terasa kian jauh. Berbagai celah dari aturan tersebut justru menghadirkan kerugian, bahkan petaka bagi pemerintah serta masyarakat. Seperti pada produksi tambang mineral dan logam yang dari tahun ketahun terus tumbuh, tapi nahasnya berkah bagi rakyat tidak kunjung meningkat.
Salah satu yang bisa dijadikan fakta adalah produksi biji tembaga, yang bila di rata-rata dari tahun 1984 hingga data terakhir pada tahun lalu, tumbuh sebesar 11,18 persen. Dengan puncak produksi pada 1991, hingga pertumbuhannya mencapai 64,69 persen.
Kemudian, untuk produksi biji nikel dalam kurun waktu yang sama tercatat tumbuh sebesar 6,24 persen. Pertumbuhan produksi biji nikel tertinggi terjadi pada 1986, yakni mencapai 60,43 persen. Untuk pertumbuhan bauksit pun juga cukup merdu, rata-rata pertumbuhan produksi bauksit tercatat sebesar 5,74 persen. Pertumbuhan produksi bauksit tertinggi terjadi pada 1993, yakni mencapai 64,33 persen.
Selain itu, data rata-rata produksi biji timah dari tahun ke tahun juga terus membumbung, hingga tercatat angkanya cukup lumayan, yakni tercatat sebesar 6,03 persen. Puncak pertumbuhan produksi biji timah tersebut paling tinggi pada 2002, yakni mencapai 42,48 persen. Fakta yang lain dari bahan tambang biji besi pun cukup nyaring pertambahannya dari waktu ke waktu.
Dalam 20 tahun terakhir, tingkat pertumbuhannya tercatat sebesar 7,73 persen. Dan, produksi paling tinggi terjadi pada 2006 di mana berhasil memproduksi sebesar 188.219 metrik ton. Celakanya, peran sumber daya alam tersebut dalam struktur pendapatan negara terasa semakin minim. Memang kejayaan sektor pertambangan sebagai sumber utama pendapatan nasional telah sejak lama bergeser.
Bahkan pada era 1980, penerimaan negara sekitar 70 persen berasal dari dominasi sumber daya alam, khususnya minyak dan gas. Pada saat itu, sektor industri pengolahan (manufaktur) belum bergeliat seperti masa sekarang.
Undang-Undang Baru
Masalah masih sepinya kontribusi sektor pertambangan telah cukup lama diurai, hingga akhirnya lubang dalam undang-undang yang lama coba ditambal dengan undang-undang yang baru. Maka, diterbitkanlah UU Mineral dan Batubara No 4/2009. Kokohnya peran swasta/asing dalam industri pertambngan ditata lebih adil untuk kedua belah pihak.
Sebagai gambaran pada UU yang lama, betapa lemahnya peran pemerintah, serta semakin ciutnya hasil yang didapat dari sektor pertambangan. Tampak dari Kontrak Karya II PT Freeport Indonesia di mana pemerintah hanya menerima royalti dari tembaga sebesar 3 persen.
Kemudian, di dalam Kontrak Karya PT International Nickel Indonesia (Inco) Tbk, royalti untuk pemerintah malah dihitung tetap (fix) sebesar 7 dolar AS per pon dari nikel yang diproduksi. Sementara, harga nikel di pasaran terus mengalami kenaikan.
Kontrak Karya (KK) inilah yang coba direvisi pada UU No 4/2009 diubah menjadi sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP). Sayang, ranjau dalam pelaksanaan undang-undang tersebut masih menghadang. Terutama, implementasi dari undang-undang tersebut. Setidaknya, pemerintah harus segera membidani peraturan pemerintah (PP), yakni menyangkut kegiatan usaha mineral, batu bara, panas bumi, wilayah pertambangan, pembinaan dan pengawasan pertambangan, serta reklamasi dan pascatambang.
Selain itu, persoalan tumpang-tindih lahan tambang dengan hak penguasaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), perkebunan, dan hutan konservasi juga menjadi ranjau yang lain bagi pelaksanaan UU No 4/2009 .
Harapannya, tentu semoga sektor pertambangan ke depan mempunyai andil yang besar terhadap pembiayaan pembangunan karena memang menggunakan berkah dari Tuhan secara bertanggung jawab serta memberi manfaat bagi banyak orang merupakan wujud syukur yang sesungguhnya. Dan, berbagai persoalan tambang lambat laun bisa diselesaikan dengan baik .
Opini Republika 27 Januari 2010
27 Januari 2010
Ranjau-Ranjau Sektor Pertambangan
Thank You!