SEBENARNYA Presiden SBY tidak perlu takut akan dimakzulkan atau dimosi tak percaya oleh DPR. Bukan hanya jalan menuju pemakzulan penuh lubang dan berliku, tapi di negeri yang tidak sehat ini selalu ada peluang memukul balik para lawan politik.
Tingkah laku sebagian anggota DPR yang bersikukuh merahasiakan kekayaan dengan tidak peduli imbauan KPK untuk segera menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) juga tidak kalah seramnya dengan tuduhan anggota DPR kepada SBY dan menterinya yang tertuduh sebagai "otak" dalam skandal Bank Century.
Maling Teriak Maling
Konon dari 550 anggota DPR, baru 229 orang yang patuh menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Padahal, tenggat penyerahan pada 1 Desember (Jawa Pos, 25/1). Kondisi ini sedikit lebih baik ketimbang anggota DPR periode 2004-2009 yang mayoritas merahasiakan kekayaan mencapai 77,09 persen. Toh, angka-angka tersebut menggambarkan betapa masih jauhnya sosok wakil rakyat yang antikorupsi di negeri ini.
Ironinya, gaya wakil rakyat yang tergabung dalam Pansus Hak Angket Bank Century kepada para menteri dan saksi lain yang dipanggil sungguh luar biasa: bak pahlawan antikorupsi melawan koruptor kelas kakap. Kata-kata dan cecaran pertanyaan kepada para saksi yang ditengarai terlibat sangat pedas dan memojokkan. Seakan-akan para saksi telah terbukti dengan sengaja menyelewengkan uang rakyat.
Membandingkan wakil rakyat dengan para menteri seperti jauh panggang dari api. Bukan saja secara kualitas para menteri pemerintah SBY lebih baik. Juga dalam hal kepatuhan menteri dalam melaporkan kekayaan ke KPK pun jauh lebih tinggi dibanding anggota DPR. Menurut data KPK, seluruh menteri di KIB II sudah 100 persen melaporkan kekayaannya, sebuah sikap yang belum pernah terjadi pada wakil rakyat sejak zaman Orba sampai sekarang.
Ini sama dengan pepatah maling berteriak maling. Di media pun kita mendengar tim pansus garang sekali "melempari" eksekutif dan pembantunya dengan tuduhan skandal penggerogotan uang negara atas nama stabilisasi krisis ekonomi. Namun, pada saat bersamaan, sesungguhnya budaya korupsi wakil rakyat lebih parah.
Budaya merahasiakan kekayaan bagi para pejabat negara terjadi sejak masa Orde Baru. Dasar hukumnya pun sudah ada. Yaitu, Keputusan Presiden (Keppres) No 52 Tahun 1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara dan Keppres No 52/1971 tentang Laporan Pejabat Negara mengenai Kewajiban Membayar Pajak Pribadi. Bedanya, laporan kekayaan itu disimpan oleh atasan yang bersangkutan. Masuk laci dan sama sekali tak bisa diakses oleh publik.
Lalu pada era reformasi lahirlah Tap MPR No XI/MPR/1998, Tap MPR No IV/MPR/ 1999, dan UU No 28/1999. Secara tegas diperintahkan perlunya dibersihkan penyelenggara negara dari praktik KKN dan memeriksa kekayaan penyelenggara sebelum dan setelah menjabat. Itulah perintah MPR yang dalam UUD 1945 dan perubahannya tidak lagi ditempatkan sebagai lembaga tertinggi negara dan bukan lagi sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Memang sudah ada korban gara-gara konstitusi itu. Paling tidak, sudah banyak pejabat negara yang terbukti korupsi menginap di bilik terali besi. Tapi, khusus kasus yang berkaitan dengan transparansi kekayaan belum pernah memakan korban. Sampai sekarang, pejabat negara aman-aman saja kalau terlambat atau tidak melaporkan kekayaannya secara utuh. Konstitusi itu hanya garang di kertas, tidak pada praktik.
Kewajiban melaporkan kekayaan bagi penyelenggara negara itu bukan hanya khas Indonesia. Di Amerika Serikat, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif wajib melaporkan kekayaannya kepada United States Office of Government Ethics (OGE).
Berbahaya
Tentu sangat berbahaya membiarkan kelakuan wakil rakyat yang tidak pernah berubah sepanjang periode. Ini bukan hanya sebagai gambaran rendahnya moral dan etika para wakil rakyat. Dari segi kepatutan, sesungguhnya wakil rakyat tidak patut memeriksa, mengawasi, terlebih menuduh eksekutif terlibat tindak korupsi, seperti yang dilakukan tim Pansus Hak Angket Century. Bagaimana mungkin, lembaga bermasalah memeriksa lembaga yang juga bermasalah?
Roberto Mangabeira Unger, dalam buku Law In Modern Society, Toward A Criticism of Social Theory, bertutur tentang autonomous law atau hukum yang otonom. Hukum otonom maksudnya hukum itu berlaku tanpa pandang bulu, baik bagi pihak yang mengeluarkan hukum maupun bagi pihak yang berlaku melaksanakan hukum itu. Unger hendak menjelaskan, baik DPR maupun MPR yang memproduksi banyak ketetapan MPR dan undang-undang (UU) harus lebih dulu tunduk dan wajib mengikuti perintah UU atau Tap MPR itu.
Jauh sebelum itu Nabi Muhammad SAW pun pernah mengatakan akan memotong tangan anaknya, Fatimah, kalau terbukti mencuri. Beliau tidak pandang bulu menetapkan hukum.
Gambaran itu tentu juga bisa diberlakukan bagi anggota MPR/DPR sebagai individu maupun lembaga. Lantas dengan contoh itu, apakah wakil rakyat yang telah secara jelas-jelas melecehkan aturan yang dibuatnya sendiri masih punya otoritas moral untuk meneriakkan pemberantasan KKN, menyelidiki keterlibatan eksekutif, sementara mereka pun sesungguhnya bermasalah. Sebagai law maker (pembuat hukum), DPR pun kayaknya perlu mendapat mosi tidak percaya. (*)
*). Arfanda Siregar, dosen Politeknik Negeri Medan
Opini Jawa Pos 27 Januari 2010
27 Januari 2010
Mosi Tak Percaya bagi Dewan
Thank You!