27 Januari 2010

» Home » Kompas » Bocah-bocah Nakal

Bocah-bocah Nakal

Jika ada yang bertanya mengenai salah satu gejala dominan dalam 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, saya akan menjawab: ”Meningkatnya fenomena politik bocah-bocah nakal.”
Ini salah satu ilustrasinya. Ketika melintas di antara sekelompok mahasiswa dan aktivis yang sedang berkumpul, hati penulis kecut. Mereka berteriak-teriak, ”Nasution ketuk palu, Soekarno jatuh. Harmoko ketuk palu, Soeharto jatuh. Amien Rais ketuk palu, Gus Dur jatuh, Taufiq Kiemas ketuk palu, siapa jatuh?”
Bagi penulis, mereka itu adalah bocah- bocah nakal. Pak Harto dulu menyebutnya setan gundul. Sejatinya, sebagian besar dari mereka hatinya diteguhkan oleh idealisme kebangsaan. Jika ditegur, apalagi dimarahi, mereka malah senang dan akan melakukan manuver lebih berani lagi. Demikian juga jika kita kelihatan takut dan panik, mereka akan tertawa-tawa.

 

Praktik politik semacam itu, saat ini bukan hanya menyebar di ranah mahasiswa dan aktivis, tetapi juga merembes ke kalangan politisi. Dramaturgi dalam Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang Hak Angket Bank Century dan pembentukan Kabinet Indonesia Muda (Budiman Sudjatmiko sebagai presiden dan Poempida sebagai wakil presiden), misalnya, adalah bagian integral dari praktik politik bocah nakal tersebut.
Belenggu internal
Menguatnya fenomena politik bocah- bocah bandel tersebut tak terlepas dari perilaku pemerintah sendiri. Bibitnya ditanam sejak awal, yaitu ketika Presiden, karena masukan yang kurang akurat, melakukan kesalahan dalam memberikan pernyataan politik. Misalnya, pada kasus foto lama Presiden yang dijadikan sasaran tembak teroris ataupun tudingan makar pada demonstrasi peringatan Hari Antikorupsi Sedunia waktu itu.
Kesalahan sepele tersebut, dalam komunikasi politik, adalah fatal. Ia bukan saja memerosotkan kewibawaan presiden, tetapi juga melebarkan kekecewaan publik. Serangkaian peristiwa politik yang tidak jelas, jika tidak boleh disebut absurd, seperti program 100 hari pemerintah yang tidak fokus, kasus cicak-buaya, dan masalah bail out Bank Century, memperdalam kekecewaan itu.
Dengan demikian, sulit untuk tidak mengatakan bahwa dalam 100 hari ini, Presiden ternyata masih dibelenggu oleh kendala internal. Sejauh ini, Presiden belum keluar dari kerangkeng rasa amannya. Kasus Bank Century tidak akan meledak seperti sekarang jika Presiden, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, berani mengambil alih tanggung jawab sejak semula. Jika langkah itu diambil, bisa dipastikan masalah tersebut akan selesai begitu saja dan tidak menimbulkan guncangan politik seperti sekarang.
Kelemahan tersebut, juga keterlambatan ketika merespons upaya kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pernyataan-pernyataan juru bicara yang mengatakan bahwa Presiden tidak tahu-menahu mengenai rencana pembelian mobil dinas menteri, dan lain-lain, meneguhkan citra bahwa sejatinya Presiden masih terlalu hati-hati dan belum berhasil melakukan resume power. Sementara itu, Wakil Presiden Boediono belum bisa menggantikan peran M Jusuf Kalla yang selalu berhasil meredam para oposan melalui adu argumentasi.
Seperti sebuah kapal tanpa jangkar, situasi yang tidak pasti tersebut membuat para politisi, termasuk partai politik mitra koalisi, mulai memainkan peran bocah- bocah nakal. Mereka berada dalam medan magnet yang sama dengan mahasiswa dan aktivis. Bedanya, para politisi mungkin diberati oleh agenda menaikkan daya tawar politik mereka terhadap kekuasaan, sedangkan mahasiswa dan aktivis murni memainkan peran sebagai anak bandel yang peduli pada nasib rakyat. Jika pemerintah tidak hati-hati menghadapi mereka, segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Dalam konstruksi politik di mana presiden masih terbelenggu kendala internal seperti itu, hampir bisa dipastikan program 100 hari pemerintah tidak bisa berjalan dengan baik. Jika ada klaim bahwa program 100 hari pemerintah sukses, sebenarnya tidak realistis. Terkecuali jika program itu, seperti dicatat oleh kajian Econit (2010), adalah sekadar identifikasi masalah, tanggapan birokratik, dan kelanjutan kegiatan rutin dari periode sebelumnya.
Pendeknya, jika saya ditanya mengenai nilai 100 hari pemerintahan Yudhoyono, maka jawabnya adalah 5,5 (D plus). Itu lulus, tetapi pas-pasan sehingga perlu kerja keras untuk memperbaiki kinerjanya di masa depan. Akan tetapi, jika saya tidak jujur dan ingin mengejek pemerintah, maka nilainya adalah 10 (A plus). Memuji presiden secara berlebihan, dalam perspektif budaya politik, bisa ditafsirkan sebagai upaya mengejek, tetapi dengan cara halus (tampaknya memangku, tetapi sebenarnya sedang membunuh).
"Resume power"
Melihat situasi politik yang memanas saat ini, tidak ada pilihan lain bagi Presiden kecuali segera melakukan resume power. Kekuasaan harus dipusatkan pada dirinya. Kesan publik bahwa sampai saat ini masih ada dinding yang membatasi antara Presiden dan Wakil Presiden harus segera dirobohkan. Koordinasi para menteri juga harus semakin solid sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan di antara mereka. Selain itu, penguatan hubungan dengan partai politik mitra koalisi perlu tetap dijaga konsistensinya.
Tanpa semua langkah itu, Presiden akan semakin merana karena diganggu oleh bocah-bocah bandel tersebut. Selebihnya, biarlah sejarah yang mencatat dan menuntun kita untuk bergumam Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur).
SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
Opini Kompas 28 Januari 2010