Dalam cerita pendek berjudul In a Grove (Di dalam Belukar), Akutugawa mengisahkan suatu ”kebenaran” yang dipaparkan oleh berbagai saksi di dalam memandang suatu kasus matinya sesosok lelaki. Kesaksian penebang kayu di hadapan penyidik berbeda dengan yang dipaparkan pendeta pengembara.
Kesaksian seorang bekas penjahat, nyatanya berbeda juga dengan yang dipaparkan sang perempuan tua. Pengakuan Tajomaru pun berbeda dengan paparan pengakuan dosa seorang perempuan yang datang ke Kuil Kiyomizu. Akhirnya, semua kesaksian itu berbeda dengan kisah roh lelaki yang mati itu melalui mulut Biksuni Kuil Shinto.
Pembaca yang jeli pun perlu berkernyit dahi untuk berpihak pada versi testimoni mana yang paling benar. Apakah kisah roh itu yang paling otentik? Apakah roh itu benar-benar bebas kepentingan? Kalaupun satu testimoni dengan yang lain dirangkai, maka apakah konstruksi cerita barunya yang paling benar?
Satu peristiwa dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Testimoni-testimoni dalam kisah Akutugawa tersebut ada yang saling menyokong, tetapi ada yang saling menegasikan, sebagaimana pula hal itu terjadi pada testimoni-testimoni para saksi kasus Century di hadapan panitia angket.
Merangkai susunan testimoni-testimoni ”mozaik kebenaran” tersebut agak susah, mengingat perspektif masing-masing yang dimintai keterangan berbeda-beda, di mana publik susah membedakan mana ”kebenaran” dan mana pula yang ”pembenaran”. Pada akhirnya, kelak, ”kebenaran politik”-lah yang akan mengakhiri proses politik di DPR tersebut.
Hal ini bisa dipahami, mengingat testimoni-testimoni di DPR itu merupakan bagian dari proses politik, yang tentu saja tak dapat dilepaskan sepenuhnya dari subyektivitas politik antarkekuatan (kepentingan) yang ada. Arena ”pengadilan politik” DPR itu tak lepas dari perspektif ”pertunjukan politik”, yang karena terbuka untuk publik, maka berkembanglah banyak versi opini dan penilaian.
”Kebenaran politik”, bukan tanpa risiko, apalagi manakala berjumpa dengan ”rasa keadilan dalam masyarakat”. Masyarakat berharap bahwa ”kebenaran politik” itu tidak terlalu jauh bedanya dengan ”kebenaran yang sejati” (bener kang sejati, yang sebenarnya alias substansial), satu dari berbagai versi kebenaran: kebenaran versi diri sendiri (benere dewe, versi testimoni), kebenaran orang banyak (kebenaran demokratis alias benere wong akeh), dan kebenaran hukum formal (kebenaran yang dibatasi oleh pasal-pasal di dalam perundang-undangan yang kerap mengabaikan konteks sosiologis). Bukankah demikian?
Proses politik diharapkan tidak mengingkari proses hukum, mengingat negara kita adalah negara hukum. Inilah prinsip kunci dari dinamika proses politik yang hiruk pikuk di DPR. Tentu saja semua berharap ujung dari proses politik Century di DPR tidak berlanjut menjadi suatu krisis politik yang tak terkontrol (out of control).
Dalam kisah Akutugawa, karena susahnya mencari titik temu kebenaran dari berbagai versi testimoni, hakim terpaksa mencari versi kebenaran lain, langsung dari roh lelaki yang mati. Barangkali roh orang mati dapat berkata lebih jujur dari saksi-saksi yang masih hidup. Persoalannya, apakah kesaksian roh orang mati dapat dipegang sebagai suatu ”kebenaran”?
Salah satu pesan sederhana tetapi mendasar dari kisah Akutugawa itu adalah betapa mahal harga kejujuran, dan betapa ia harus terus dicari walaupun dari roh orang mati. Ini merupakan suatu kritik sosial yang sangat serius: apakah sudah tak ada lagi kejujuran di tengah-tengah orang yang masih hidup? Lebih detail lagi, apakah sudah tak ada lagi kejujuran di tengah-tengah orang-orang politik?
Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) suka membawa tema yang mengaitkan antara politik dan kejujuran walaupun kejujuran dalam politik itu menyisakan pertanyaan serius: kejujuran versi siapa? Sayangnya, tidak ada pertanda yang nyata yang dapat dilihat orang, seperti kisah Pinnokio, yang semakin ia berbohong, maka hidungnya semakin panjang. Kejujuran semakin ”susah diukur”, tetapi barangkali masih bisa dirasakan oleh ”hati nurani kolektif”.