27 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Dampak Tes Masuk SD bagi PAUD

Dampak Tes Masuk SD bagi PAUD

PERBINCANGAN terhangat di kalangan tenaga pengajar  pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah mengenai kompetensi menghitung dalam proses pembelajaran.

Faktual, sampai saat ini, hampir semua pengelola PAUD sudah memberikan pelajaran berhitung kepada warga didiknya setara dengan mereka yang belajar di bangku sekolah dasar (SD).
Hal ini menjadi menarik, manakala mengikuti pendapat Wali Kota Yogyakarta Hery Zudiyanto.


Menurutnya, pendidikan dini seharusnya lebih mengutamakan pengembangan kecerdasan dan penanaman nilai-nilai budi pekerti. Dengan nalar seperti ini, ia kurang sepakat jika anak PAUD sudah diajarkan ilmu utang (KR, 30/12).

Persoalan ini tidak sederhana dipecahkan. Tenaga pendidik PAUD menghadapi dua persoalan sekaligus yang saling berkelindan. Pertama, wali murid menuntut agar anak mereka setelah selesai mengikuti pembelajaran di PAUD sudah memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung).

Kedua, para pelaksana pendidikan pada jenjang sekolah dasar melakukan seleksi dengan mengadakan tes bagi anak-anak yang hendak mengikuti pendidikan dasar ini.

Tuntutan orang tua merupakan akibat langsung dari kebijakan beberapa SD (biasanya sekolah-sekolah yang diberi label favorit) yang menerapkan sistem seleksi dalam penerimaan siswa barunya.

Sementara itu, penyelenggara pendidikan SD harus melakukan kebijakan ini dengan kepentingan untuk mempertahankan predikat favoritnya. Input siswa baru yang sudah menguasai calistung, tentu saja menjadi pilihan satu-satunya.

Situasi simalakama yang dihadapi tenaga pendidik PAUD akan berakibat fatal. Anak menjadi korban dari tiga elemen sekaligus, penyelenggara PAUD, penyelenggara SD, dan orang tua mereka sendiri. Fenomena ini tentu saja akan mengarahkan tindak kekerasan terhadap anak, terutama dari sisi psikis dan sosial.

Dari sisi psikis, anak bisa kehilangan masa kanak-kanaknya, keceriaan, dan kestabilan mentalnya, karena hampir seluruh waktunya diperas untuk memahami dasar-dasar calistung.

Secara sosial, anak-anak tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk bermain, sebagai salah satu tools dalam proses bersosialisasi dan belajar mengenai solidaritas sosial.

Untuk membebaskan anak dari tekanan psikis dan sosial seperti ini, harus dilakukan perubahan kebijakan secara mendasar. Pada kalangan penyelenggara pendidikan di jenjang SD, harus menghapuskan kebijakan seleksi dalam menerima murid baru.

Mereka harus mengingat kembali fungsi utama dari penyelenggaraan SD, sebagai pendidikan jenjang formal paling dasar bagi anak-anak.

Penerimaanmurid baru pada jenjang SD dengan demikian harus berdasarkan pada daftar urut sesuai dengan kapasitas masing-masing. Misalnya, jika dalam tahun ajaran 2010-2011 mendatang, SD tertentu memiliki daya tampung untuk 120 murid, maka penerimaan dilakukan berdasarkan urutan mereka yang mendaftar.
Perubahan Metode Kebijakan seperti ini juga akan menghindarkan anak-anak dari rasa kecewa karena gagal mengikuti seleksi. Proses belajar pada SD yang lain, secara psikologis bisa memengaruhi semangat mereka.

Selain itu, juga akan membuka peluang yang lebih luas bagi keluarga miskin yang tidak mampu membiayai anak-anak mereka mengikuti pendidikan pada lembaga PAUD.

Kebijakan penghapusan seleksi pada jenjang pendidikan SD, akhirnya akan membawa perubahan metode pembelajaran pada lembaga PAUD.

Mereka tidak harus tertekan okeh ambisi orang tua yang menghendaki anak-anak mereka menguasai calistung, agar bisa bersaing masuk ke SD dengan label favorit.

Para tenaga pendidik PAUD mampu mengembangkan prinsip pendidikan anak usia dini, bermain sambil belajar dengan mengutamakan penanaman nilai-nilai budi pekerti dan bersosialisasi untuk menumbuhkan solidaritas sosial sejak awal.

Dalam mengenalkan huruf dan angka kepada warga didik PAUD, sebatas mengenalkan tanda-tanda atau simbol angka dan huruf.

Ketika kita semua menyadari pendidikan seharusnya diberikan sesuai dengan perkembangan anak, sudah seharusnya kita semua menanggalkan ambisi personal ataupun kelembagaan yang selama sadar atau tidak sadar telah dilanggengkan.

Akhirnya, mencintai anak, mencerdaskan anak, haruslah selalu dihindarkan dari praktik kekerasan psikis, sosial, dan fisik. (10)

— Mukhotib MD, pengelola PAUD Pandan Wangi, Sandon, Secang, Magelang
Wacana Suara Merdeka 28 Januari 2010