27 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Romantisme Sokaraja Mbigar

Romantisme Sokaraja Mbigar

AKHIR Desember hingga awal Januari lalu, selama sepekan, sebuah event budaya digelar di Sokaraja, wilayah di Kabupaten Banyumas yang terkenal dengan sroto (soto) dan getuk gorengnya. Berbagai pertunjukan kesenian ditampilkan seperti pameran lukisan, instalasi, batik, teater, musik, dan film.

Kegiatan tersebut dibuka dengan orasi budaya oleh budayawan Banyumas Ahmad Tohari dengan tajuk ‘’Sokaraja punya!’’. Dalam orasinya, penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk tersebut menyebutkan bahwa pada awalnya Sokaraja merupakan pusat kesenian di Banyumas terutama seni lukis yang terkenal hingga luar negeri. Selain itu, juga punya batik bercorak berbeda dari batik pada umumnya.


Pameran lukisan, instalasi, dan batik diikuti oleh 15 perupa dari Sokaraja, Purwokerto, Purbalingga, dan Yogyakarta yang juga menampilkan beberapa karya lama maestro perupa Sokaraja. Pertunjukkan teater menampilkan kelompok teater kampus seperti Teksas, Asal ,dan Corak dari Unsoed, teater Perisai dari UMP, UKMS, dari Unwiku, dan teater Parkir Indokom, serta teater Tanam Indonesia dari Pemalang.

Pemutaran film menampilkan karya-karya film indie dari Jaringan Kerja Film Banyumas (JFKB). Sedangkan pertunjukkan musik menampilkan perpaduan musik jalanan dari Song Strugle, underground dari Soul Saver,  dan a musik puisi dari Kamu Ajo.

Selain itu juga mengadakan diskusi seni rupa yang menampilkan kurator seni rupa Kus Indarto, perupa Hadi Wijaya dan Drs Kamto, serta Dimas dari France Central Culture Jakarta.  Adapun diskusi teater menampilkan Dosen Drama Turgi STAIN Purwokerto Arif Hidayat dan pegiat teater Rengganis.

Awalnya, para perupa Sokaraja membuat lukisan hanya sebagai hadiah kepada para meneer Belanda terutama mereka para pemilik pabrik gula Kalibagor, yang masih berdiri pada waktu itu. Tak heran jika lukisan Sokaraja sudah banyak yang tergantung di museum-museum Eropa, terutama di Belanda.

Setelah pabrik gula Kalibagor ditutup, lukisan Sokaraja terus berkembang pesat. Pada era 70-80an, Sokaraja menjelma menjadi sebuah pasar seni rupa yang terkenal hingga ke mancanegara.

Sepanjang ruas jalan Sokaraja banyak dijumpai lukisan yang berjajar sehingga pada waktu itu Sokaraja dinobatkan sebagai galeri lukisan terpanjang se-Asia Tenggara.

Secara keseluruhan lukisan yang dibuat oleh perupa Sokaraja memiliki kesamaan corak yang khas yaitu berupa pemandangan alam.

Lukisannya selalu menampilkan panorama alam seperti sawah, pegunungan, hutan, serta laut. Lukisan khas Sokaraja lebih dikenal dengan sebutan moii indie yang dalam bahasa Belanda berarti keindahan alam.
Bertahan Dalam kata lain, sejenis lukisan yang enak dipandang lebih pada sisi natural atau realis. Corak lukisan ini kemudian dibawa oleh para perupa di Jalan Braga Bandung dan bertahan hingga sekarang.

Tetapi hampir dua dasawarsa ini, lukisan tersebut seolah lenyap ditelan zaman seiring berkembangnya Sokaraja menjadi daerah perdagangan yang cukup ramai yang merupakan daerah satelit dari Purwokerto selaku ibu kota kabupaten.

Tercatat hanya dua buah galeri kecil di sepanjang jalan Sokaraja yang masih menampilkan lukisan-lukisan moii indie tersebut.

Lantas mengapa mbigar? Dalam bahasa jawa banyumasan mbigar bermakna liar, trengginas, gelisah, berahi, bergairah, dan sejenisnya.

Mengambil dari filosofi itulah para seniman muda Sokaraja mengadakan sebuah kegiatan sebagai wadah yang menampung luapan kegelisahan eksperimentalis dan kegairahan kreativitas mereka yang liar.

Sokaraja mbigar terasa berbeda dari event budaya yang sering diadakan di Banyumas pada umumnya. Dalam event ini menampilkan fusion antara berbagai macam seni kreatif dari berbagai genre.

Seperti misal memadukan antara seni rupa dengan musik underground atau teater modern dengan musik gamelan sehingga menghasilkan aroma yang mbigar.

Sokaraja mbigar merupakan serentetan gerakan kultural untuk berbagi kegembiraan dan kesenangan meski gerakan kultural masyarakat yang saat ini terus melemah dan menipis.

Selain itu, kegiatan tersebut merupakan sebuah tali silaturahmi antarseniman, baik di wilayah Banyumas maupun di luar wilayah Banyumas, dan mereka salng berdialektika bersama dalam ranah diskusi seni.

Selain sebagai menjadi titik balik atas romantisme sejarah Sokaraja sebagai pasar seni seperti era 70-80-an, Sokaraja mbigar juga sebagai bentuk semangat baru serta kegelisahan para seniman muda dalam menghadapi ingar- bingar kehidupan masyarakat.

Ke depannya, seperti Festival Kebudayaan Yogyakarta atau Festival Kesenian Cak Durasim di Jawa Timur, Sokaraja mbigar akan menjadi salah satu cultural development barometer di Banyumas sebagai sebuah eksistensi budaya yang dinamis yang akan mengembalikan kejayaan Sokaraja sebagai pasar seni yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Nantinya daerah ini tidak hanya terkenal dengan sroto dan getuk gorengnya, tetapi juga merupakan salah satu pusat kesenian di Banyumas pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. (10)

— Ryan Rachman, penyair, bergiat di Sanggar Sastra Wedang Kendhi Purwokerto
Wacana Suara Merdeka 28 Januari 2010