27 Januari 2010

» Home » Republika » Menatap Zero Narkoba 2015

Menatap Zero Narkoba 2015

Oleh Martua Raja Taripar Laut Silitonga
(Mahasiswa PTIK, anggota polisi)

Lima tahun ke depan, Indonesia diharapkan dapat terbebas dari narkoba, baik yang berasal dari eksternal, yaitu negara lain, maupun internal atau produksi dalam negeri.

Sesuai dengan program zero narkoba pada 2015 itu, berbagai upaya pun dilakukan Polri. Seperti diketahui, berdasarkan letak geografis yang terdiri atas kepulauan, Indonesia memang menjadi pangsa tersendiri bagi para pemasok narkoba jaringan internasional. Meski selama beberapa tahun terakhir berbagai prestasi didapat Polri, yang secara gencar terus melakukan pengungkapan kasus penyalahgunaan, penyelundupan, maupun pemroduksian narkoba di dalam negeri. Namun, toh para pelaku bisnis narkoba seolah tak mau menyerah begitu saja.


Berbagai modus baru di Indonesia mereka coba lakukan. Mulai dari menyembunyikan di sejumlah alat atau barang bawaan hingga menelan narkoba seperti ekstasi ke dalam tubuh telah dilakukan untuk mengecoh petugas dan kecanggihan alat kita di sejumlah pintu masuk seperti bandara dan pelabuhan. Tak hanya itu, jaringan internasional bahkan melakukan perubahan modus pengiriman melalui kurir. Jika sebelumnya kurir banyak menggunakan black african, selama dua tahun terakhir tren itu mulai mengalami pergeseran ke warga negara Timur Tengah, seperti Iran.

Mereka menyadari bahwa selama ini warga negara Afrika yang notabenenya banyak berkulit hitam memang kerap menjadi target operasi dan mudah dikenali. Beruntung, petugas yang dibantu alat-alat modern mampu mendeteksi trik yang dilakukan jaringan internasional ini. Walhasil, selama dua tahun terakhir telah puluhan warga negara Timur Tengah yang secara fisik sulit dipercayai berperan dalam jasa antarnarkoba, berhasil ditangkap.

Kini, guna lebih memproteksi dan mewaspadai adanya perubahan modus lain dalam upaya penyelundupan narkoba ataupun bahan kimia pembuatnya, Polri melalui Direktorat IV Narkoba Bareskrim Mabes Polri pun melakukan kerja sama secara berkesinambungan melalui nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan sejumlah instansi, seperti Dirjen Bea dan Cukai Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Dirjen Imigrasi Depkum HAM, Dirjen Perhubungan Udara dan Laut, serta PT Angkasa Pura I dan II untuk pengawasan di titik pintu masuk Indonesia, baik melalui jalur darat, udara, maupun laut.

Fokus perhatiannya tidak hanya sebatas Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Bandara Internasional Hang Nadim, dan Bandara Internasional Ngurah Rai Bali, melainkan juga bandara lainnya, seperti Bandara Adi Sucipto Yogyakarta, Bandara Adi Soemarmo Solo, Jawa Tengah, termasuk pelabuhan seperti Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan pelabuhan kecil lainnya di Indonesia.

Selain titik masuk ke Indonesia, Polri pun telah melakukan pengawasan terhadap hunian atau tempat-tempat penjualan bahan kimia yang dapat memungkinkan cikal bakal laboratorium pemroduksi narkoba. Pesatnya teknologi yang bahkan memperlihatkan teknik pembuatan sabu melalui internet memang membuka peluang usaha produksi narkoba dalam negeri melalui laboratorium rumahan (clandestine laboratory).

Terhitung sejak tiga tahun terakhir, beberapa rumah produksi narkoba berjenis ekstasi dan sabu telah ditemukan di sejumlah perumahan dan apartemen mewah, sebut saja seperti pengungkapan di kompleks Taman Palem Cengkareng dan Apartemen Mediterania. Sejumlah peristiwa ini tentu saja mengubah Indonesia di mata internasional, bukan hanya dianggap sebagai negara pengimpor, namun juga penghasil narkoba.

Jika ditelisik lebih jauh, banyaknya usaha penyelundupan ke Indonesia secara tidak langsung mungkin membuktikan bahwa angka permintaan narkoba di negara kita yang jumlahnya diperkirakan mencapai 240 juta orang memang masih terbilang tinggi. Selain itu, faktor keuntungan besar yang mencapai ratusan kali lipat juga tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelaku bisnis haram ini. Lihat saja, setiap tahun jumlah kasus narkoba yang berhasil diungkap oleh jajaran kepolisian cenderung mengalami peningkatan.

Bagi sebagian masyarakat jenis-jenis narkoba seperti ekstasi, sabu-sabu, heroin, kokain, dan ganja mungkin dikenal akrab, terutama mereka yang biasa mereguk kenikmatan imaji dalam gemerlapnya dunia malam. Selain dianggap mampu memberikan ketenangan saat menghadapi masalah, mengonsumi narkoba juga dipercaya memberikan kesenangan di tengah tingginya tekanan hidup. Tak heran, jika narkoba kemudian dianggap sebagai solusi, terutama bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar yang memiliki problematika dan mobilitas tinggi seperti Jakarta.

Di kalangan anak muda, tidak sedikit pula yang menganggap mengonsumsi narkoba sebagai gaya hidup kelas atas. Bagi mereka, mengonsumsi narkoba mungkin sudah menjadi bagian dari life style. Kondisi ini memunculkan paradigma baru yang menyebutkan "tidak gaul" jika tidak menggunakan narkoba dan sebagainya. Tak mengherankan tentunya, jika jumlah pemakai narkoba di kalangan mereka yang berusia 12 hingga 30 tahun mencapai lebih dari 50 persen jumlah pemakai di Indonesia.

Guna mengantisipasi semakin hancurnya generasi penerus bangsa dan sesuai dengan program zero narkoba 2015, Polri pun melakukan pendekatan secara persuasif melalui kerja sama dengan pihak pendidikan dari tingkat SMP hingga perguruan tinggi dan universitas. Kurikulum pendidikan untuk SMP dan SMA yang di dalamnya membahas mengenai bahaya narkoba pun tak luput dari bidikan Polri.

Di tingkat perguruan tinggi dan universitas, selain menempatkan polisi di dalam kampus sebagai bentuk pengawasan, Polri bekerja sama dengan pihak rektorat, juga melakukan sosialisasi dalam berbagai bentuk, di antaranya talkshow seperti yang kami ikuti pada 21 Januari lalu di Kampus Tarumanegara, Jakarta Barat. Kegiatan positif yang melibatkan narasumber terpercaya, seperti Direktur Narkoba Mabes Polri, Brigjen Arman Depari, dan Guru Besar Kriminolog UI, Profesor Adrianus Meilala, ini tentunya membawa dampak positif sebagai tambahan pemahaman generasi muda untuk menghindari narkoba.

Sejak 2009, genderang perang terhadap narkoba juga telah ditabuhkan secara mantap di negara kita melalui undang-undang No 35 Tahun 2009 yang telah disahkan para wakil rakyat yang duduk di DPR RI. Undang-undang ini diharapkan dapat menimbulkan ketakutan sendiri terhadap para pengedar, bandar, penyelundup, hingga pemroduksi narkoba.

Ancaman hukuman mati bagi mereka yang membawa jenis narkotik golongan 1 di atas lima gram atau lima batang untuk tanaman tentunya akan menebar trauma bagi para pelaku. Sekadar gambaran, sebelum disahkannya undang-undang ini, sejak 2004-2008, telah 72 terdakwa kasus narkoba, baik warga negara Indonesia ataupun warga negara asing yang ditetapkan pengadilan mendapat hukuman mati.

Meski terbilang menyeramkan, namun undang-undang ini juga mengatur mengenai proses rehabilitasi bagi para korban yang akhirnya menjadi pecandu narkoba. Sesuai dengan yang tertuang dalam perundang-undangan tersebut, pecandu yang telah melaporkan diri ke Polri tidak akan dikenakan proses hukum, tetapi menjalani rehabilitasi di tempat yang telah ditentukan.

Hal ini diharapkan membuat keluarga atau teman yang mengetahui kerabat mereka yang menjadi pecandu dapat membantu dengan pelaporan sebelum orang yang mereka sayangi itu terjerat proses hukum yang berat.

Dalam kegiatan positif lain seperti melalui lomba "Kampung Bebas Narkoba", Polri secara terarah juga telah membuka tirai di sejumlah kawasan yang memang dikenal sebagai pusat narkoba menjadi perkampungan ataupun permukiman pada umumnya. Berbagai kegiatan dan hasil positif yang didapat ini tentunya merupakan sinyal optimisme kita bahwa negara kita mampu terbebas dari narkoba pada 2015.

Opini Republika 27 Januari 2010