Pada era 1980-an, Kalimantan memasok sebagian besar ekspor kayu Indonesia. Era milenium, penebangan hutan menurun, lantas diperkuat pengerukan batu bara berkapasitas paling tinggi, lebih dari 200 juta ton per tahun. Ini kebijakan bunuh diri bagi Kalimantan dan segenap warga pulau ini, yang dipilih secara sadar dan terencana.
Seperti halnya pulau besar lain di Indonesia; Sumatera, Papua, dan Kalimantan sebuah paradoks. Meski memiliki kekayaan alam melimpah, Kalimantan identik dengan kemiskinan dan peminggiran warga asli pulau— masyarakat adat Dayak—yang menghadapi kemiskinan, juga terus menyusut populasinya. Padahal, Kalimantan tergolong pulau yang secara geologis berumur tua dan stabil, dicirikan absennya gunung-gunung api aktif. Artinya, kemerosotan kemampuan ekologik akan sulit dipulihkan.
Perubahan tata-kuasa pengurusan negara ke arah otonomi daerah tak juga mengurangi derajat kesengsaraan warga Pulau Kalimantan. Bahkan, disinyalir bertambah parah. Ini disebabkan pilihan paradigma pengurus negara terhadap tata-produksi yang dikendalikan permintaan pasar mancanegara.
Pemerintah rela menurunkan prioritas derajat pemenuhan kebutuhan domestik. Jangan heran jika berbagai kota di Kalimantan, sepanjang dua tahun terakhir, mengalami giliran pemadaman listrik. Yang mengenaskan, ada tanda tanya besar, ke mana perginya nilai bersih (nett values) dari kekayaan alam yang telah dikeruk dan kemudian diekspor ke negara lain, apabila pendapatan yang sebagian besar masuk ke kas negara adalah pendapatan pajak.
Krisis Pulau Kalimantan sangat nyata di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Potret alokasi ruang provinsi ini jauh dari akal sehat. Jika dijumlah, luas konsesi pengelolaan hutan, kebun sawit skala besar, dan pertambangan mencapai 21,7 juta hektar (ha), melebihi luas daratannya. Saat ini, ada 33 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dan 1.212 kuasa pertambangan (KP) diterbitkan pemerintah. Demi memenuhi batu bara negara lain, Kaltim mengabaikan rencana pencadangan lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura seluas 2,49 juta ha (RPJPD provinsi 2005-2025). Justru, 3,12 juta ha lahannya diperuntukkan dan dialih fungsi serta menjadi konsesi tambang.
Provinsi paling luas di Pulau Kalimantan ini bahkan tak mampu memenuhi kebutuhan pangan mandiri penduduknya, yang tumbuh 3,7 persen per tahun. Pada 2008, produksi beras mencapai 570.000 ton—tak mencukupi—dan harus mendatangkan 20.000 ton lagi dari Sulawesi Selatan dan Jawa. Sekitar 83 persen kebutuhan proteinnya juga berasal dari luar daerah. Apalagi, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kaltim, tahun lalu, mengumumkan kehilangan 12.000 ha lahan sumber pangan tiap tahunnya karena berubah fungsi.
Tidak cukup mengorbankan keamanan pangan, Kaltim rela terus-menerus mengalami krisis listrik, yang puncaknya pemadaman listrik bergilir 6-10 jam per hari. Sejak industri ekstraktif menjadi dewa penggerak ekonomi, ketahanan pangan dan energi Kaltim makin porak-poranda. Batu bara membuat pengurus provinsi lupa daratan. Bukan kemakmuran dan kesejahteraan yang dinikmati warga, justru terjadi derita berkelanjutan yang bukan tidak mungkin mengarah kepada kebangkrutan sosial-ekologik-ekonomik.
Angka penduduk hidup di bawah garis kemiskinan hingga Maret 2007 sekitar 325.000 jiwa atau sekitar 11 persen total jumlah penduduk, meningkat dibanding tahun sebelumnya (230.000 jiwa). Kantong-kantong pengangguran terpusat di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara, yang ironisnya memiliki jumlah KP terbanyak di Kaltim. Di Kabupaten Kutai Timur, yang ekonominya bergantung kepada pengerukan batu bara, justru 48 persen warganya miskin. Ironisnya, sekitar 45 persen penduduk miskin hidup tersebar di sekitar area tambang PT Kaltim Prima Coal—pengeruk batu bara terbesar di Kalimantan, milik Bumi Resources, perusahaan keluarga Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar.
Di sekitar kawasan pengerukan batu bara, kualitas hidup warga justru turun. Agustus 2009, Kaltim Post memberitakan penderita penyakit kelamin gonorrhea yang mencapai 39 orang di Kutai Barat adalah kelompok usia produktif, 20-40 tahun. Belum lagi penderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang mencapai 19.375 orang (2007), meningkat 10,3 persen dari 2006. Bahkan, pada 2008 tercatat 7.304 anak balita menderita ISPA. Padahal, di sini bertebaran perusahaan tambang skala besar pemegang PKP2B.
Bayangkan, generasi suram seperti apa yang akan lahir jika di usia begitu dini sudah terserang ISPA dan terancam penyakit kelamin. Potret generasi suram ini menegaskan absennya kepengurusan dan penyelenggaraan wilayah yang menjamin keselamatan warga. Tak perlu repot-repot sebenarnya mengukur keberhasilan 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono di periode kedua kekuasaannya, krisis Pulau Kalimantan adalah salah satu tolok ukur kunci. Jika tidak mau terus-menerus dihujat, Yudhoyono harus menggunakan waktu empat tahun sembilan bulan sisa pemerintahannya untuk berbalik arah menjadi pemerintahan yang menjamin keselamatan rakyat. Mungkinkah?