27 Januari 2010

» Home » Lampung Post » Islah PKB Pasca-Gus Dur

Islah PKB Pasca-Gus Dur

Muhammadun A.S.
Analis Sosial, Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta
Pascawafatnya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), napas islah (rekonsilisasi) mengembus kencang di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Di samping kedua kubu yang bertikai selama ini, Cak Imin dan Yeni Wahid, saling beriktikad baik untuk menjaga keutuhan PKB. K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus), dan K.H. Muchid Muzadi (Mbah Muchid) juga memberikan dorongan kuat agar partai berlambang dunia bertali jagat ini semakin solid menyongsong perjuangan di masa depan yang lebih kokoh. Gus Mus dan Mbah Muchid merupakan dua dari lima deklarator PKB yang masih hidup. Sedangkan ketiga deklarator lain sudah meninggal, yakni K.H. Munasir Ali, K.H. Ilyas Ruhiyat, dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).


Bahkan kedua deklarator tersisa tersebut telah membuat surat untuk PKB pada 4 Januari 2010 yang ditulis Gus Mus dalam bahasa Arab pegon (bahasa Jawa-Indonesia dalam huruf Arab). Isi surat itu mengingatkan kembali warga Nahdliyin akan nasihat K.H. Hasyim Asy'ari yang selalu menekankan persatuan dan kekompakan. Persatuan yang selalu digelorakan Mbah Hasyim harus selalu dipegang warga Nahdliyin dan warga PKB, jangan sampai terjerembab dalam kubangan konflik yang merusak dan menghancurkan. Karena itulah, kedua ulama ini mengharapkan adanya islah (rekonsiliasi) dengan mengesampingkan ambisi dan kepentingan kelompok yang sesaat.
Semangat islah yang ditiupkan dua deklarator PKB yang masih hidup ini menjadi monumen penting bagi fungsionaris PKB dalam menata kembali partai yang sempat tercabik-cabik dari beragam konflik yang terus menerpa tak kunjung henti. Terlepas dari sifat kontroversial yang melekat dalam dirinya, Gus Dur pastilah bukan menginginkan lahirnya konflik yang justru membuat PKB semakin keropos dan kerdil. Gus Dur sebagai motor utama penggerak PKB berijtihad untuk menciptakan kader-kader muda militan yang kelak ketika beliau wafat seperti sekarang, PKB bisa dilanjutkan oleh generasi ideologisnya dalam memperjuangkan visi-misi PKB yang telah dirumuskan para pendiri.
Terbukti, jasa Gus Dur dalam membina politisi muda berkarakter telah melahirkan beragam bentuk anak muda PKB yang kritis dan progresif dalam menggerakkan roda partai. Di tengah berbagai terpaan konflik saja, anak muda ini tetap mampu membawa PKB dalam gerak politik yang penuh telikungan. Ini bukti bahwa pascawafatnya Gus Dur, kader-kader PKB justru menemukan harapan besar untuk merealisasikan ide-ide besar Gus Dur dalam memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Kader-kader muda PKB bisa menjadi lokomotif gerakan politik yang secara radikal melakukan perubahan besar bagi Indonesia di masa depan.
Barangkali inilah tanggung jawab besar Gus Mus dan Mbah Muchid beserta jajaran DPP PKB untuk memberdayakan potensi besar anak muda didikan Gus Dur menjadi kader PKB masa depan. Gus Mus dan Mbah Muchid harus mempunyai andil besar dalam menggerakkan kembali kesolidan PKB dalam menatap masa depan. Makanya tepat sekali, surat islah yang ditandatangani keduanya merupakan bentuk tanggung jawab besar dalam menjaga keutuhan PKB. Kedua ulama kharismatik ini mempunyai kekuatan besar di hadapan kedua kubu yang bertikai, yang memungkinkan keduanya bisa melakukan gerak rekonsilisasi lebih cepat, sehingga konflik yang berlarut tidak mengorbankan konstituen PKB.
Pascawafatnya Gus Dur, posisi politik kubu Cak Imin memang berada lebih unggul dibanding kubu Yeni Wahid. Selain Cak Imin merapat dengan kekuasaan, kader Cak Imin juga telah menguasai berbagai DPW PKB di berbagai wilayah di Indonesia. PKB versi Cak Imin masih bermesraan dengan kekuasaan, sehingga mendapatkan berbagai kemudahan lobi politik dalam menggerakan roda partai di berbagai daerah. Sementara versi Yeni Wahid yang bertolak dengan patron Gus Dur, posisi politiknya jelas melemah. Walaupun begitu, Yeni Wahid mengantongi basis konstituen yang tidak sedikit, yakni mereka yang sudah "cinta mati" demi Gus Dur.
Para pecinta Gus Dur ini melihat PKB Gus Dur sebagai thoriqoh politik yang sulit tergantikan, tak lain karena memantapkan seluruh gerak jiwanya terhadap Gus Dur. Cinta mereka atas PKB Gus Dur bukan sekadar pilihan politik, melainkan sudah merambah pilihan teologis. Mereka memang tipologi konstutuen kaum tradisional yang menganggap Gus Dur bukan sekadar guru politik, melainkan sebagai "wali" politik yang total mereka ikuti. Kelebihan posisi konstituen Yeni Wahid inilah yang tidak dimiliki kubu Cak Imin.
Terpangkal dari plus-minus kedua kubu inilah, islah (rekonsilisasi) bagi PKB menjadi sangat krusial. Kalau kedua kubu masih berpijak pada kepentingan masing-masing, masa depan PKB akan semakin suram. Partai kaum nahdliyin bisa semakin terempas dalam percaturan politik nasional, karena konflik elite PKB selalu melebar menjadi konflik horizontal para konstituen di lapisan paling bawah.
Lebih tragis lagi, konflik PKB juga membuat chaos yang merontokkan ikatan persaudaraan antarwarga nahdliyin. Risiko politik inilah yang harus disadari masing-masing kubu. Tetapi, melihat komitmen Gus Muh dan Mbah Muchid untuk merangkul kedua kubu, islah PKB bukanlah ide kosong. Islah PKB semakin mendekati nyata, sehingga elite PKB harus segera menyiapkan gerak bersama menyongsong gerakan politik yang lebih elegan di masa depan.
Islah PKB pasca-Gus Dur ini harus memantapkan kembali "trisula" PKB, agar PKB semakin solid dan bermutu. Trisula tersebut adalah mensinergikan tiga hal penting, yakni kohesivitas kultur, kualitas program, dan kualitas kepemimpinan partai. Kultur PKB yang berbasis nahdliyin tidaklah menghalangi untuk membuat program partai yang visioner dan mampu mengoptimalkan basis potensi konstituen dan kadernya.
Menggerakkan kultur dan program ini jelas harus dikomandani pemimpin partai yang bisa mengakomodasi elite partai, sehingga sang pemimpin mampu membangun manajemen yang professional dalam tubuh PKB, termasuk mampu menjaga keutuhan partai kalau terjadi lagi badai konflik. Pengalaman masa lalu menjadi modal penting PKB untuk tegak berdiri di masa depan.
Opini Lampung Pos 28 Januari 2010