23 Desember 2009

» Home » Republika » Strategi Pembangunan Ekonomi

Strategi Pembangunan Ekonomi

Dr Sugiharto
(Menteri Negara BUMN 2004-2007)

Perkembangan ekonomi dan politik yang membaik dalam lima tahun terakhir membawa optimisme terhadap perubahan yang lebih baik lagi dalam masa kedua pemerintahan SBY.

Pemerintah juga bertekad untuk mengatasi berbagai hambatan (bottleneck) untuk memacu perekonomian. Selain itu, untuk memacu perekonomian nasional, kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan kebijakan konvensional yang telah berlangsung selama ini. Kebijakan yang ada sudah terbukti tidak mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi lebih cepat.

Padahal, sesungguhnya banyak potensi sumber daya nasional yang belum didayagunakan untuk memacu kualitas pertumbuhan menjadi lebih tinggi lagi. Kebijakan dalam mengelola stabilitas makroekonomi, yang selama ini dinilai cukup berhasil, seharusnya diukur dari sejauh mana kebijakan tersebut benar-benar menyentuh perbaikan secara menyeluruh sektor riil dan seluruh kehidupan masyarakat.

Pengelolaan stabilitas makroekonomi, masih cenderung konservatif, karena hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sekitar 5-6 persen. Angka ini sangat konservatif untuk dapat mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Untuk dapat mengatasi angka kemiskinan dan pengangguran, pemerintah harus memacu pertumbuhan rata-rata di atas tujuh persen per tahun. Sebab, laju inflasi sendiri masih lebih tinggi dari pencapaian pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari laju inflasi, menyebabkan kenaikan pendapatan yang diterima masyarakat menjadi tergerus oleh laju inflasi.

Untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran, kapasitas laju pertumbuhan harus lebih tinggi dari laju inflasi, sehingga kenaikan pendapatan secara riil meningkat. Pengangguran dan kemiskinan juga dapat diturunkan. Demikian pula, kualitas pertumbuhan yang dicapai juga akan memengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja. Jika kualitas pertumbuhan yang dicapai lebih banyak ditopang oleh konsumsi daripada ekspor, investasi dan sektor industri juga lebih padat modal, maka kemampuan menyerap pengangguran menjadi rendah.

Namun, yang tidak kalah penting adalah bagaimana kualiats pertumbuhan yang dicapai dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antargolongan masyarakat atau gini ratio.

Kebijakan yang terkait dengan sektor keuangan, selain diarahkan untuk memperkuat stabilitas sektor keuangan juga harus meningkatkan peran intermediasi yang mampu mendorong perkembangan sektor riil. Peran sektor perbankan belum optimal dalam menjalankan peran intermediasi karena masih tingginya suku bunga pinjaman meskipun suku bunga SBI sudah terus bergerak turun. Ini menyebabkan upaya mendorong kegiatan sektor riil, yang justru membutuhkan suku bunga rendah, tak bisa dilakukan secara optimal. Jika kondisi seperti ini dibiarkan, maka kebijakan tersebut tidak banyak mendorong pertumbuhan yang berkualitas, dalam artian stabil, merata, dan berkelanjutan.

Sementara itu, strategi kebijakan yang terkait dengan sektor riil, diarahkan untuk memberdayakan potensi nasional (resources base industry) yakni sektor pertanian/kelautan, kehutanan, pertambangan dan energi. Untuk mendukung kebijakan ini, segala perangkat ekonomi nasional, seperti kebijakan investasi, kebijakan fiskal, moneter, dan perbankan harus diarahkan pada pengembangan sektor-sektor tersebut, sehingga hasil dari sektor-sektor tersebut dapat berupa produk final, sehingga memiliki nilai tambah (added value) yang tinggi. Dan tentunya semua ini harus mampu menciptakan value chain atau keterkaitan up-stream dan down stream yang mantap. Untuk mendorong perkembangan sektor riil, perbaikan iklim investasi menjadi sangat penting.

Perbaikan iklim investasi harus mencakup tiga komponen utama, yaitu. Pertama, kelompok kebijakan pemerintah yang memengaruhi biaya (cost) seperti pajak, beban perizinan, dan pungli (red tape), korupsi, infrastruktur, ongkos operasi, investasi perusahaan (finance cost), dan intervensi di pasar tenaga kerja. Kedua, kelompok yang memengaruhi risiko yang terdiri atas stabilitas makroekonomi, stabilitas, dan prediktibilitas kebijakan, hak properti (property right), kepastian kontrak, dan hak untuk mentransfer keuntungan.
Ketiga adalah hambatan untuk kompetisi yang terdiri atas hambatan regulasi untuk masuk dan keluar dari kegiatan bisnis, berfungsinya pasar keuangan dan infrastruktur. Untuk memacu perekonomian, daya saing industri manufaktur harus memeroleh pehatian serius karena sektor industri ini sudah masuk fase deindustrialisasi secara berlanjut, sehingga memperburuk daya saing industri dan ekspor. Ancaman deindustrialisasi itu ditandai oleh kontribusi sektor industri manufaktur yang lebih rendah daripada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Selama era Orde Baru, pertumbuhan sektor manufaktur lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB. Kinerja pertumbuhan sektor manufaktur dalam dua tahun terakhir tidak menggembirakan. Sektor tersebut tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ideal sektor manufaktur harus lebih dari tujuh persen agar target ekonomi bisa tumbuh lebih dari enam persen.

Demikian pula, suatu negara berhasil dalam proses industrialisasinya jika kontribusi sektor industri manufaktur mencapai 35 persen, sementara industri nasional kita hanya mencapai 27,9 persen pada tahun lalu dengan kecenderungan yang terus menurun. Memburuknya kinerja sektor industri ini juga memicu penurunan elastisitas penyerapan tenaga kerja selain juga berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja. Menurut standar organisasi buruh internasional, penyerapan tenaga kerja bisa mencapai satu persen dari pertumbuhan ekonomi atau sekitar 400.000 orang. Tapi, pertumbuhan ekonomi kita diperkirakan hanya menyerap 200.000 orang. Selain memperbaiki iklim investasi, Indonesia harus memperbaiki faktor-faktor yang memberi kemudahan dalam memulai bisnis sehingga kebijakan dan program dibidang investasi akan semakin baik. Dari sisi domestik tingkat bunga yang rendah dan likuiditas perbankan yang mudah mengalir ke sektor riil akan mendorong pertumbuhan usaha. Di luar faktor finansial, keterbatasan infrastruktur, dan masalah konsistensi penegakan hukum termasuk masalah pasokan energi listrik, serta meningkatnya persaingan antarnegara harus segera diatasi agar tidak menyulitkan Indonesia untuk menarik investasi asing. Selain itu, pemerintah juga harus mempercepat penyerapan anggaran dengan perbaikan mekanisme perencanaan dan mempercepat pembelanjaannya. Perbaikan dari sisi prosedur pencairan anggaran akan dapat mempercepat penyerapan anggaran sehingga dapat menggerakkan perekonomian. Prosedur ini seringkali terkendala oleh politisasi di Senayan sehingga pencairan anggaran seringkali berbelit dan dapat memperlambat pembiayaan proyek ataupun stimulus fiskal seperti saat ini.

Untuk mengatasi perekonomian yang mulai didominasi oleh ekonomi spekulasi atau ekonomi bubble, kebijakan untuk mendorong pengembangan ekonomi syariah dan meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian, menjadi sangat penting. Ekonomi syariah menekankan pada nilai-nilai etis, yang menekankan aspek keadilan serta menghilangkan segala bentuk penghisapan dan penindasan terhadap pihak lain sehingga melahirkan ketimpangan. Perlindungan etika dan moral telah hilang dalam ekonomi spekulasi atau dalam sistem keuangan konvensional. Krisis keuangan global yang dipicu oleh subprime mortgage merupakan resultante dari ekonomi spekulasi atau bubble tersebut.

Opini Republika 23 Desember 2009