Krisis keuangan global pada tahun 2008 masih berpengaruh terhadap geliat ekonomi pada tahun 2009. Pebisnis pun banyak mengakui sulit menjalankan usahanya. Untuk mengatasinya, beberapa negara melakukan upaya reformasi di bidang ekonomi. Bagaimana dengan Indonesia?
Menurut Bank Dunia, antara Juni 2008 dan Mei 2009, sebanyak 287 bentuk reformasi ekonomi dilakukan oleh 131 negara. Dua pertiga dari reformasi ekonomi yang tercatat berlangsung di negara yang perekonomiannya tergolong berpendapatan menengah ke bawah. Indonesia yang berpendapatan 2.007 dollar AS termasuk di dalamnya.Reformasi difokuskan pada kemudahan memulai usaha, menjalankan bisnis, memperkuat hak cipta, memperbaiki resolusi perselisihan di dunia usaha, hingga prosedur jika terjadi kebangkrutan. Negara-negara tersebut dihadapkan pada tantangan besar untuk menstabilkan sektor keuangan, menahan peningkatan jumlah penganggur, dan menyediakan jaring pengaman untuk menyelamatkan pelaku ekonomi.
Dari kegiatan reformasi yang telah dilakukan, posisi daya saing Indonesia tahun ini, menurut laporan World Competitiveness Yearbook, mengalami perbaikan. Jika pada awal reformasi berada pada urutan buncit, tahun ini mulai naik ke peringkat ke-42 dari 59 negara.
Perbaikan terjadi terutama pada aspek efisiensi pemerintah dan bisnis. Adapun aspek yang tetap buruk adalah kondisi infrastruktur.
Penilaian membaiknya kondisi bisnis ini serasi pula dengan laporan Bank Dunia tentang membaiknya peringkat kemudahan menjalankan bisnis (doing business), yaitu naik tujuh peringkat menjadi peringkat ke-122 dari 183 negara.
Indonesia dianggap berhasil memangkas prosedur, waktu, dan biaya terkait bisnis. Dalam memulai bisnis, misalnya, jika pada tahun sebelumnya terdapat 11 prosedur yang harus dilalui dalam waktu 76 hari dengan biaya 77,9 persen dari pendapatan per kapita, selanjutnya menjadi 9 prosedur dalam waktu 60 hari dengan biaya sebesar 26 persen dari pendapatan per kapita. Kondisi ini sudah lebih baik dibandingkan dengan Filipina dan Kamboja, tetapi masih tertinggal jauh dari Malaysia dan Thailand.
Lalu bagaimana penilaian para pelaku ekonomi di dalam negeri terhadap reformasi bisnis? Hasil survei yang dilakukan Litbang Kompas terhadap 50 perusahaan besar menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda.
Meski kondisi perekonomian global mengalami krisis, pada pengujung tahun ini mayoritas pemimpin perusahaan (63,3 persen) menyatakan kondisi bisnis di dalam negeri lebih kondusif. Bahkan, menurut mereka, enam bulan ke depan kondisi bisnis akan lebih baik.
Menurut responden, kondisi bisnis domestik yang membaik itu bisa dilihat dari kondisi internal perusahaan yang juga membaik. Mayoritas (70 persen) responden mengakui kondisi finansial perusahaan mereka membaik. Perluasan bisnis usaha pun sangat memungkinkan dilakukan saat ini dan ke depan.
Meski demikian, sebagian besar responden menilai pemerintah masih lemah dalam penyediaan infrastruktur. Penyediaan energi listrik, jalan, dan pelabuhan untuk mendukung kegiatan industri diyakini belum akan membaik dalam enam bulan ke depan.
Meskipun reformasi birokrasi mendapat penilaian positif, reformasi iklim berusaha ini tetap dinilai masih berjalan lambat. Tantangan-tantangan baru yang merupakan pekerjaan rumah masih mengganjal, seperti munculnya gejala deindustrialisasi tidak dapat diatasi dengan corak gerak reformasi ekonomi saat ini. Apalagi tantangan pada awal tahun depan sudah menghadang, yaitu pelaksanaan Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement) ASEAN-China.
Terkait dengan kesejahteraan, Bank Dunia masih meletakkan Indonesia ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah. Selain itu, ketimpangan kesejahteraan penduduk berdasarkan Koefisien Gini terus meningkat. Jika pada tahun 2003 Koefisien Gini sebesar 34,1, tahun 2007 angkanya menjadi 37,4.
Dari prestasi peringkat yang telah dan akan dicapai, seharusnya pemerintah mengawal agar reformasi bisnis ke depan dapat berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat juga. Tidak hanya menguntungkan para pebisnis.
Gianie (LITBANG KOMPAS)
Opini Kompas 24 Desember 2009