23 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Kekuasaan, Korupsi, dan Moralitas Publik

Kekuasaan, Korupsi, dan Moralitas Publik

Jika ada sebuah negara yang wajah penguasanya compang-camping karena perangai buruk yang tidak terpuji, maka itu adalah negara Indonesia. Juga, bila ada sebuah bangsa yang moralitas para pemimpinnya teramat rendah lantaran acap kali berperilaku tercela yang melanggar etika, itu adalah bangsa Indonesia. Bayangkan, bertahun-tahun bangsa ini dikendalikan elite-elite politik dan para penguasa korup yang bersemayam di badan-badan negara: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.


Kita baru saja sukses menyelenggarakan pemilu demokratis yang menghasilkan anggota parlemen dan pasangan presiden-wapres baru. Namun, pemerintahan baru yang belum genap berusia 60 hari diguncang megaskandal Bank Century. Masyarakat mendakwa, para politisi pemburu kekuasaan telah menilap dana talangan untuk membiayai Pemilu 2009 melalui rekayasa penyelamatan Bank Century. Praktik politik di Indonesia memang sarat dengan korupsi sehingga melahirkan politisi dan penguasa yang sejatinya cacat moral.

Politisi dan penguasa cacat moral ini tergambar dalam perilaku sosial, seperti merampas hak-hak dasar masyarakat, membohongi publik, dan mengkhianati amanat rakyat untuk menjalankan pemerintahan yang adil. Sungguh, kita sedang menghadapi problem kronis, yakni praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan pejabat publik. Bertahun-tahun masalah korupsi menjadi kontroversi, tapi tidak pernah ada penyelesaian yang tuntas dan memuaskan. Penyebab utama mengapa kita sulit memberantas praktik korupsi adalah kekuasaan tanpa kontrol.

Bahkan tidak ada instrumen hukum yang secara efektif dapat mencegah praktik tercela ini karena hukum pun telah terkontaminasi dan menjadi lumpuh oleh dahsyatnya pengaruh politik uang. Di tengah-tengah maraknya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, masih relevankah kita mendiskusikan isu moralitas publik? Atau, masih layakkah kita berharap akan lahir pribadi-pribadi mulia yang menduduki jabatan publik dengan integritas moral yang terjaga? Boleh jadi membicarakan isu moralitas publik di tengah-tengah merajalelanya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan merupakan langkah sia-sia belaka.

Demikian pula berharap akan lahir sosok pemimpin yang bersih dengan moralitas terpelihara merupakan suatu bentuk kenaifan yang sempurna, bak merindukan burung gagak berbulu putih. Meski demikian, seruan moral melalui ruang-ruang publik tetap harus dikumandangkan. Upaya melawan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik perlu dilakukan secara terus-menerus melalui berbagai macam cara dan pendekatan. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan moralitas publik?

Seorang ahli filsafat etika mendefinisikan: 'Public morality is an ethic of the community which is concerned with dicency and civility and is a degree of ethical concensus which is recognized in public policy and is, sometimes, supported by law' (Galston, 1999). Pengertian itu mengandaikan bahwa setiap kedudukan atau jabatan publik yang (i) berpengaruh luas terhadap hajat kehidupan masyarakat, (ii) berkenaan dengan kebijakan dasar dan keputusan penting yang dibuat untuk dan atas nama rakyat, serta (iii) bertumpu pada sumber daya yang dimiliki masyarakat baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun politik, maka harus mengedepankan prinsip-prinsip dasar moralitas yang berlaku di dalam masyarakat.

Prinsip dasar moralitas menyangkut tiga hal yang sangat fundamental. Pertama, setiap individu yang memangku jabatan publik harus bersedia menunaikan kewajiban secara benar dan bertindak menurut norma dan nilai kepatutan yang berlaku di dalam masyarakat. Sebab setiap produk kebijakannya serta langkah dan perilakunya akan berimplikasi luas terhadap kehidupan masyarakat. Kedua, kejujuran, kebajikan, dan kearifan merupakan standar moral yang diperlukan bagi seorang pejabat publik, agar kebijakan-kebijakan yang dibuatnya dapat memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat luas.

Ketiga, pejabat publik disyaratkan untuk tidak mempunyai vested interest, yang dapat mengganggu kelancaran dan kebersihan pekerjaannya. Oleh karena itu, mereka juga harus mampu menghindar dari jebakan konflik kepentingan antara tanggung jawab sebagai pejabat publik dan segala bentuk keinginan dan tuntutan yang bersifat personal. Di dalam kajian administrasi publik modern, seorang yang memangku jabatan publik yang bertugas memberikan pelayanan bagi kepentingan masyarakat luas harus mempunyai kualitas moral atau standar etika.

Hal itu diperlukan untuk menghindari pengkhianatan atas amanat jabatan publik yang disandangnya dan mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan yang diembannya. Menurut William Bruce dalam Classics of Administrative Ethics (2001), paling kurang ada tujuh kualitas moral yang harus dipunyai seorang pejabat publik. Pertama, ketepercayaan yang mensyaratkan seorang pejabat publik harus mampu mengemban amanat yang dipercayakan kepadanya dan bersedia menunaikan kewajiban menurut aturan hukum dan pedoman etik yang berlaku.

Kedua, kejujuran merupakan salah satu nilai etik yang sangat fundamental, yang ditandai sikap terbuka, tidak pernah mengecoh apalagi berbohong dalam menyampaikan informasi kepada publik, dan bersedia mengungkapkan sesuatu hal yang menjadi perhatian dan kepentingan masyarakat secara benar. Ketiga, integritas adalah suatu kualitas pribadi yang mencerminkan kecerdikan, kesungguhan, keutuhan, dan kesediaan untuk bertindak serta berlaku bijak dalam mengemban tugas demi kepentingan dan kemaslahatan bersama.

Keempat, loyalitas merupakan suatu sikap pribadi yang teguh dan konsisten dalam membela dan menjaga kepentingan pekerjaan, jabatan, dan organisasi, yang dilandasi nilai-nilai etika yang berlaku umum. Namun, penting dicatat bahwa loyalitas itu tidak sama-sebangun dengan kepatuhan buta, yang tanpa dilandasi kesadaran moral dan etika. Kelima, tanggung jawab adalah suatu sikap pribadi yang bersedia untuk mengemban tugas dan amanat secara tulus berdasarkan kepercayaan yang telah diberikan, yang dibuktikan dengan usaha dan kesungguhan dalam bekerja guna meraih prestasi maksimal.

Penting dicatat bahwa tanggung jawab mutlak mensyaratkan akuntabilitas yang seharusnya dapat diuji secara publik. Keenam, keadilan adalah suatu sikap moral yang bersedia bertindak secara fair serta dalam membuat keputusan dan kebijakan selalu berdasarkan pada prinsip kesetaraan, keterbukaan, proporsionalitas, dan imparsialitas guna menjamin rasa keadilan bagi segenap masyarakat. Ketujuh, kesadaran berwarga negara merupakan prinsip moral dasar yang merujuk pada kesadaran etis sebagai seorang warga negara, untuk bersedia berperilaku baik, sadar, dan patuh pada hukum serta mendasarkan setiap tindakannya pada--meminjam istilah kaum komunitarian--civic virtue.

Yaitu suatu sikap moral pribadi yang bersedia menempatkan suatu kebajikan bersama demi kepentingan masyarakat umum, yang melampaui kebaikan yang bersifat personal--the disposition to place the good of the community above one's personal good. Jika kita merenungkan secara mendalam, tampaknya banyak pejabat publik tidak punya prinsip-prinsip dasar moralitas yang baik dalam menjalankan administrasi pemerintahan. Perilaku menyalahgunakan kekuasaan, menyelewengkan kepercayaan, mengkhianati amanat, dan membohongi publik tampaknya sudah menjadi fenomena umum, yang hampir setiap hari dipertontonkan di hadapan masyarakat.

Sungguh, mereka sudah tak lagi mengenal moralitas publik yang seharusnya dipegang teguh, dirawat, dan dipelihara agar dapat mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai abdi negara, guna memberikan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat secara baik. Moralitas publik tampaknya sudah tergerus oleh mentalitas korup sehingga yang muncul adalah perlombaan untuk memperkaya diri dan tanpa malu mendemonstrasikan kemewahan, sekalipun jalan yang ditempuh adalah mencuri uang rakyat.

Oleh Amich Alhumami Peneliti sosial, Department of Anthropology, University of Sussex, United Kingdom
Opini Media Indonesia 23 Desember 2009