Di Inggris dan Irlandia ada hooligans, yaitu fanatik-fanatik sepak bola. Mereka berbondong-bondong hadir ke kota tempat suatu pertandingan akan digelar.
Mereka mengenakan seragam kesebelasan kesayangan dan bernyanyi-nyanyi sepanjang pertandingan. Di luar arena mereka berteriak-teriak, mabuk-mabuk, berkelahi melawan suporter tim yang berlawanan, sering juga merusak taman dan prasarana kota. Itulah sebabnya polisi sering melarang mereka masuk kota jika diperkirakan kaum hooligans ini akan berbuat rusuh. Tetapi kerusuhan dan kekerasan kaum hooligans biasanya dilakukan dalam keadaan mabuk, karena kebiasaan mereka meminum minuman keras. Walaupun demikian, sangat jarang hooligans mengintervensi jalannya pertandingan sekalipun tim kesayangan mereka kalah.
Tidak ada yang turun menyerbu ke lapangan untuk memukuli pemain, apalagi memukuli wasit. Bahkan baru-baru ini sebuah gol bersarang di gawang Irlandia, walau sudah hands ball dan wasit tidak menganulir gol itu meskipun jutaan orang (termasuk saya) melihat bola itu sudah menyentuh tangan Thiery Henry, pemain Prancis, sebelum disarangkan ke gawang. Banyak protes, dan FIFA dikritik sebagai organisasi olah raga yang terlalu kolot karena tidak menggunakan teknologi modern untuk membantu perwasitan (hampir semua cabang olahraga lain sudah menggunakan teknologi rekaman video, kecuali sepak bola).
Tetapi FIFA tetap tidak menganulir gol itu, keputusan wasit tetap dianggap mutlak dan reaksi FIFA hanya akan berapat untuk mengubah peraturan pertandingan yang akan diberlakukan di masa yang akan datang. Namun yang jelas, tidak ada seorang hooligans pun yang main hakim sendiri terhadap wasit yang bermata rabun jauh itu. Coba kalau itu terjadi di Indonesia. Langsung para bonek akan menyerbu lapangan dan berusaha memukuli pemain dan wasit yang dianggap bertanggung jawab atas gol yang tidak wajar itu. Kalau aparat keamanan tidak cukup sigap, boleh jadi wasit dan pemain yang bersangkutan akan babakbelur dihajar massa.
Bonek sebenarnya sama dengan hooligans. Mereka fanatik sebagai suporter kesebelasan kesayangan. Mereka mengenakan seragam kesebelasan kesayangan dan berkeliling kota unjuk kekuatan. Bedanya, hooligans pemabuk, sedangkan bonek bukan pemabuk (rata-rata mereka umat yang beriman). Tetapi kelakuan mereka justru lebih buruk dari pemabuk. Mereka mau naik kendaraan umum tanpa bayar, bahkan menyerobot masuk stadion tanpa karcis.
Yang lebih sadis adalah bahwa di dalam stadion semuanya merasa jadi wasit, bahkan mereka mewasiti wasit. Celakanya, bonek selalu mau timnya yang menang. Kalau timnya kalah otomatis wasit tidak adil, dan lawan bermain curang, jadi minimal botol-botol minuman harus dilemparkan ke lapangan. Atau kalau bisa malah menyerbu langsung ke lapangan untuk menghakimi wasit dan pemain yang bertanggung jawab atas kekalahan tim mereka.
Kalau belum puas main hakim sendiri di lapangan, mereka keluar untuk merusak apa saja yang dijumpai di luar, termasuk kendaraan yang melintas, bahkan kereta api yang akan membawa mereka pulang berikut stasiunnya pun dirusak. Semuanya itu dilakukan dalam keadaan sadar penuh, tidak dalam keadaan mabuk.
Idola Specus
Di dalam filsafat logika dikenal istilah idola specus, yaitu pikiran yang menyatakan bahwa dirinya sendirilah yang paling benar. Dengan perkataan lain, mengidolakan diri sendiri. Inilah yang terjadi pada para bonek. Mereka pikir tim kesayangan adalah yang terbaik, sehingga kalau sampai timnya kalah, pasti ada kecurangan, ketidakadilan, dan harus diluruskan.
Kalau perlu dengan kekerasan. Para bonek adalah penganut idola specus. Beda dengan hooligans, walau mereka pemabuk, tapi masih mengacu pada objektivitas dan taat aturan. Walau dongkol, mereka terima kenyataan sepanjang sesuai aturan. Masalahnya, idola specus ini bukan hanya terdapat di kalangan bonek, melainkan sudah jadi milik hampir seluruh bangsa. Bahkan para elite politik menambahkan satu idola lagi, yaitu idola tribus, yang artinya hanya mengidolakan kelompoknya sendiri. Maka itulah yang terjadi sekarang. Semua mau jadi wasit sendiri.
Mahasiswa mau jadi wasit, maka mereka turun ke jalan teriak-teriak, minta si ini dan si anu mundur dari jabatan tanpa mengetahui persis duduk persoalan. Politisi, pengamat, LSM dan pengacara berlomba masuk televisi untuk mengumbar wacana yang menurut dia sendiri benar. Kalau perlu bertengkar di depan kamera, bahkan pukul-memukul sambil masuk televisi pun jadi! Tim Delapan dan Pansus Angket Bank Century juga sama saja. Ketua Tim Delapan mengancam mundur kalau nasihatnya tidak ditaati Presiden. Ketua Pansus Idrus Marham sudah mengimbau jangan bersahut-sahutanlah di luar, supaya Pansus bisa bekerja objektif.
Tetapi di dalam Pansus sendiri para anggota tetap bersahutsahutan tanpa arah, dengan diliput penuh oleh media massa. Intinya semua beridola specus dan idola tribus. Sementara untuk meyakinkan orang bahwa dirinya atau kelompoknya yang paling benar, mereka tidak lupa untuk selalu membawa-bawa nama Allah dan juga rakyat. Demi Tuhan, Allah Akbar, diucapkan oleh semua pihak yang bertikai. Demikian juga semuanya menyatakan demi kepentingan rakyat. “Kalau kita tidak tulus”, kata seorang anggota DPR, “biarlah rakyat yang mengadili”.
Seakan-akan hanya merekalah wakil Allah dan wakil rakyat di republik ini. Nah, kalau Allah sudah diadu, rakyat diadu sesamanya, bahkan Allah diadu dengan rakyat, maka apalagi namanya kalau bukan mentalitas bonek?
Hati Nurani
Sering juga orang kemudian meneriakkan “hati nurani” sebagai tolok ukur. Kedengarannya ideal sekali. Hati nurani yang bersih, yang suci, tidak terkotori oleh interes, itulah yang seharusnya diikuti. Sayangnya hati nurani juga tidak lepas dari pengaruh idola-idola tadi.
Kalau ada 100 orang, maka akan ada 100 macam hati nurani juga. Mana di antara 100 hati nurani itu yang benar? Tidak satu pun, karena hati nurani itu mengikuti idola specus dan tribus masing-masing. Karena itulah agama-agama pun terpecah-pecah menjadi sekte-sekte yang berperang satu sama lain. Semuanya mengatasnamakan hati nurani masing-masing sesuai tuntutan dan tuntunan agama masing-masing. Bahkan metode voting tidak bisa menyelesaikan konflik antarhati nurani, karena voting hanya bisa berlaku di lingkungan yang demokratis, bukan yang egosentris dengan idola specus dan tribus-nya.
Jelas kalau dibiarkan, mentalitas bonek ini akan sangat merugikan bangsa kita. Pembangunan terhambat, politik goyang, investor tidak jadi masuk, rupiah merosot, dan sebagainya. Ujung-ujungnya keresahan akan jadi kerusuhan dan pada suatu titik tertentu bukan tidak mungkin Presiden akan mendekritkan UU Darurat, dan militer sekali lagi keluar dari markas, masuk ke dunia sipil dan menangkapi orang-orang yang selalu membuat berisik. Dengan perkataan lain, kalau bangsa ini tidak dapat mengatasi mentalitas bonek-nya sendiri, besar kemungkinan kita akan kembali ke era “aman dan terkendali” (istilah tentara ketika sudah berhasil mengatasi situasi).
Tetapi bagaimana caranya mengatasi mental bonek ini? Jawabannya adalah menggunakan akal (disebut juga logika, yaitu cara berpikir yang objektif) bukan akal-akalan. Menggunakan akal berarti cara berpikir harus teratur, berdasarkan fakta dan mengikuti hukum-hukum berpikir. Semua harus berdasarkan fakta, tidak boleh tercampur dengan emosi, apalagi kepentingan sendiri atau kelompok. Salah satu contohnya adalah tidak boleh mengambil kesimpulan umum dari suatu atau beberapa kejadian khusus tanpa melalui verifikasi yang mendalam.
Tidak boleh menggunakan kata-kata bersayap atau bermakna ganda (termasuk retorika). Semua konsep harus terukur dan harus bisa dibuktikan dengan fakta, dan harus taat hukum. Kalau dikatakan oleh undang-undang bahwa presiden tidak boleh intervensi dalam ranah yudikatif, ya sudah itulah yang diikuti. Jangan membuat saran di luar itu. Kalau hukum mengatakan seorang menteri, apalagi wakil presiden, tidak boleh diberhentikan selama belum jadi terpidana, ya sudah jangan sekarang-sekarang menyuruh mundur dengan alasan apa pun.
Pokoknya, di luar akal dan hukum adalah mentalitas bonek. Satu lagi. Bonek selalu dalam keadaan emosi marah-marah, bahkan sebelum timnya bertanding. Intinya, mereka bukan mau menonton pertandingan sepak bola, tetapi mereka mau berkelahi. Nah, mentalitas bonek juga seperti itu. Karena itu, untuk menghindari mentalitas bonek kita harus ikuti pepatah “kipas-kipas mencari angin, badan panas kepala tetap dingin.”(*)
Sarlito Wirawan Sarwono
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
Opini Okezone 23 Desember 2009