RAPAT Pansus (Panitia Khusus) Hak Angket kasus Bank Century yang menghadirkan beberapa orang saksi dari (mantan pejabat) Bank Indonesia lebih seru daripada ujian disertasi doktor. Dalam ujian akademis, penguji biasanya 3-5 orang dan tidak lebih dari 10 orang. Tetapi dalam rapat Pansus Century, pengujinya 30 orang dengan beragam tingkat dan jenis keahlian serta gaya berbicara. Akhirnya, yang terjadi adalah semacam ''interogasi berjamaah", satu orang ''dikeroyok" oleh 30 orang.
Dalam 60 hari pansus itu bekerja, secara tematis ada lima topik yang berkaitan dengan kasus Bank Century. Sejak awal sudah dipertanyakan apakah kebijakan tersebut tepat dan sesuai dengan hukum. Persoalan aliran dana bank itu yang ditengarai mengalir secara tidak wajar akan dibahas paling akhir. Seusai Wakil Presiden Boediono -yang ketika kasus tersebut terjadi menjabat gubernur BI- ditanyai, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Sjamsuddin dalam running text di sebuah saluran televisi berkomentar bahwa jawaban Boediono ''mutar-mutar".
Sebagai pemirsa siaran itu, saya berpendapat sebaliknya. Justru para penanya yang ''mutar-mutar". Pertanyaan serupa diajukan berulang-ulang oleh anggota pansus yang berbeda fraksi. Jawaban yang diberikan Boediono tetap sama bahwa kasus Bank Century tersebut dapat berdampak sistemik bila tidak diselamatkan.
Coba dihitung waktu yang digunakan Boediono untuk memberikan jawaban. Terlihat jelas bahwa dia sangat irit. Sementara itu, ada fraksi yang melebihi waktu 15 menit yang diberikan ketua sidang karena pertanyaan tidak diajukan secara to the point, tetapi dimulai dulu dengan ilustrasi atau prolog.
Metodologi Angket
Di dalam meneliti kasus tersebut, pansus memilah menjadi lima topik. Persoalan kebijakan sebetulnya dapat diperdebatkan, bergantung dari sisi mana kita melihatnya. Namun, hendaknya disepakati bahwa yang paling penting dari angket itu adalah untuk memeriksa apakah ada aliran dana yang tidak wajar (mungkin kepada tokoh atau partai tertentu). Karena waktu penelitian tersebut terbatas, sebaiknya panitia memulai dengan menyelidiki aliran dana itu. Agar tidak terjadi pengulangan atau tumpang tindih pertanyaan, lebih bagus bila pansus yang terdiri atas 30 orang tersebut dipecah menjadi lima kelompok yang masing-masing terdiri atas enam orang. Masing-masing kelompok itu membahas kelima topik tadi. Dengan demikian, pekerjaan pansus bisa lebih cepat karena tidak mengulang-ulang.
Angket tidak lain adalah penelitian. Ini bukanlah pemeriksaan pro justitia. Jadi, hendaknya suasana dan cara memeriksa juga tidak seperti di pengadilan atau di kantor polisi. Memang tidak ada bentakan, tetapi kemarahan terlihat pada suara dan wajah Gayus Lumbuun ketika Miranda Gultom menjawab tidak tahu mengenai pelanggaran perbankan yang dilakukan Bank Century.
Setelah suasana tegang, Miranda mengklarifikasi bahwa dia memang tidak tahu saat kejadian itu, tetapi baru tahu sekarang. Gayus mengatakan bahwa meski Miranda sudah bersumpah dan jujur, tetapi dia ''tidak terbuka". Penilaian semacam ini sebaiknya diberikan dalam laporan lengkap pada akhir masa kerja pansus. Terasa sangat tidak adil bila anggota pansus dapat menilai atau memberikan komentar negatif terhadap sang pejabat atau lembaga pejabat tersebut, namun yang bersangkutan hanya bisa diam. Sebagai ''pesakitan", dia tidak punya hak untuk membantah.
Adegan semacam itu jangan terulang lagi pada masa yang akan datang. Pansus tidak bertujuan memaki seorang pejabat atau mantan pejabat, tetapi menggali informasi. Dan, informasi tersebut bisa diperoleh dengan cara yang lebih santun walau tetap kritis. Sering terdengar penilaian anggota pansus mengenai kinerja pejabat atau lembaga Bank Indonesia, seperti ''ceroboh", ''koordinasi tidak nyambung", dan ''tidak ada leadership". Bahkan, sempat terlontar sebuah kutipan ''BI sebagai sarang penyamun". Seorang anggota dewan yang terhormat itu sempat mengeluarkan pertanyaan berbau SARA, ''Mengapa Bank IFI milik pribumi itu tidak ditolong, sedangkan Bank Century yang nonpribumi diselamatkan?"
Seusai menghadiri pertemuan dengan pansus, Wakil Ketua BPK Taufikurahman Ruki mengatakan bahwa istilah ''pemanggilan" itu tidak tepat. Sebab, BPK dan DPR memiliki kedudukan setara sebagai lembaga tinggi negara. Jadi, dia menganggap kedatangannya untuk ''memenuhi undangan dalam rapat konsultasi". Tampaknya, perlu ditegaskan kembali apakah mereka yang diundang dalam rapat pansus sebagai saksi (apa pun istilahnya: ''saksi ahli", ''saksi fakta", ''saksi mahkota") atau terperiksa dan tersangka?
Seyogianya Badan Kehormatan DPR membicarakan etika cara memeriksa oleh anggota pansus tersebut walaupun dilematis karena itu, antara lain, menyangkut Gayus Lumbuun yang menjadi ketua Badan Kehormatan DPR. Selain itu, apakah seorang pejabat yang diundang dapat membantah bila dia dikata-katai ''tidak terbuka", ''tidak ada leadership", atau semacamnya? Berapa kali maksimal seorang pejabat atau mantan pejabat dapat diundang ke DPR? Kalau pertanyaan yang diajukan hampir serupa, lebih bagus ditanyakan kepada orang lain ketimbang diulang-ulang kepada orang yang sama. Setiap pertemuan seyogianya dibatasi, tidak lebih dari tiga jam.
Semoga dalam rapat Pansus Century tahun 2010 dapat dilakukan perbaikan metodologi angket, termasuk cara menggali informasi. Penayangan langsung sidang Pansus Century tersebut dapat menjadi pendidikan politik bagi rakyat Indonesia bila dilakukan secara kritis, tetapi tidak melanggar asas kepatutan. (*)
*) Dr Asvi Warman Adam , ahli peneliti utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI
Opini Jawa Pos 24 Desember 2009
23 Desember 2009
Interogasi Berjamaah di Senayan
Thank You!