Mirip sebuah ujian, tahun ini sistem demokrasi dan tradisi politik bangsa Indonesia kembali dinilai oleh opini publik. Perseteruan elite politik di tengah berbelit-belitnya proses pengusutan perkara hukum memunculkan keraguan publik terhadap efektivitas sistem birokrasi negara. Negara dinilai masih lamban bergerak.
Potret lambannya negara dalam merespons setiap persoalan terjadi pada tahun 2009. Aparat negara ”tergagap-gagap” melihat publik bereaksi cepat membentuk opini dalam setiap persoalan hukum. Dari mulai kasus daftar pemilih tetap di pemilu, kasus penindakan hukum Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah, hingga kasus hukum Prita Mulyasari.Melihat reaksi kolektif publik yang muncul terhadap kasus-kasus tersebut, menunjukkan bahwa arus wacana yang bergulir di publik lebih pada menuntut keadilan penegakan hukum terhadap negara. Hal inilah yang membedakan dengan corak perlawanan politik warga terhadap penyelenggara negara pada tahun 1998. Karakteristik perlawanan waktu itu lebih pada melawan otoritarianisme.
Media pada tahun ini memang ikut berperan dalam membentuk opini publik yang kuat. Contoh kasus pimpinan KPK, ”cicak melawan buaya”, ternyata mampu menyedot dan mengalihkan perhatian publik terhadap kasus lain. Hanya dalam waktu satu minggu, kasus ini mampu meredakan pemberitaan tentang bencana alam di Provinsi Sumatera Barat.
Sikap satu nada media yang cenderung mendukung KPK ternyata mampu memengaruhi langkah penegak hukum dalam memeriksa pimpinan KPK.
Mengapa begitu kuat daya tarik kasus KPK? Selain menjadi satu-satunya lembaga penegak hukum yang selama ini masih dinilai ”serius” dalam pemberantasan korupsi, KPK juga diuntungkan oleh pemutaran rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo di Mahkamah Konstitusi.
Bukti pemihakan publik yang kuat tampak dari catatan jajak pendapat Kompas pada bulan November yang menunjukkan naiknya apresiasi kepada KPK dibandingkan dengan penegak hukum lainnya. Dalam waktu sebulan, citra KPK di mata publik naik relatif lebih tinggi daripada lembaga penegak hukum lainnya, seperti kejaksaan, polisi, dan hakim (
Reaksi kolektif juga terjadi pada kasus hukum Prita. Reaksi yang kemudian berujung pada solidaritas dari masyarakat untuk ikut menyumbang uang rupiah berbentuk koin. Bentuk sumbangan ini memberi makna bahwa dalam menuntut keadilan, warga sekarang tidak hanya sebatas menyuarakan opininya saja, melainkan sudah ikut bergerak memberi bantuan. Sebentuk solidaritas yang menjadi preseden rujukan publik, bagaimana melakukan ”perlawanan” kepada negara di tengah buntunya birokrasi politik dan hukum demi meretas keadilan.
Dua kasus tersebut memberi tanda bahwa kekuatan opini publik kini semakin efektif terbangun ketika negara tidak ikut ”berlari” untuk memberikan reaksi yang cepat. Opini publik semakin kuat berkat munculnya media baru melalui berbagai jejaring sosial di internet seperti Facebook dan Twitter. Dari jejaring inilah media ”lama” lalu menyebarkan dan memperbesar suara publik tersebut.
Jika melihat hasil pemilu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih kembali sebenarnya mempunyai peluang untuk bergerak lebih cepat untuk mengendalikan negara dan birokrasinya. Yudhoyono memenangi pemilu satu putaran dan didukung koalisi besar di parlemen.
Namun, belum 100 hari berjalan, pemerintahannya kini dihadapkan pada beberapa kasus hukum yang ikut mewarnai pertentangan politik. Langkah pemerintahan Presiden Yudhoyono membentuk koalisi besar di parlemen dan pemerintahan ternyata tidak membebaskan pemerintah baru ini dari masalah. Penanganan kasus hukum dan yang membuat partai-partai koalisi tidak bersatu padu menunjukkan koalisi yang dibentuk ternyata tidak sesolid yang diduga sebelumnya.
Dalam berbagai kasus, publik melihat sosok birokrasi dan aparat negara sebagai pihak yang semakin menjauh dari publik berlawanan terhadap solidaritas publik yang tengah mengemuka. Aspirasi publik yang sering kali didasari oleh rasio keadilan distributif acap kali tidak bertitik temu dengan keadilan versi pengelola negara yang bersudut pandang atributif.
Sayang, keberhasilan pesta demokrasi menjadi sebuah antiklimaks justru selepas pelantikan pada bulan Oktober lalu. Menguatnya momentum politik yang ditandai dengan mengerucutnya pilihan demokratis pada Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono langsung disambut oleh meningkatnya keraguan publik.
Sebabnya, kegigihan pemberantasan korupsi yang ditunjukkan pemerintahan Yudhoyono sejak tahun 2004 justru ternoda oleh berkurangnya komitmen politik pemerintah kepada KPK.
Parpol pun tak kalah mengecewakan. Setelah sebelumnya tak ada partai mapan yang tak mengalami perpecahan internal, dalam penyusunan kabinet pun parpol kembali menjalani imbal jasa politik dengan duduknya pimpinan parpol koalisi sebagai menteri dalam kursi kabinet.
Di mata publik, posisi parpol akhirnya menjadi sekadar perpanjangan tangan pemerintah ketimbang wadah untuk menyuarakan kepentingan publik. Sepanjang tahun 2009, wajah parpol tampil di mata publik dengan citra yang tetap dominan negatif dan cenderung semakin dinegasi.
Berbeda dengan ranah hirukpikuk oleh perseteruan elite, publik justru menengarai masih kuatnya interaksi sosial di dalam masyarakat. Melemahnya rasa keadilan yang dirasakan masyarakat justru meningkatkan satu bahasa dalam masyarakat.
Hal ini terlihat dari hasil Jajak Pendapat Kompas minggu lalu, mayoritas (64 persen) responden menilai bahwa kondisi positif yang terjadi pada tahun 2009 adalah soal menguatnya solidaritas sosial.
Keinginan publik untuk pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu tidak dengan sendirinya berarti terjadinya perubahan sistemik atas pemerintahan yang terbentuk. Ini menunjukkan bahwa publik tidak mau terseret arus elite.
Toto Suryaningtyas (Litbang Kompas)
Opini Kompas 24 Desember 2009