Gencarnya arus informasi di tengah masyarakat menjadi potensi besar yang perlu mendapat perhatian. Positif atau tidaknya efek yang ditimbulkan, sangat bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Namun tak bisa dimungkiri jika kemudian informasi tersebut menjadi salah satu unsur penggiring opini publik yang terbentuk secara massal. Itu sebuah kekuatan. Namun apakah saat ini vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) layak diterapkan di Indonesia?
Pengamat hukum dan sosiologi dari Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar mengatakan, masyarakat Indonesia sedang berada dalam keadaan "sakit". "Cuaca buruk" menjadi penyebabnya. Cuaca yang dia maksud adalah beragam indikator sosiologi yang menyebabkan masyarakat tengah berada dalam kondisi seperti ini.
Dia mencontohkan, penggalangan koin untuk Prita Mulyasari dalam sudut pandang lain merupakan bukti bahwa masyarakat cenderung menginginkan sesuatu yang serbainstan. Terlebih jika dikaitkan dengan tingkat pemahaman seseorang atas substansi persoalan yang dihadapi. Kondisi ini tentu tidak sehat dari kacamata sosiologi. "Rakyat cenderung lebih suka keadilan by product, bukan by process," ujarnya.
Maka tak heran jika dia menilai people power yang muncul belakangan bukan people power yang sejati. Meski pergerakan dimulai dari tingkat bawah, belum tentu kekuatan ini merupakan kekuatan yang benar dan sejati. Padahal informasi memiliki peranan penting dalam suatu tataran sosial.
Yesmil menilai, pemberian informasi melalui media massa di satu sisi dapat menjadi agen pembangkitan kesadaran masyarakat. Dengan masifnya informasi mengenai proses hukum tertentu, dia mencontohkan, masyarakat menjadi semakin "melek" istilah hukum.
Namun di sisi lain, gencarnya informasi ini dapat dilihat sebagai merampas hak publik. Masyarakat memiliki batas "lelah" menyerap informasi. Keadaan ini makin buruk jika ditambah dengan perilaku produsen informasi, yaitu media massa, yang cenderung mengedepankan persaingan industri media massa dibandingkan dengan etika profesional. Dengan demikian, produsen informasi memegang peranan penting.
Namun, masyarakat Indonesia saat ini ditengarai hanya "masyarakat permukaan" yang sekadar ikut "mainstream" (arus utama). Tanpa mengetahui substansi persoalan, mereka merasa cukup puas dengan ikut arus tersebut. Hal ini tentu menjadi bahaya laten yang perlu disikapi dengan bijak. Terlebih jika jumlahnya besar dan tidak terkendali. Bukan tidak mungkin kekuatan yang besar ini justru disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi maupun golongan.
Pakar komunikasi Deddy Mulyana menuturkan, fenomena penggalangan opini melalui jejaring sosial di dunia maya tak ubahnya pisau bermata dua. Di satu sisi, jejaring sosial merupakan ruang publik untuk mengekspresikan diri. Ini menjadi konsekuensi atas terbukanya arus informasi. "Paling tidak masyarakat punya saluran untuk mengekspresikan pendapat mereka. Hanya yang harus dijaga etikanya, jangan sampai kebablasan," ujarnya.
Namun di sisi lain, kesiapan masyarakat juga perlu dipertanyakan. Deddy menilai, masyarakat Indonesia yang masih berada dalam masa transisi secara umum belum siap menghadapi arus informasi yang terkesan tiba-tiba dan berlangsung secara masif. "Orang saat ini mengalami semacam gegar budaya, era baru. Etika komunikasi massa masih mencari bentuknya," katanya.
Ya, etika menjadi wilayah abu-abu yang memang mudah diperdebatkan. Namun dalam ranah komunikasi, etika menjadi salah satu nilai yang tidak bisa diabaikan. Etika menjadi semacam perangkat untuk mencegah terjadinya konflik.
Sayangnya, hal ini belum dipahami sepenuhnya oleh pengguna jejaring sosial. Maka yang kemudian muncul adalah pergesekan antara satu kepentingan dengan kepentingan lain. Bahkan bukan tidak mungkin apa yang sebelumnya berawal dari persoalan etika kemudian berlanjut ke ranah hukum.
Regulasi belum tentu menjadi solusi efektif untuk persoalan ini. Terbukti, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih menjadi topik kontroversial yang diperdebatkan. Perangkat aturan yang idealnya dibuat untuk mengatur, bagi sebagian kalangan justru menjadi semacam jebakan.
Mengenai regulasi, Deddy menilai, khusus untuk jejaring sosial, tidak ada aturan yang mantap dan komprehensif untuk mengawalnya. Hal itu disebabkan perkembangan teknologi yang demikian pesat dan sulit ditebak. Kalaupun akan dibuat aturan, perlu persiapan yang benar-benar matang. Tidak hanya didasarkan kepada keadaan yang sedang terjadi, tetapi juga kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di masa yang akan datang. Ini untuk menghindari aturan yang "ketinggalan zaman".
Lebih lanjut Deddy mengemukakan, penggalangan opini ini hanya berdampak kepada tataran etika, bukan kepada hukum positif. Namun perlu menjadi perhatian, efektivitasnya akan semakin menurun jika diumbar secara berlebihan. "Opini publik akan bermakna jika tidak digalang secara sembarangan dan terus-menerus. Ada saatnya masyarakat akan bosan," ujarnya.
Jika dikaitkan dengan vox populi vox dei, tentu akan rawan jika idiom tersebut diterapkan di Indonesia. Perlu ada semacam pencerahan berkelanjutan agar suara yang muncul dari masyarakat adalah suara jernih, bukan sekadar suara yang muncul dengan tiba-tiba dan tanpa alasan. (J. Pambudi/"PR")***
Opini Pikiran Rakyat 24 Desember 2009