Pertumbuhan pengguna situs blog atau lebih sering disingkat menjadi blog, sering membuat khawatir perusahaan media massa tradisional, apakah itu koran, majalah, televisi, atau radio. Kekhawatiran itu bukan hanya tumbuh di negara-negara yang sedang mengalami kejatuhan bisnis media massa seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, tetapi juga bisa dirasakan di Indonesia.
Belakangan, bukan hanya blog yang dilihat sebagai ancaman, tetapi juga kehadiran situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, atau Multiply. Peralihan yang masif para konsumen media ke situs-situs itu, menjadi sumber kekhawatiran yang utama. Peralihan yang masif itu terasa sebagai bukti nyata media massa mulai ditinggalkan oleh konsumennya.
Akan tetapi, apakah benar media massa akan jatuh oleh kehadiran media-media sosial yang baru? Hal itu sebenarnya masih harus diuji.
Richard Maisel, dalam artikelnya "The Decline of Mass Media" (1973) mendeteksi, selama periode 1950-an sampai awal 1970-an, di AS terjadi penurunan signifikan volume industri media massa berbanding dengan total ekonomi dalam dua dekade itu. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah yang menyebabkan terjadinya penurunan volume industri media massa itu?
Maisel mengaitkannya dengan dua teori komunikasi, yaitu teori dua tahapan (two-stage theory) dan teori tiga tahapan (three-stage theory). Teori dua tahapan menjelaskan, di masa industri, media massa memiliki peran yang besar dan posisi kuat. Disebut berperan besar karena industri menciptakan peluang bagi media massa, dan sebaliknya media massa memberi jalan bagi industri untuk terus berevolusi. Disebut kuat, karena media massa dianggap mampu menentukan konten kebudayaan masyarakat industri. Kenyataannya, Maisel menemukan, media massa mengalami kejatuhan sejak 1950-an. Dia kemudian menemukan argumen yang kuat di teori tiga tahapan.
Pada intinya, setelah masa praindustri, dan industri, lahir masa pascaindustri. Ciri utamanya adalah berkembangnya sektor jasa, dan terjadinya peralihan tenaga kerja secara masif dari sektor manufaktur ke sektor jasa. Ciri lainnya, terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang homogen dan terspesialisasi. Pada titik inilah, kata Maisel, nasib industri media massa mulai berubah. Masyarakat pascaindustri mulai mencari media komunikasi yang terspesialisasi dengan lingkup yang relatif kecil dan homogen. Dengan kata lain, masyarakat pascaindustri tidak mendukung kehadiran media massa.
**
Internet adalah produk masa pascaindustri. Medium ini menawarkan jasa ruang di dunia maya, dan masyarakatlah yang menentukan kontennya. Internet memberi peluang bagi kelompok yang homogen dan terspesialisasi untuk saling berkomunikasi. Konten informasinya, dan kepada siapa informasi itu akan disebar, merekalah yang akan menentukan. Internet pun memberi peluang kepada penggunanya, untuk menentukan konten apa yang akan mereka ambil dari medium itu. Dan melalui internet, anda tidak perlu hadir di New York, untuk membaca berita New York Times di hari koran itu terbit.
Apa yang ditawarkan internet, berseberangan dengan yang ditawarkan media massa. Koran, majalah, dan televisi bukanlah media yang memberi peluang user-generated content. Informasi yang disampaikan melalui media tradisional, ditentukan "penjaga gerbang" mulai dari reporter, editor, sampai pemilik perusahaan.
Namun, kita harus jeli melihat, bukan internet dan produk-produk susulannya --misalnya blog dan situs jejaring sosial-- yang membunuh media massa. Internet hanyalah produk dari masyarakat yang membutuhkan sistem komunikasi yang baru, dan bentuknya bisa apa pun. Sikap tidak tanggap dari industri media massa yang telah membunuh industri itu sendiri. Media massa telat dalam menanggapi perubahan besar yang terjadi di tengah masyarakat, dan gagal menerjemahkannya ke dalam produk yang dibutuhkan masyarakat masa kini.
Sekarang, tidak banyak perusahaan media massa yang bisa bertahan hidup dengan beralih ke internet. Los Angeles Times, koran besar yang menjadi salah satu penggagas konvergensi di tahun 1990, berakhir tragis dengan dinyatakan bangkrut. Washington Post, koran legendaris yang mengungkap kasus Watergate, juga tidak pernah bisa menerjemahkan padatnya "traffic" di situs mereka menjadi dolar. Bahkan mereka kini kesulitan keuangan, sehingga harus menutup beberapa kantor bironya.
Perusahaan yang kini menjadi mogul bisnis internet adalah perusahaan-perusahaan yang dibentuk bukan oleh pebisnis media massa. Google, Yahoo, dan Facebook, didirikan oleh mereka yang memahami kebutuhan informasi dan komunikasi masyarakat pascaindustri.
Bagaimana dengan Indonesia? Walau penetrasi internet di negara ini relatif masih rendah, sekitar 13 persen dari 240 juta orang, namun grafik pertumbuhannya cukup signifikan. Artinya, tingkat melek internet warga Indonesia masih terus meningkat. Angka pengguna blog di Indonesia pun cukup besar, ada pada kisaran 130 ribu orang, dan terus meningkat.
Yang cukup "melegakan" industri media massa, belum banyak pengguna blog atau pengguna situs jejaring sosial, yang menggunakan medium itu untuk saling tukar informasi yang bersifat jurnalistik. Artinya, peran media massa seperti koran, majalah, televisi, dan radio, masih cukup besar untuk mendistribusikan produk jurnalisme.
Namun, kehadiran media massa online, menjadi ancaman serius bagi industri media massa tradisional. Media massa online menghasilkan produk yang sama dengan media massa tradisional, yaitu berita. Nilai lebih mereka adalah kecepatan informasi dan pengguna tidak perlu mengeluarkan biaya langganan. Kondisi ini tentunya harus disikapi secara serius oleh media massa tradisional karena ada "pemain baru" yang bermain di wilayah yang sama, dengan berbagai keunggulan yang tidak dimiliki media massa tradisional.
Kehadiran blog dan situs jejaring sosial pun tidak bisa dianggap sepele, dan harus disikapi dengan langkah kreatif dan inovatif, agar perusahaan media massa tetap bisa hidup dan berkembang. Seperti disebutkan sebelumnya, kunci untuk bertahan hidup di zaman yang berubah cepat ini adalah kemampuan untuk mengamati perubahan dengan jeli, dan memunculkan ide yang bisa melampaui masa kini. (Zaky Yamani/"PR")
Opini Pikiran Rakyat 24 Desember 2009