Di tengah kegaduhan seputar Natal dan kecemasan akan keamanan yang kembali menjadi masalah seputar Natal, ada saatnya bangsa ini kembali mengambil inspirasi dari kedalaman permenungan para bijak negeri ini. Salah satunya adalah puisi Manusia Utama ST Alisjahbana. Di sana antara lain tertulis: 'Tuhan menjadikan manusia penguasa seluruh buana: matanya tembus menerus segala adangan, telinganya menangkap segala getaran, ... dan tangannya menjingkau ke balik angkasa./Dan hanyalah ketakutannya sendiri yang menjadikan makhluk utama itu ulat pada tiada berdaya. Picik matanya akan rahasia alam dan takutnya akan mati disucikannya menjadi agama./ Malasnya berpikir dan menyelidiki dinamakannya percaya. Dan akhirnya tertutuplah sekahan kemungkinan alam yang luas baginya dalam kepompong gelap yang dijalinnya sendiri.'
Agama tanpa Tuhan
Puisi ini dapat dipandang sebagai tonggak pemikiran kritis terhadap agama, yang sebenarnya mengarah kepada kritik terhadap manusia beragama, yang dianggap tidak memahami hakikatnya sebagai makhluk yang bebas sebagaimana dikehendaki Tuhan. Agama menjadi hunian manusia pengecut, manusia yang takut menghadapi rahasia alam, yang tak berani memikul tanggung jawab, yang enggan sendirian memperjuangkan sebuah cita-cita. Puisi ini menunjukkan bahwa kritik terhadap manusia beragama atas nama humanisme yang dilahirkan para pemikir Barat, telah menemukan riaknya pada pemikir dari antara bangsa kita. Sangat boleh jadi, kritik pedas terhadap manusia agama kian meluas kini di tengah bangsa kita karena berbagai alasan: karena legitimasi yang diberikan terhadap kekuasaan, karena ketakutan agama untuk menjadi suara moral di tengah sebuah proses pembiasaan kekerasan, karena berbagai konflik kekerasan bernuansa agama.
Judul puisi manusia utama mengantar orang kepada imajinasi filosofis Nietzsche dalam sosok Uebermensch, sang manusia super, yang memaklumkan kepada khalayak bahwa mereka semua telah membunuh Allah. Manusia versi Nietzsche digugat oleh pertanyaan mengenai apa yang mesti dilakukan agar dapat membersihkan diri dari percik-percik darah itu, di mana menemukan air yang dapat menjernihkan kembali dirinya.
Dengan ini Nietzsche sebenarnya mengingatkan bahwa bukan mustahil manusia kembali membentuk agama hanya sekadar untuk mengamankan diri, menenangkan batin dan merayakan kemenangannya sendiri. Karena takut menjadi manusia dengan segala tanggung jawab yang terkandung di dalamnya, karena tidak mampu menghadapi manusia lain sebagai rekan sederajat, sebab enggan berbagi ruang kehidupan dan kekayaan dunia secara adil dengan sesamanya, maka manusia menciptakan agama. Agama tidak lebih dari sarana pembenaran penguasaan manusia atas sesamanya. Agama seperti ini menjadikan dan merayakan dirinya sebagai berhala, yang berlaku absolut dan menuntut penyembahan dari semua makhluk lain. Manusia menggunakan nama Tuhan sebagai pembenaran berbagai tindakan egoistis.
Dalam kenyataan, semua itu dibangun di atas dasar pembunuhan terhadap Tuhan. Tuhan sudah dibunuh, disingkirkan dan dibuang. Sebagai gantinya, muncul orang beragama yang hendak tampil sebagai manusia super yang berkuasa mutlak, namun menggunakan nama Tuhan sebagai legitimasinya. Dalam bahasa Alisjahbana, mereka ini adalah manusia kerdil, yang bertindak karena ketakutan dan membelenggu diri dalam kepompong gelap yang dijalinnya sendiri.
Tuhan yang subversif
Sejarah kekristenan pun ditandai oleh kekerdilan yang selalu coba disubstitusi dengan kemegahan dan arogansi. Arogansi religius ini tidak selalu dinyatakan dalam tindak kekerasan. Selain mengandung risiko hukum dan mudah mengundang reaksi dunia internasional, umumnya tindak kekerasan atas agama mengandaikan komposisi demografis tertentu. Sebab itu, tidak semua arogansi keagamaan diungkapkan dalam aksi kekerasan. Namun, yang jauh lebih sering dan mudah terjadi adalah keangkuhan religius yang bercokol dalam hati dan pikiran manusia.
Natal, bagi orang Kristen, sebenarnya adalah langkah yang diambil Tuhan untuk meruntuhkan arogansi religius dalam hati dan pikiran manusia. Tuhan datang bukan pada waktu dan di tempat yang tepat. Dia memperkenalkan diri bukan kepada kelompok manusia yang dipandang sepantasnya. Waktu yang dipilihnya adalah saat para warga sibuk dengan cacah jiwa di bawah sebuah kekuasaan asing. Dia tidak datang pada masa kejayaan Israel sebagai bangsa terpilih. Sebaliknya, saat mereka sedang dijajah dan terancam kehilangan pegangan, Tuhan dilahirkan. Ini bukan waktu yang tepat untuk menerima dan merayakan Dia sebagai andalan keterpilihan. Dia memilih waktu yang tidak pernah dibayangkan sebagai saat terpilih.
Para pemimpin agama saat itu bungkam karena kehabisan argumen untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Perubahan politik telah mengantar seorang tokoh, Herodes Agung, yang bukan berdarah Yahudi, menjadi raja atas orang-orang Yahudi. Kekayaan dan pengaruh keluarga serta kelicikan pribadinya membuka jalan baginya untuk menduduki kursi penting ini. Kebingungan bertambah ketika orang yang diragukan dan patut dicurigai ini memperluas bait Allah. Dengan ini dia memecah belah para pemimpin agama dalam kubu pro dan kontra. Lembaga agama tidak sedang menampilkan sebuah kewibawaan yang diandalkan. Justru pada saat seperti itu Tuhan mengambil langkah memasuki sejarah sebagai seorang anak manusia.
Tempat kelahiran-Nya adalah sebuah wilayah kumuh, daerah gelap, daerah yang sengaja digelapkan agar tidak tampak dan yang disembunyikan di balik tirai. Dia lahir di tengah kelompok orang miskin sebagai orang miskin. Mereka ini adalah kelompok yang ditolak dan disembunyikan, yang ditutup-tutupi supaya tidak mencoreng kejayaan sebuah rezim politik dan ketunggalan kebenaran sebuah agama. Apa yang tidak semestinya, hendak disembunyikan, supaya ada kesan baik tentang rezim. Lalu, perlahan yang miskin sebagai korban ketidakadilan itu dianggap tidak ada. Pertanyaan yang seharusnya timbul karena kenyataan ini perlahan hilang. Manusia hidup seolah semuanya beres, tanpa masalah, tanpa pertanyaan yang mendesak sebuah jawaban.
Tuhan yang memilih lahir di tempat dan waktu seperti ini sebenarnya sedang melakukan subversi. Kedatangan-Nya membongkar tendensi manusia beragama yang mencari kekuasaan politik sebagai penjamin kemutlakannya dan yang mengidentikkan kebenaran agama dengan besarnya jumlah pengikut dan kemegahan lahiriah. Dia datang dalam ketidakberdayaan seorang anak kecil dari sebuah keluarga perantau miskin. Dengan ini Tuhan melancarkan protesnya terhadap pandangan umat beragama yang lebih mengutamakan hukum yang tertulis dan ajaran yang dibakukan daripada perhatian yang terarah kepada kondisi riil manusia.
Tuhan lahir tanpa perlindungan politik dan pengawalan militer, ketiadaan mantra misterius keagamaan dan jaminan para konglomerat. Dia lahir dalam kesederhanaan, dan justru di sana Dia menampilkan apa sebenarnya manusia. Yesus membebaskan manusia dari ketakutan menjadi manusia, yang sangat sering dikompensasi dalam sikap dan tindakan arogan yang merendahkan orang lain. Tidak jarang atas nama Tuhan dan di bawah bendera agama.
Ketika manusia membangun benteng politik, ekonomi, dan keagamaan untuk menyembunyikan keaslian dirinya, Natal adalah sebuah langkah subversif Tuhan untuk memberanikan manusia menjadi manusia. Saat agama terancam kehilangan kredibilitas karena diperalat oleh orang-orang yang tidak jujur, Natal adalah aksi protes dari Tuhan. Karena Tuhan datang sebagai manusia, menelantarkan manusia sama dengan mengabaikan Dia, membunuh manusia adalah pembunuhan terhadap Tuhan, dan memenjarakan orang dalam kepompong ketakutan tidak berbeda dengan merendahkan Tuhan. Agama tanpa Tuhan adalah agama tidak manusiawi, dan agama yang tidak manusia adalah agama yang membunuh Tuhan.
Oleh Budi Kleden, Dosen teologi pada STFK Ledalero, MaumereOpini Media Indonesia 24 Desember 2009