23 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Perlunya Mewujudkan Visi Maritim

Perlunya Mewujudkan Visi Maritim

PERINGATAN Hari Nusantara pada 13 Desember 2009 mengingatkan seluruh komponen bangsa akan pentingnya komponen maritim (kelautan). Bangsa ini perlu menyadari bahwa kawasan terbesar adalah terdiri atas wilayah perairan (laut). Luasnya kurang lebih tiga kali lipat kawasan daratnya (5,8 juta km2). Dari sinilah di samping kesadaran, perlu keseriusan menangani persoalan kelautan.


Selama ini masih terdapat banyak kendala dan kekurangan dalam mengatasi persoalan ekonomi dan keamanan maritim. Kurang lebih ada empat aspek yang dapat mencakup isu maritim ini.  Pertama adalah aspek perikanan. Sebagai bangsa dengan kawasan laut mendominasi wilayah negeri ini, produksi perikanan kita masih jauh dari harapan. Ditinjau dari GDP Indonesia pada tahun 2007, terhitung sekitar Rp. 547 triliun berasal dari pertanian, perikanan, hasil hutan, dan peternakan. Namun sebagian besar merupakan hasil dari pertanian, dan hanya Rp 96 triliun saja berasal dari hasil perikanan (2,4%).

Sedangkan dalam konteks ketenagakerjaan, secara keseluruhan hanya terdapat 3.631 kelompok usaha bersama yang mencakup 91.351 anggota pekerja. Jumlah ini mencakup wilayah Sumatra, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua. Jumlah ini masih terlalu minim jika sektor ini diharapkan mampu menyerap tenaga kerja.

Kedua, aspek perdagangan dan industri kelautan. Sebagai negara yang kawasan perairannya menjadi salah satu pusat transportasi perdagangan dunia, tentu sangat potensial untuk membangun infrastruktur perhubungan laut yang diproyeksikan meraup pasar dunia.

Penelitian Martin Stopford (2003) menerangkan bahwa sekitar 46 persen GNP dunia, memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap aspek kelautan. Sedangkan Indonesia terbukti memiliki 4 dari 23 perlintasan laut strategis (chokepoints) yang ada di dunia. Terhitung sekitar 80% lalu lintas perdagangan laut melintas kawasan perairan Indonesia.

Di sisi lain, industri perkapalan Indonesia mengalami keterpurukan. Jaminan terhadap keselamatan transportasi laut juga masih jauh dari harapan. Jasa pelabuhan dan perkapalan tertinggal jauh dari Singapura dan Malaysia. Tahun 2008, tercatat 45 kali kecelakaan kapal terjadi. Termasuk di antaranya kapal angkut penumpang.
Tiga Kali Ketiga, ditinjau dari aspek pariwisata. Perlu diketahui bahwa pariwisata merupakan sektor yang menjanjikan. Dalam perhitungan yang dilakukan secara time series oleh United Nations World Tourism Organization (UNWTO), pertumbuhan pariwisata dibandingkan dengan pertumbuhan GDP dunia selalu tiga kali lebih besar. Oleh karenanya sektor ini sangat menjanjikan ke depannya.

Indonesia juga memiliki potensi wisata bahari yang besar untuk dikembangkan. Sumber daya hayati pesisir dan lautan Indonesia seperti populasi ikan hias yang diperkirakan mencapai sekitar 263 jenis, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, dan berbagai bentang alam pesisir (coastal landscape) yang unik lainnya membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan. Namun, mengatasi persoalan mendasar seperti kebersihan kawasan pesisir saja bangsa ini belum mampu, belum lagi mengatasi persoalan infrastruktur yang sangat tidak menunjang.

Keempat, tidak adanya sarana atau peralatan yang cukup untuk menunjang keamanan laut menjadikan ancaman serius bagi proses navigasi yang dilakukan di perairan Indonesia. Di samping itu, potensi perikanan yang tersedot dari terjadinya illegal fishing setiap tahunnya mencapai Rp. 30 triliun. Ironisnya, hingga 2007, Departemen Kelautan dan Perikanan baru memiliki 16 kapal pengawas perikanan dan hanya 10 di antaranya yang aktif dapat beraktivitas.

Armada yang dimiliki oleh Polisi Air (Polair) terdiri atas 15 kapal patroli tipe A 500 dan 4 kapal patroli tipe A 900 produk Jerman. Selain itu masih ada 9 kapal patroli tipe B 600 produksi PT PAL Surabaya dan 2 kapal produksi Australia. Kekuatan itu masih dilengkapi dengan kapal patroli yang kecil ukurannya: 198 buah.

Tentu jumlah ini untuk mengamankan illegal fishing di perairan seluas 5,8 juta km2 sangat jauh dari cukup. Belum lagi teknologi yang dimiliki oleh kapal-kapal patroli Indonesia tidak secanggih yang digunakan untuk melakukan praktik pencurian ikan. Ketika indikator ekonomi nasional sedang menunjukkan penurunan yang serius dengan pola perekonomian konvensional yang dijalankan, maka diperlukan sebuah model pembangunan alternatif untuk memunculkan jaring pengaman ekonomi rakyat. Di sinilah visi negara maritim Indonesia menjawab tantangan sebagai alternatif bagi model pembangunan negara.

Sayangnya, berbagai fakta menunjukkan kondisi kelautan Indonesia masih jauh dari harapan. Hal ini menjadi bukti bahwa di tengah keadaan riil negara dengan potensi kemaritiman yang besar, tidak diwarnai dengan kesadaran maritim (maritime awareness) yang besar pula.Kesadaran ini harus mulai ditumbuhkan di tengah masyarakat. Pemerintah harus merumuskan sebuah manajemen maritim integratif yang menyatukan berbagai institusi untuk menjadikan sistem kelautan lebih efektif dan menguntungkan. Selain itu hal ini dilakukan untuk menghindari tumpang-tindih institusi dan regulasi yang selama ini justru menghambat percepatan implementasi Visi Maritim Indonesia.(10)

–– Pamungkas Ayudhaning Dewanto, peneliti di FISIP UI, peminat masalah kemaritiman
Wacana Suara Merdeka 23 Desember 2009