Memang, sulit untuk mengesampingkan kuatnya peran yang diusung media massa sepanjang tahun ini. Bahkan, bisa jadi akan teramat mudah untuk disimpulkan bahwa dari berbagai persoalan yang terjadi dalam tahun ini dengan spektrum pelibatan aktor-aktor lainnya yang berbeda-beda, media massa menjadi entitas yang paling menonjol.
Berbagai model kajian monitoring media massa, khususnya media cetak, yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan betapa kuat hubungan antara pemberitaan dan perhatian publik selama ini. Lebih dari sekadar itu, tampak pula kemampuan media dalam memengaruhi perhatian dan persepsi publik melalui topik-topik berita yang ditonjolkan sepanjang tahun ini. Interaksi antara media dan publik ataupun kekuatan media sendiri yang dimiliki pada gilirannya—dalam beberapa kasus—secara langsung terbukti pula memengaruhi kebijakan publik (policy effects).
Kondisi semacam ini bagi media massa patut disikapi secara positif. Salah satu fungsi ideal media dalam upaya memengaruhi khalayaknya relatif terpenuhi. Apa yang menjadi ”agenda media” sebagaimana yang mereka tonjolkan dalam pemberitaannya serta-merta telah menjadi ”agenda publik” dan menjadi pula bagian dari ”agenda pemegang kuasa”. Namun, dalam setiap pemberitaan yang memengaruhi khalayak itu, patut pula dipertanyakan apakah memang media memiliki agenda dan mampu berperan sebagaimana dirinya sendiri?
Mencermati berbagai persoalan yang terjadi sepanjang tahun 2009, tak pelak bahwa wacana politik mendominasi pemberitaan media. Fakta ini ditunjukkan dari dominasi pemberitaan utama halaman muka (frontpage) enam surat kabar berskala terbitan nasional, yaitu Koran Tempo, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Indopos, Republika, dan Kompas. Jika dipilah, sebenarnya terdapat dua persoalan besar yang menjadi arus utama pemberitaan, yaitu wacana perpolitikan seputar pemilu dan di luar isu-isu pemilu. Persoalan penegakan hukum, seperti kasus-kasus korupsi, ketidakadilan hukum, dan terorisme, maupun persoalan di luar hukum, seperti kasus bencana alam, merupakan representasi terbesar pemberitaan di luar isu pemilu.
Rinciannya, dari 7.524 berita straightnews dan features yang terpantau di halaman muka keenam surat kabar tersebut, isu pemilu sebanyak 1.473 berita (19,6 persen). Sementara untuk isu korupsi, termasuk dalam kategori ini berita tentang konflik KPK-Polri, terdapat 1.091 berita (13,4 persen). Beberapa isu besar, seperti terorisme, kriminalitas, dan bencana alam (gempa bumi), besarannya kurang dari 10 persen. Khusus untuk kategori pemberitaan kriminalitas lebih dari separuhnya terkait kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, yang dalam proses hukumnya melibatkan nama petinggi KPK, Antasari Azhar.
Tentu saja masih ada puluhan isu berita yang muncul lalu hilang dari halaman satu surat kabar nasional, sesuai dengan ”agenda media” setiap surat kabar. Namun, bukan berarti sudah tidak diberitakan lagi. Biasanya bergeser ke halaman dalam pada rubrik-rubrik tertentu, yang relevan terkait isu yang diberitakan.
Menariknya, dari keseluruhan isi berita yang tersajikan tergambarkan pula dua pola pemberitaan yang terkait dengan kebijakan editorial keenam media itu. Pertama, terdapat keragaman (divergen) pola kebijakan editorial pemberitaan dari setiap media jika dikaitkan dengan pemberitaan mengenai pemilu. Dalam hal ini terdapat kecenderungan sebagian media yang condong menguatkan dan menegasikan kiprah para aktor ataupun parpol yang bertarung dalam arena pemilu. Di sisi lain terdapat pula media yang memberikan ruang kepada setiap peserta pemilu dan pada kesempatan lain mencoba ”menjaga jarak” dari para peserta pemilu. Singkatnya, dalam urusan pemilu, selera warna editorial berbeda-beda.
Kedua, kondisi yang amat kontras ditunjukkan dalam wacana pemberitaan pascapemilu. Kecenderungan warna yang sama (konvergen) cenderung mendominasi pemberitaan. Kasus-kasus penegakan hukum, seperti korupsi dan ketidakadilan, tampaknya menyatukan media dalam warna kebijakan editorialnya sekalipun dalam intensitas dan kualitas yang beragam. Persoalan Prita Mulyasari yang dipersepsikan sebagai ketidakadilan dan pelanggaran kebebasan berekspresi, misalnya, menjadi ukuran adanya kesamaan warna pemberitaan. Begitu pun kasus yang mengaitkan unsur pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Dalam perjalanannya kedua kasus di atas semakin luas, bahkan memengaruhi perilaku publik berupa reaksi kolektif (collective reaction), sejalan dengan keberadaan jaringan media baru.
Menelusuri kasus-kasus yang terpublikasikan selama tahun 2009, baik isu pemilu maupun nonpemilu, sebenarnya apa yang menjadi agenda media tidak selamanya muncul dari hasil kreasi media itu sendiri. Dapat dikatakan teramat jarang kasus bermunculan akibat dari suatu penemuan media.
Kajian terhadap pemberitaan kasus-kasus terorisme, bencana alam, korupsi, kriminalitas, hingga berbagai peristiwa yang menjadi arus utama pemberitaan saat pemilu lalu menguatkan hal ini. Kondisi demikian tampaknya tidak banyak berbeda pula dari tahun-tahun sebelumnya, yang semakin mengukuhkan bahwa media massa selama ini lebih cenderung menjalankan peran sebatas pelaporan suatu peristiwa ketimbang menemukan dan mengangkat suatu persoalan.
Kondisi yang berlangsung selama ini tentu tidaklah ideal bagi media massa. Pasalnya, kekuatan media massa dalam menjalankan fungsi memengaruhi khalayak hanya berlangsung pada persoalan-persoalan yang terjadi dari luar dan bukan dari hasil suatu kreasi media itu sendiri. Menjadi persoalan besar jika pada suatu masa teramat minim peristiwa yang muncul untuk dipublikasikan. Pada saat semacam inilah media tidak lagi menjadi aktor yang berperan.
Apabila tahun ini media massa mampu berperan, tahun 2010 dapat menjadi tolok ukur sesungguhnya eksistensi media massa. Dalam situasi ketika tidak tampak lagi hajatan besar nasional seperti pemilu, kecuali Piala Dunia 2010, apakah media massa masih mampu mengukuhkan perannya dalam memengaruhi publik? Dengan mengandalkan isu-isu sensasional seperti konflik politik, skandal korupsi, dan terorisme, sekalipun tetap memiliki daya tarik, tidak pula terhindarkan dari kejenuhan publik. Terlebih jika pada akhirnya konflik yang terpublikasikan tiada berujung pada penyelesaian.
Opini Kompas 24 Desember 2009