Ritme pergerakan teknologi dan informasi, tak bisa disangkal, ikut menentukan perkembangan hidup manusia. Seiring perkembangannya, masyarakat Indonesia dihadapkan kepada era digital, masa ketika arus informasi dipadukan dengan kemajuan teknologi. Bentuk nyatanya adalah keberadaan internet, dunia maya yang sudah demikian besar peranannya dalam pembentukan pola pikir publik.
Mengenai perkembangan arus informasi di dunia maya, "Bapak blogger Indonesia", Enda Nasution angkat bicara. Dalam sebuah diskusi di Kantor Redaksi "Pikiran Rakyat" Bandung beberapa waktu lalu, dia mengatakan, perkembangan pengguna internet di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dituturkannya, pengguna internet di Indonesia terus bertambah dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 49 persen per tahun. Dari pengguna internet ini, 70 persen di antaranya berusia di bawah 35 tahun.
Sementara jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, penetrasi penggunaan internet di Indonesia pada 2008 mencapai 10,5 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan Singapura (68 persen), Malaysia (38 persen), tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan Filipina (9 persen), serta Vietnam (7 persen). Untuk 2009, angka penetrasi penggunaan internet di Indonesia mencapai 13 persen dengan angka populasi sekitar 240 juta penduduk.
Angka ini ditengarai terkontribusi oleh iming-iming manis dari operator penyedia layanan komunikasi. Hal ini ditambah dengan promosi besar-besaran produsen telefon seluler yang membuat internet makin dekat dengan publik.
Jika diteliti lebih lanjut, keadaan ini setidaknya menunjukkan bahwa internet di Indonesia merupakan potensi besar yang perlu dioptimalkan. Tak hanya internet sebagai sebuah saluran, tetapi juga pengguna internet yang berperan sebagai subjek sekaligus objek arus informasi. Persoalan yang kemudian muncul adalah, bagaimana dampak yang ditimbulkan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu bukan persoalan mudah. Namun setidaknya, gambaran bisa diperoleh dengan mencermati pola penggunaan internet di Indonesia.
Salah satu peruntukan internet yang tengah digandrungi publik adalah situs jejaring sosial. Tak mengherankan memang. Situs dengan fungsi seperti ini dapat menjadi ajang untuk banyak hal, mulai dari perkenalan, "menemukan" kembali teman lama, membangun relasi bisnis, hingga penggalangan opini publik untuk isu-isu tertentu.
Dalam suatu sudut pandang, jejaring sosial dunia maya ini merupakan bagian dari lingkup besar bernama media sosial. Tak hanya jejaring sosial, media sosial ini juga terdiri atas situs surat-menyurat, forum, serta blog. Pada intinya, Enda menuturkan, media sosial ini memiliki ciri khas, yaitu user generated content, pengguna yang memproduksi isi bukan pemilik situs tersebut.
Dikaitkan dengan lalu lintas informasi, selama ini informasi telah disediakan oleh media massa yang mapan dengan ritme jurnalistik yang jelas. Media ini berada dalam jalur mainstream, arus utama pergerakan informasi. Sementara keberadaan media sosial yang isinya diproduksi individu ditengarai dapat memberikan alternatif informasi lain dibandingkan dengan media mapan tadi. "Media sosial seperti ini dapat menjadi pengimbang media mainstream," kata Enda.
Namun, gencarnya penggunaan media sosial sebagai saluran informasi juga memiliki karakter yang perlu mendapat perhatian. Berbeda dengan media massa mainstream, tidak ada filter tertentu di tingkat produsen meia massa sosial untuk memastikan kualitas informasi yang disampaikan. Dengan demikian, tidak ada pertanggungjawaban yang jelas pula atas informasi tersebut. "Tidak ada kontrol yang jelas dalam perjalanannya, validasi informasi yang disajikan kemudian dipertanyakan," ujar Enda.
Berlatar belakang pemikiran tersebut, filter individu sebagai penyerap informasi menjadi penentu dampak yang ditimbulkan. Positif atau tidaknya efek atas arus informasi sangat bergantung individu yang menerimanya.
Hanya, Enda menuturkan, masifnya perkembangan internet di Indonesia bukan tanpa kekhawatiran. Etika menjadi isu utama yang layak diperhatikan. Saat ini, kecenderungan pengguna internet mengenyampingkan nilai-nilai moral dalam etika. Padahal dalam tatanan sosial, etika diperlukan untuk menghindari terjadinya pergesekan yang berujung kepada konflik. Tak heran jika kemudian mulai terjadi banyak konflik yang berawal dari dunia maya yang berlanjut ke proses hukum.
Perangkat perundangan yang idealnya berperan mengawal perkembangan internet, yaitu Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tampaknya belum berperan maksimal. Sejumlah kalangan bahkan masih memperdebatkan isi dari UU tersebut. Sementara RUU Konvergensi Telematika dan RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi yang tengah dimatangkan, perlu waktu untuk pembuktiannya.
Nah, jika "ketertiban" tidak bisa digantungkan kepada peraturan perundangan, maka semua berpulang kepada nilai-nilai moral individu pengguna internet. Potensi konflik horizontal dan vertikal yang mungkin terjadi akibat perkembangan arus informasi di dunia maya sangat ditentukan oleh bijak atau tidaknya pengguna internet. Dan belajar untuk menjadi bijak tentu bisa dimulai dari saat ini, tanpa perlu menunggu persoalan ini menjadi bom waktu. (J. Pambudi/"PR")
Opini Pikiran Rakyat 24 Desember 2009