Tanda-tanda musnahnya kekuatan oposisi dalam pemerintahan baru mendatang makin terang. Kemenangan Aburizal Bakrie dalam Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar adalah sinyal kuat merapatnya Golkar ke kubu Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono.
Selain punya kedekatan dengan SBY, Aburizal Bakrie dalam sambutannya setelah terpilih menjadi ketua umum Partai Golkar menyatakan mempersilakan kader Golkar bergabung dengan kabinet mendatang jika diminta oleh presiden terpilih.
Lalu, kemungkinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dalam lima tahun terakhir dikenal sebagai oposisi masuk dalam koalisi pemerintahan baru juga makin santer. Indikasinya adalah terpilihnya Taufik Kiemas sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan dukungan politik Partai Demokrat dan koalisinya di Senayan.
Bergabungnya kedua partai besar tersebut dengan rezim berkuasa akan menutup pintu bagi hadirnya oposisi dalam pemerintahan lima tahun ke depan. Apa bahayanya? Matinya oposisi adalah ancaman bagi pengawasan dan keseimbangan (check and balances ) yang lazimnya ada dalam setiap pemerintahan demokratis. Tiadanya kontrol eksternal itu, menurut ilmuwan politik Robert A Dahl, membuka jalan bagi lahirnya tirani.
Koalisi
Dalam sepuluh tahun terakhir, politik kepartaian kita memang mengadopsi politik koalisi. Berlakunya sistem multipartai setelah jatuhnya Orde Baru berakibat pada tak munculnya partai dominan yang mampu membentuk sebuah pemerintahan yang kuat. Pemerintah eksekutif selalu dibayang-bayangi manuver dari parlemen dalam berbagai bentuknya, mulai dari mosi tidak percaya sampai penggulingan.
Presiden Abdurrahman Wahid pernah mengalaminya. Pemerintahannya menghadapi blokade politik parlemen yang berujung pada pemakzulan. Berdasarkan pengalaman buruk ini, politik koalisi akhirnya ditempuh para elite partai. Akan tetapi, menurut guru besar Ilmu Politik UIN Jakarta, Bahtiar Effendy, koalisi adalah penyimpangan dalam sistem politik Indonesia yang menganut prinsip presidensial. Koalisi hanya menjadi tradisi politik di negara yang menganut prinsip parlementer dengan sistem multipartai.
Sementara itu, dalam sistem presidensial, mestinya tak dikenal istilah koalisi. Karena, presiden tak hanya berperan sebagai kepala negara dan pemerintahan sekaligus, tapi juga punya otoritas penuh untuk membentuk kabinetnya sendiri.
Persoalan makin pelik ketika koalisi yang diikhtiarkan untuk membangun pemerintahan yang efektif dan stabil, justru mengikis tumbuhnya partai-partai oposisi di parlemen. Politik koalisi menjadi ancaman serius bagi perkembangan demokrasi.
Pengalaman
Pengalaman demokrasi kita memang menunjukkan belum terbangunnya tradisi oposisi yang terlembaga. Para presiden negeri ini lebih berhasrat pada terciptanya pemerintahan yang stabil dengan merangkul semua kekuatan politik, khususnya di legislatif. Stabilitas politik dianggap prasyarat bagi berlangsungnya pembangunan.
Para pemimpin di negeri ini lebih kerap melihat oposisi secara negatif sebagai pengganggu pemerintah. Jatuh bangunnya kabinet di masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) akibat adanya partai oposisi menjadi salah satu alasan presiden Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin yang tak memberi ruang bagi oposisi. Keberadaan oposisi dianggapnya kontraproduktif bagi jalannya pemerintahan.
Presiden Soeharto juga tak suka dengan oposisi. Kekuasaannya diarahkan semaksimal mungkin untuk menciptakan stabilitas politik melalui sejumlah kebijakan: pembatasan partisipasi politik pluralistik lewat penyederhanaan sistem kepartaian, monoloyalitas birokrasi, serta depolitisasi massa. Dengan demikian, kekuatan politik yang potensial menjadi oposisi dapat dieliminasi.
Demi terciptanya stabilitas pemerintahan pula, para presiden di era reformasi Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono menjalankan politik koalisi: memberi jatah menteri pada partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen. Dengan demikian, kekuatan oposisi di parlemen dapat dikurangi, bahkan ditekan meski pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid upaya ini tetap tak berhasil.
Perlunya oposisi
Penguasa, bagaimanapun dan secara umum kita semua setuju, harus diawasi. Itulah mengapa oposisi perlu dilembagakan. Pangkal tolaknya adalah cara pandang yang negatif terhadap kekuasaan. Bahwa, setiap rezim yang memerintah, setidaknya punya tendensi pada tiga hal. Pertama, kecenderungan untuk memperkuat dan memperbesar dirinya. Tujuannya adalah untuk menjaga dan mempertahankan kekuasaan. Koalisi adalah jalan yang tersedia untuk itu.
Kedua, setiap pemerintahan cenderung ingin memusatkan kekuasaan di tangannya. Presiden Soekarno dan Soeharto mengupayakannya melalui akumulasi semua kekuasaan--legislatif, yudikatif, dan eksekutif di tangannya. Terjadilah kemudian personalisasi kekuasaan yang melahirkan otoritarianisme. Ketiga, seperti terbukti dalam sejarah, setiap kekuasaan cenderung korup, menyeleweng, dan semena-mena. Pendeknya, setiap penguasa berpotensi menjadi tiran dan penindas bagi rakyatnya, terutama dengan kekuasaan yang terlampau besar di tangannya.
Karena kecenderungan-kecenderungan seperti itulah, sebuah oposisi yang terlembaga diperlukan bagi pemerintahan baru ke depan. Urgensi oposisi tak hanya terletak pada fungsinya bagi mekanisme check and balances , melainkan juga pada perannya dalam melakukan kritik kepada kekuasaan.
Ignas Kleden, dalam Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia (2001) melihat fungsi kritik itu dalam dua aspek: memperingatkan pemerintah terhadap kemungkinan salah kebijakan atau salah tindakan ( sin of commission ) dan menunjukkan apa yang harus dilakukan pemerintah, tetapi justru tidak dilakukannya ( sin of omission ).
Tentu saja, tak dapat dinafikan bahwa realitas politik Indonesia mutakhir belum menjadi lahan subur bagi tumbuhnya oposisi. Kekuatan oposisi riil belum terbangun. Yang muncul baru oposisi normatif, belum oposisi kritis.
Namun, kesetiaan PDIP menjadi oposisi dalam lima tahun terakhir layak diapresiasi. Tradisi yang sudah mulai dibangun itu harus dilanjutkan dan dioptimalkan, bukan dihapuskan. Dan, itu hanya mungkin melalui kesediaan partai-partai politik untuk tak hanya menjadi penikmat kekuasaan, tapi juga pengontrol dan pengkritiknya.
Akhirnya, sebaik apa pun niat pemerintah dalam membangun koalisi tetap harus dipandang secara negatif: akumulasi kekuasaan yang terlampau gemuk akan mengeliminasi kontrol eksternal terhadap jalannya pemerintahan. Sekali lagi, itu akan membuka jalan bagi munculnya tirani.
Oleh: Testriono
(Peneliti di Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta)
Opini Republika 21 Oktober 2009