Jawaban yang menjadi judul artikel ini sebagai berikut: Jabatan Menteri itu demikian penting dan strategis karena dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, ketika Presiden memilih menteri dan akan mengumumkan jajaran menteri dalam kabinetnya, maka perhatian seluruh pihak tampaknya ke sana semua. Pelaku pasar valuta asing dan pasar modal dengan cermat mengamati dan menunggu siapa yang akan duduk sebagai menteri khususnya pada bidang-bidang ekonomi.
Kedua, setelah kabinet diumumkan maka akan dicermati dan dikritisi pula oleh banyak pihak; apakah mereka yang duduk di posisi menteri untuk bidang tertenrtu sesuai dengan keahliannya atau tidak. Pelaku pasar akan bereaksi negatif, dalam bentuk biasanya merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS. Sebaliknya jika orang-orang yang duduk di kabinet dianggap tepat maka reaksi pasar akan positif: IHSG naik dan kurs rupiah terhadap dolar AS menguat.
Kedua fenomena tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi sekali ini saja ketika Presiden SBY memilih dan mengumumkan menteri-menterinya untuk duduk di kabinet yang dinamai ”Kabinet Indonesia Bersatu II” (KIB II), tetapi juga pada presiden sebelumnya kecuali pada era Presiden Soeharto. Pada era Presiden Soeharto, karena pemerintahannya yang demikian diktator dan represif, maka masyarakat dan banyak pihak tidak berani mempertanyakan menteri-menteri yang dipilih Pak Harto. Pemilihan menteri benar-benar menjadi hak prerogatif presiden. Di samping itu, pada era Soeharto justru banyak yang menyatakan bahwa menteri-menteri yang dipilih adalah orang profesional (sesuai dengan bidang keahliannya).
Kabinet Aneh Tetapi tampaknya Presiden SBY mengabaikan kekhwatiran dan berbagai pandangan banyak pihak yang sudah ”umum” menjelang pembentukan kabinet sehingga susunan kabinet yang diumumkannya terkesan aneh dan menyimpang dari selera pasar. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai hal.
Pertama, hanya 10 orang menteri lama dari yang ditunjuk kembali untuk menduduki jabatan menteri. Berarti kurang dari 50 persen dari pos menteri di KIB II sebanyak 34 pos menteri. Tetapi dari ke 10 orang tersebut hanya 4 menteri yaitu Sri Mulyani (Menkeu), Marie Elka Pangestu (Menteri Perdagangan), Djoko Kirmanto (Menteri PU), dan Jero Wacik (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) yang duduk di kementrian yang sama dengan yang sebelumnya. Selebihnya meskipun duduk lagi sebagai menteri tetapi dengan jabatan atau bidang yang sama sekali baru. Hal ini tentu bertentangan dengan janji selama kampanye SBY dengan slogan ”Lanjutkan”. Maksudnya ingin melanjutkan program-program pembangunan yang selama ini dilaksanakan. Dengan memasukkan lebih banyak orang baru dan mengganti jabatan dari orang lama maka keberlanjutan program itu menjadi dipertanyakan.
, banyak pos-pos menteri penting yang dijabat oleh orang yang sama sekali tidak ahli dalam bidangnya minimal menurut pandangan saya. Ketiga, tidak seperti janjinya sebelum mengumumkan menteri-menteri yang duduk di kabinet, kali ini pos-pos kementrian justru banyak diisi bukan oleh orang profesional tetapi oleh orang-orang dari usulan Partai Politik yang berkoalisi dengan Partai Demokrat-Partai SBY yang kebetulan juga pemenang pemilu legislatif. Hal ini di samping bertentangan dengan janji SBY, juga bertentangan dengan logika umum.
Mengapa Tidak Penting?
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa jabatan menteri tidak penting dilihat dari bekerjanya kementerian secara baik?
Pertama, kementrian berjalan bukan karena pimpinan dan arahan seorang menteri tetapi karena mesin birokrasi berupa Standard Operation Procedure (SOP) dan sekian banyak peraturan dan undang-undang. Dengan kondisi demikian maka siapa pun menterinya tidak akan banyak berpengaruh terhadap jalannya kementrian. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, seorang menteri baru membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun untuk menyesuaikan diri dan tahu SOP dan berbagai macam UU serta peraturan itu.
Kedua, pada praktiknya selama ini sekretaris jenderal (sekjen) dan direktur Jenderal (dirjen) adalah yang banyak berperan mengendalikan departemen dan kementerian. Hal ini dapat dimaklumi karena sekjen dan dirjen di departemen atau kementrianlah yang merupakan orang-orang yang merintis karier dari bawah. Karena merintis karier dari bawahlah maka mereka tahu persis hitam-putihanya suatu departemen atau kementrian. Bahkan pendapat umum yang menyatakan bahwa menteri bisa disetir atau dikendalikan oleh sekjen atau dirjen. Untuk memecat sekjen atau dirjen yang tak sesuai dengan pemikiran dan gerak langkah sang menteri pun akan mengalami kesulitan karena birokrasi seperti disebut di depan.
Supaya Menteri Berarti Maka kalau presiden-presiden periode berikutnya ingin membuat supaya jabatan menteri berarti artinya tak sekadar jabatan politis, minimal ada 2 (dua) langkah yang mesti ditempuh. Pertama, mengadakan debirokratisasi yaitu perombakan besar-besaran birokrasi berupa SOP, UU, dan peraturan yang ada di kementrian-kementrian atau departemen-departemen yang lebih ringkas dan fleksibel sehingga menteri bisa melakukan improvisasi serta pengendalian kementrian atau departemen secara lebih berkekuatan (powerful).
Kedua, menteri dipilih dari pejabat karier (bisa sekjen, dirjen, atau pejabat lainnya) di tiap-tiap kementerian atau departemen. Dengan demikian kehadirannya memang benar-benar diperlukan dan ada artinya. Tidak seperti sekarang, menteri hanyalah jabatan politis, yang tanpa kehadirannya pun kementerian atau departemen bisa berjalan, seperti yang telah diuraikan di atas. (80)
–– Nugroho SBM, staf pengajar Fakultas Ekonomi dan Peneliti pada Pusat Kajian Dampak Kebijakan atau Regulatory Impact Asessment (RIA) Center Undip Semarang
Wacana Suara Merdeka 23 Oktober 2009